Mencoba Memahami Kolumnis Terkenal IJ Piliang Saat "Menulis Airin (2)"

Lanjutan dari : Mencoba Memahami Kolumnis Terkenal IJ Piliang Saat "Menulis Airi (1)" http://www.facebook.com/note.php?note_id=488339117342
Menulis Airin (2)
http://www.indrapiliang.com/2011/01/11/menulis-airin-2/
Oleh Indra J Piliang*)
Artikel yg saya tulis Desember 2010 lalu “Menulis Airin (1)” ternyata memicu reaksi. Airin yag saya maksud adalah Airin Rachmi Diany. Menurut websitenya, Airin lahir tanggal 28 Agustus 1976 di Banjar. Lebih muda empat tahun dari usia saya yang bulan April tahun ini 38 tahun. Beda lagi, Airin seorang perempuan. Di dunia politik yang ganas, kehadiran seorang perempuan adalah anomali.
Tapi tidak untuk Banten. Gubernur Banten adalah seorang perempuan. Ada hubungan kekeluargaan dengan Airin, yakni sebagai kakak ipar. Irna Narulita, seorang calon bupati di Pandeglang, juga seorang perempuan yang merupakan istri bupati sebelumnya. Sepertinya, Banten tidak terlalu bermasalah dengan kaum perempuan di politik.
Nah, hal ini berbeda dengan Sumatera Barat. Jarang sekali calon kepala daerah, ataupun wakilnya, dari kelompok perempuan. Anomali betul-betul terjadi di daerah yang dikenal sebagai salah satu soko guru demokrasi ini. Sekalipun menganut sistem matrilineal, secara politik dan pemerintahan tetap saja sulit melihat kehadiran perempuan di dalam pilkada di Sumatera Barat.
Lho, kog Sumbar? Kembali ke Airin, kenapa Ia dipersoalkan? Bagi saya, Ia terlalu “dikemas”. Atau memang fotografer yang menemani bukanlah fotografer profesional? Waktu pileg 2009, saya selalu ditemani oleh fotografer pemula. Mereka menggunakan kamera yang saya beli, sambil belajar. Banyak yang baru sekali memegang kamera. Kamera menjadi rusak, hasil foto tak bagus juga. Ya, resiko.
Saya yakin, Airin tak akan kesulitan untuk menerima kehadiran sejumlah fotografer profesional. Dan itu akan sangat membantu bidikan-bidikan kameranya. Kehadiran sosok yang nyata akan lebih terlihat dan memikat, di tengah masyarakat urban yang semakin kehilangan humanitasnya. Pengemasan yang berlebihan justru menyebabkan Airin hanya sekadar manekin. Kecuali Airin menempatkan diri sebagai artis profesional, tidak masalah hanya memperlihatkan wajah yang elok di tengah publik. Wajah tanpa keringat.
***
Persoalan monarki menjadi penting setelah presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara soal Yogyakarta. Namun, dibalik itu semua, hampir seluruh pembicaraan politik dalam pileg dan pilkada menyangkut masalah kedaerahan. Termasuk Tangsel. Persoalan “monarki Banten” muncul dibalik upaya menolak Airin.
Padahal ada yang salah dengan isu monarki, ketika hak kewarganegaraan di Indonesia sudah selesai diperdebatkan. Baik ius soli (hak menjadi warga negara karena wilayah, misalnya karena lahir di Indonesia) maupun ius sanguinis (hak menjadi warga negara karena faktor keturunan, misalnya anak dari ibu dan bapak Indonesia) tidak menjadi persoalan di Indonesia. Bukankah Christian Gonzales tetap pahlawan timnas Indonesia dalam Piala AFF yang lalu? Namanya naturalisasi, bahkan diluar skema ius soli dan ius sanguinis.
Indonesia adalah kebudayaan yang hanyut. Terletak di titik persimpangan yang penting di planet bumi, Indonesia menjadi tempat mampir dan menetap dari beragam manusia dan budaya. Bahkan buku Denys Lombard diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Nusa Jawa, Silang Budaya” untuk menunjukkan betapa persoalan Indonesia bukanlah sukuisme sempit. Tak terkecuali Banten. Tak terkecuali Tangsel.
Maka, kompetensi jauh lebih penting untuk diperhatikan, ketimbang menyoal faktor-faktor lain untuk jabatan publik seperti Walikota atau Bupati. Akan sulit bagi seorang Barack Obama menjadi presiden Amerika Serikat, ketika seluruh subkjektifitas dirinya menjadi pertimbangan. Obama dipilih justru karena American Dreams itu lebih mampu diwujudkan seorang Obama, ketimbang lawannya.
Jadi, ketika kawan-kawan saya di Tangsel sana bereaksi bahwa “dosa” Airin adalah menjadi bagian dari keluarga besar Gubernur Banten sekarang, saya menjadi ragu dengan mana yang beras, mana yang nasi. Ketika pertimbangan-pertimbangan genetik muncul sebagai alasan penolakan, rasionalitas politik justru menjadi hilang. Cara-cara seperti ini apabila dipakai di tempat lain, justru akan sangat membahayakan demokrasi itu sendiri.
Kenapa tidak berterus terang saja bahwa ada kepentingan ekonomi politik dibalik dukungan terhadap kandidat di luar Airin? Saya kira kita sudah sama-sama belajar dalam banyak pemilu dan pilkada, betapa transparansi itu jauh lebih penting untuk menjaga kepercayaan publik. Nah, untuk kepentingan itu kita berdiri dalam setiap kesempatan berdemokrasi. Kalau digulung lagi dengan argumen-argumen diluar itu, kita justru akan berpikir lagi untuk mencoba menggunakan “sistem” yang lain.
***
Tangsel jelas membutuhkan kerjasama dengan daerah-daerah lain. Jangankan dengan Banten, Tangsel membutuhkan kerjasama dengan Jakarta dan Jawa Barat. Sentimen “Anti Banten 1” yang dibangun untuk menolak Airin jelaslah akan membuka persoalan bagi siapapun yang terpilih, baik Airin atau bukan. Bagaimana bisa Walikota menjalankan begitu saja tugas-tugasnya, kalau tak bekerjasama dengan gubernur atau dengan pemerintah pusat, misalnya?
Ada yang mengatakan bahwa artikel “Menulis Airin (1)” berpihak. Ya, jelas sekali berpihak. Saya sudah jelaskan alasan-alasannya, terutama karena ada sentimen-sentimen yang kurang layak bagi negara demokrasi sebesar Indonesia. Dan saya politisi, jelas memiliki hak untuk berpihak atau tidak berpihak. Namun, sedari awal, keberpihakan saya tentu berdasarkan penalaran. Argumentasi menjadi hal penting bagi politisi Indonesia, tidak terkecuali saya.
Marissa Haque saja dalam blognya mendukung Andre, kenapa saya tidak mencoba memberikan alasan-alasan pembanding bagi kelompok masyarakat sipil yang berpolitik di Tangsel untuk Airin? Apalagi saya mendengar bahwa kawan-kawan saya yang pengamat atau kaum intelektual itu mengatakan “di luar boleh jadi pengamat, di Tangsel tidak”. Itu kalimat yang kabur juga, karena pengamatan para pengamat adalah bagian dari sikap politik juga. Di bawah langit tidak ada yang benar-benar netral atau bebas nilai.
Maka, mari berpikir secara lebih jernih lagi, bahwa saya boleh berpendapat soal Airin, sebagaimana para pengkritik “Menulis Airin (1)” juga berpendapat. Bukankah semakin banyak warga kampus memasuki kehidupan politik praktis dewasa ini? Entah sebagai penasehat, konsultan, maupun panitia rekrutmen pejabat-pejabat negara, termasuk pegawai negeri sipil. Politik jelas bukan sekadar menjadi politisi saja. Bahkan tidak memilih atau golput adalah bagian dari sikap politik.
Begitu juga di Tangsel. Mempertanyakan posisi saya ketika menulis soal Airin adalah keliru, apalagi dikaitkan dengan hubungan pribadi saya dengan teman-teman yang mendukung Andre. Sejak di bangku kecil, terutama pas kuliah saya diajarkan untuk saling berbeda pendapat, apapun pilihan masing-masing. Berpendapat justru lumrah dalam demokrasi. Demokrasi akan hidup dengan pendapat demi pendapat, bukan diam demi diam.
Feodalisme justru akan membakar demokrasi, ketika perayaan hanya sekadar keheningan.
*) Agar identitas jelas, sebut saja IJP itu sebagai tim sukses Airin tanpa surat penugasan, Puas?
Jakarta, 11-01-2011
Pamulang, ba'da Subuh
Selasa, 18 Januari 2011


Mencoba Memahami Kolumnis Terkenal IJ Piliang Saat "Menulis Airin (2)"

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya