Masalahnya seringkali terjadi penyimpangan pada kalangan intelektual yang terjun ke dunia politik atau menjadi birokrat. Mereka bukannya memperbaiki keadaan yang bobrok dalam dunia politk dan birokrasi, malah seorang intelektual seringkali berfungsi menjadi legitimator untuk membenarkan dan memoles prilaku korup. Alih alih memperbaiki keadaan yang bobrok, malah dirinya larut dan ikut menjadi bobrok. Lebih parah lagi, sang inteletektual gadungan ini acapkali menyerang kalangan intelektual kritis dan gerakan aktifis idealis yang dulu teman seiring sejalan dengan dirinya dalam meneriakkan kebenaran, melawan kezaliman.
Seringkali kita dikejutkan, dibuat terheran heran, oleh “manuver” mantan aktifis yang semasa mahasiswa sangat idealis. Mereka yang lantang dan gagah berani melawan korupsi. Tapi begitu jadi pejabat, ternyata menjadi koruptor jua. Penyimpangan semacam ini bukan hal baru memang. Sudah `berlangsung sejak lama. Bahkan mungkin sejak peradaban manusia ada. Seperti wabah pelacuran yang tidak pernah bisa punah.
Muchtar Lubis pernah berrtutur. Dia ditanya oleh wartawan asing, “Apakah Anda yakin mereka tidak akan korup kalau menjabat?” Dengan tegas Muchtar Lubis menyatakan yakin. Tapi ternyata dia kecele. Para pejuang yang semula dia kagumi itu berlaku korup. Tahun 1927, Julian Benda telah menyuarakan menggejalanya intelektual yang melacurkan diri dengan menjual idelismenya semacam ini di Prancis. Benda menyebutnya sebagai Intelektual Pengkhianat.
Intelektual Pengkhianat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar