CATATAN UNTUK ARSID (4)

Saya tak tahu lagi apa peran sebuah berita. Saya juga tidak tahu apa peran dusta. Bahkan saya tidak mengerti untuk apa fitnah dilakukan. Yang terasa bagi saya, dalam persaingan politik, berita bisa menjadi sebuah onggokan sampah; kata lain dari kebencian. Salah satu ciri zaman ini: ketika kebencian—dengan baunya yang busuk—kerap dijadikan sebuah mantra politik untuk membangun kekuatan demi melenyapkan apa yang berharga dalam hidup; kebersamaan. Ketika kata-kata diubah menjadi teror, hingga mendesakkan hal-hal yang tidak lumrah serta memberitakan yang tak lazim.

Ini persis seperti yang kita lihat hari-hari belakangan di Tangerang Selatan, di mana Arsid--juga Andre Taulany—sering menjadi “sasaran tembak” teror; berita yang tak lumrah itu, dari yang paling ringan hingga yang tidak rasional. Dari yang tidak lucu sampai yang tidak mengandung selera humor sama sekali. Saya kira pertarungan politik boleh saja sengit, tapi bukankah hal itu mestinya tetap dilakukan dengan sopan—meski tak sehalus sikap Pangeran Siddhar­ta yang selalu tertegun melihat bahwa dunia ternyata sebuah sengsara yang layak direnungkan terus-menerus?.
Kita tahu bahwa “program” teror ini merupakan satu bentuk kekhawatiran akan melambungnya (kembali) suara pasangan Arsid-Andre pada pemungutan suara ulang pada 27 Februari mendatang, meski saya kira akan percuma. Buat saya, kebencian yang mengerahkan fitnah adalah tanda putus asa, namun sekalipun tanpa putus asa, ia juga tidak akan menyebabkan keyakinan atas sesuatu menjadi mudah berubah. Sebab keyakinan itu lahir setelah melalui proses merasakan, dari ulu hati sampai ujung kaki, betapa palsunya sikap murah hati tersebut. Karenanya akan ada yang selalu berontak, melawan. Toh, tak ada diskriminasi tanpa represi, dan tak ada represi yang tanpa diskriminasi.

Maka sebagai parodi politik, saya melihat rangkaian teror ini pada akhirnya hanya akan menemui situasi antiklimaks. Sebab teror itu (sesungguhnya) telah memusuhi sesuatu yang jauh lebih berarti ketimbang apa yang semula dimusuhinya—jika yang dimusuhi adalah seorang “Arsid” atau “demokrasi” atau “kebebasan”. Teror itu telah memusuhi cita-cita satu juta penduduk yang merdeka. Mereka (sebenarnya) sedang memusuhi Tangerang Selatan; memusuhi orang-orang yang selama ini menghargai perbedaan pandangan dan kultur sebagai sebuah kekuatan bersama.

Pada momen itu sebenarnya kita bisa berkata: bohong, bila mereka bilang mencintai kota ini, sebab pada saat bersamaan mereka juga menabur rasa permusuhan. Meski kita tahu, teror tak akan pernah menang. Sebesar apa pun, teror tak akan bisa mendapatkan lebih dari rasa gugup yang sebentar. Selebihnya nihil, toh, manusia juga bisa rasional: menimbang-nimbang apa yang berlebihan dan tidak berlebihan.
Bagi saya, politik teror serupa dengan sikap fundamentalis, dari kelompok apa pun, yang selalu didasari atas rasa permusuhan pada banyak hal yang berbeda dengan dirinya. Ketika kebebasan dianggap sebagai sejenis najis, karena fana dan diubah waktu. Bagi mereka, perubahan adalah jalan menuju kemerosotan. Mereka lupa, kita hidup di sebuah masa ketika kita dihadapkan pada kesadaran yang meluas bahwa manusia adalah bermacam-macam kemungkinan. Pengalaman sejarah tak pernah menghadirkan sebuah masyarakat yang utuh penuh; satu suara.

Di sinilah kata kuncinya: ada yang menginginkan terbentuknya satu suara untuk Tangerang Selatan, menguasai secara penuh; total.

* * * * *

Saya merasa Arsid, juga Andre Taulany, cukup berhasil dalam menghadapi berbagai tekanan yang terus-menerus diarahkan ke dirinya. Berbagai tekanan yang diterimanya—dan yang paling ringan adalah laporan demi laporan oleh kelompok tertentu—tak memicu keduanya untuk berbuat hal serupa. Padahal kita sama-sama tahu, membuat laporan ke panitia pengawas pemilu mudah saja, asal mau. Namun bukan itu inti pertarungan pilkada. Toh, berharap meraih kemenangan dengan berbekal hasil laporan ke Panwaslu seperti mimpi di siang bolong.

Sikap ini membuktikan bahwa Arsid melihat ajang politik bukan semata-mata sebagai medan tempur. Politik, bagi Arsid, adalah ruang kemerdekaan dan partisipasi publik: di sana orang ramai membahas, menimbang, dan memutuskan nasib bersama. Politik juga bukan bagaimana memecah-belah, melainkan bagaimana mempersatukan, menggugah. Ini sama artinya dengan bagaimana kita harus bersikap tabah dan juga berendah hati untuk membangun sebuah masyarakat yang dicita-citakan.

Di sini, Arsid terbukti sangat jeli membaca situasi: bahwa banyak orang sebenarnya menginginkan apa yang ”sosial” dalam hidup manusia tak boleh begitu saja dihabisi oleh ”politik”—juga sebaliknya. Meski kita sadar, seorang Arsid pasti tak luput dari rasa cemas, ia juga punya rasa gentar—toh, pertarungan ini bukannya ringan, bahkan cenderung tak seimbang. Tapi ia (tetap) melawan: bukan untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk banyak orang.

Ia tak ingin melihat kota ini sebagai gelap yang mutlak, gelap yang jera, gelap yang getir, dan akhirnya menyerah. Dengan tenaganya yang serba tanggung, Arsid tak hendak membiarkan kelam itu berkuasa. Kita toh sadar, di sini, tak semua orang (bersedia) melawan, bahkan sebagian memilih menggadaikan dirinya untuk bersekutu dengan kelam. Maka ketika ada yang memimpin untuk menghalau dan menerjang gelap, saat itu juga kita paham, kota ini telah memiliki seorang tauladan: Arsid. Ia seperti telah mewakili perasaan banyak orang yang diam-diam berseru: “Jangan sampai kita tergelincir ke dalam gelap”.

Ini mengingatkan saya pada Renee Epelbaum, salah satu penggerak utama peristiwa Plaza de Mayo, Argentina—sebuah bentuk perlawanan yang tak disangka-sangka. Me­reka yang ”gila” karena di negeri yang ketakutan itu, mereka berani menggugat. Mula-mula, akhir April 1977, hanya 14 perempuan yang berani melawan larangan berkumpul, hingga akhirnya semakin besar dan menjadi gerakan universal yang berhasil menumbangkan rezim militer pada 1983.

Sebuah bukti bahwa keberanian tak hanya mampu membangun sesuatu ke dalam diri banyak orang untuk mengusir sinisme: ketidakpercayaan pada hal-hal yang baik dalam diri sesama, tapi juga menjelma hasrat yang kuat di dalam dada orang ramai hingga pembebasan jadi pekik yang (sangat) keras. Ini saya kira yang sedang terjadi di Tangerang Selatan. Maka cocoklah bila Arsid--seperti Chairil Anwar saat berpidato di tahun 1943, yang mengawalinya dengan penggalan puisi--berkata:

Mari berdiri merentak
Diri-sekeliling kita bentak

Ada kehendak menggugah yang begitu dalam di sana, tanpa fitnah, juga tanpa pamrih.


ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 16 Februari 2011

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya