Menggugat Lembaga Survei

By Romel tea

“BERKAH” akan diwawancara sebuah stasiun radio di Bandung tentang lembaga survei, saya pun bisa menyusun posting ini. Begitu diminta kesiapan menjadi narasumber, dengan kapasitas sebagai “pengamat politik”, saya langsung “sowan” ke Mbah Google, mencari data atau referensi soal lembaga survei. Hasilnya? Ya, tulisan ini, sekaligus sebagai “amunisi” saya dalam wawancara “live on air” via telepon itu.

KRAN demokrasi yang terbuka pasca kejatuhan rezim Soeharto (Orde Baru) bukan saja memunculkan banyak partai politik, politisi, dan agenda pemilihan pemimpin (walikota, bupati, gubernur, dan presiden/wakil presiden), tapi juga menjamurkan lembaga-lembaga survei.

Dipelopori kemunculan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan “trio” Saiful Mudjani, Denny JA, dan M. Qodari, lembaga sejenis pun bermunculan, juga diawali dengan perpecahan ketiga “trio” tersebut. Saiful Mudjani tetap memimpin LSI. Denny JA “out” dan mendirikan Lingkaran Survei Indonesia (disingkat LSI juga). M. Qodari pun “gerah” di LSI, keluar, dan mendirikan “kerajaan baru” bernama Indo Barometer.
Selain ketiga lembaga tersebut, lembaga survei lainnya antara lain Lembaga Survei Nasional (LSN), Lembaga Survei dan Kajian Nusantara (Laksnu), Indonesian Research Development Institute (IRDI), Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survey Sosial Indonesia, Lembaga Survey dan Manajemen Publik Indonesia, Jaringan Survey Manajemen Publik Indonesia, dan Sentra Informasi Kebijakan Publik Indonesia.

Ada pula Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Sugeng Suryadi Syndicate (SSS), Centre for Electoral Reform (Cetro), Centre for the Study of Development and Democracy (CESDA), Pusat Kajian Ilmu Politik UI (Puskapol UI), serta beberapa lembaga sejenis di daerah-daerah.

Fungsi Survei 


Secara normatif, fungsi survei adalah “menjembatani” kepentingan publik (rakyat) dengan penentu kebijakan publik (pemerintah dan elite politik).

Fungsi awal survei, jajak pendapat, polling, atau apa pun namanya adalah memantau opini publik; “mengintip” persepsi, harapan dan evaluasi publik terhadap sebuah kebijakan politik, juga mengukur apa yang dipikirkan masyarakat.

Survei juga “mengintip” pendapat (opini) serta harapan masyarakat terhadap pejabat/politisi ataupun institusi yang ada, mendekatkan keputusan-keputusan publik dengan aspirasi publik. Hasil survei dipandang sebagai “baromete” aspirasi masyarakat yang menjadi acuan dalam pembuatan keputusan.

Hasil survei setidaknya berguna sebagai “bahan tulisan” bagi para peneliti untuk menulis artikel di media. Tulisan mereka menjadi “layak muat” karena dukungan data “ilmiah” hasil survei itu. Mereka “hanya” menjabarkan hasil survei lembaganya. Hasil survei itu pula yang membuat mereka menjadi narasumber dalam berbagai acara talkshow di televisi yang menjadikan mereka sebagai pengamat politik.

Jenis Survei


Secara garis besar ada dua jenis survei. Pertama, Survei Publik. Jenis ini sifatnya nonkomersial dan dilakukan atas permintaan lembaga-lembaga publik untuk dipublikasikan. Kedua, Survei Komersial yang dilakukan atas permintaan individu, kelompok, atau lembaga swasta lainnya. Hasil survei ini sepenuhnya untuk klien dan tidak dipublikasikan kecuali klien bersangkutan menghendakinya.
Karena “menerima pesanan”, lembaga survei umumnya juga menerima “pertanyaan titipan” yang disesuaikan dengan kebutuhan klien.

Akurasi

Kredibilitas lembaga-lembaga survei belakangan dipertanyakan akibat munculnya dugaan “pesanan” itu. Apalagi dalam beberapa kasus, hasil survei tidak cocok dengan fakta.
Contoh paling faktual adalah Pilkada Jawa Barat. Semua lembaga survei tak mengunggulkan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade). Kenyataannya, pasangan yang diusung PKS-PAN inilah yang menjadi pemenang Pilkada Jabar.
Ada juga hasil perhitungan cepat lembaga survei di Pilkada Jatim yang “memihak” pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono. Namun, hasil perhitungan manual KPUD justru memenangkan pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf.

Alih Fungsi

Bak pedagang asongan dan kaki lima, di mana ada keramaian, mereka berbondong-bondong ke tempat itu. Demikian pula para “ilmuwan” atau periset. Karena “basah”, hasil survei bisa diperdagangkan, bahkan “bisa pesan”, lembaga survei pun bermunculan dan menjadi lembaga komersial dan bahkan berperan ganda: peneliti sekaligus konsultan atau tim sukses.

Lembaga survei kini dinilai sebagai “kekuatan kelima” (fifth estate) di belakang “kekuatan keempat” (fourth estate) –yakni media massa, di samping tiga kekuatan dalam “trias politica”–Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.

Disebut “kekuatan kelima” karena lembaga survei kini dinilai sebagai “algojo” penentu opini publik. Dengan kata lain, alih-alih mengintip opini publik, lembaga survei justru menjadi pembentuk opini publik itu sendiri.
Dengan kata lain, publikasi hasil survei dinilai sebagai bagian dari upaya menggiring opini dan memengaruhi pilihan rakyat. Perilaku pemilih berupa “ikut yang rame” atau “ngikut yang bakal menang” dimanfaatkan sebaik mungkin oleh lembaga survei dan para sponsornya. Hasil survei dapat menjadi bahan kampanye: “Survei membuktikan, kamilah yang unggul, maka pilihlah kami…”.

‘Pelacuran Intelektual’?


Tudingan tidak sedap, bahkan “kasar”, pun muncul kepada kalangan peneliti yang umumnya para intelektual atau akademisi bergelar master atau doktor itu. Seringnya publikasi hasil “survei pesanan” memunculkan “cap”: para intelektual itu sudah “melacurkan diri” alias menjadi “pelacuran intelektual” –sebuah tudingan yang tentu saja dibantah para peneliti atau lembaga survei.

Berkedok “metode ilmiah”, para peneliti bisa saja mengarahkan hasil surveinya dengan memilih responden yang sudah ditunjuk atau dipersiapkan. Jika menginginkan hasil survei menunjukkan partai A unggul, maka pilihlah responden yang “diduga” sebagai kader atau simpatisan partai A itu. Data pun valid, dapat dipertanggungjawabkan, dan “silakan cek data dan lembaran hasil survei kami”.

“Kalau nama Akang mau muncul, silakan Kang, pertanyaannya apa biar nanti responden inget nama Akang, atau pendengar Akang di daerah mana banyaknya…!” sebuah pesan singkat pun masuk ke HP saya, reply atas SMS saya: “Bung, pa kbr? Kapan ada survei di Bandung, nama saya munculkan dong… he he he…”. Aduh…! Wallahu a’lam.

---------
sumber: diangkut dari: http://www.romeltea.com/2010/04/26/menggugat-lembaga-survei/

Menggugat Lembaga Survei

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya