Pesta Ini Pesta Kami Rakyat Tangsel Bukan Sekedar Pesta Para Petarung

Usai sudah gelar Pilkada Ulang Tangsel 27 Feb 2011 yang berdasar hasil Quick Count dimenangkan pasangan no.4 Airin - Benyamin.
Ada masa saya tak peduli siapa para petarung itu, ada masa saya tertarik mencermati mereka satu persatu dan ada masanya saya harus menentukan pilihan karena ini Pesta Kami, Pesta Rakyat bukan Pesta Para Calon Elite Penguasa.

Pesta ini layak dinikmati, walau harap tak serta merta terwujud seperti mimpi yang diimpikan.

Ada suka, ada puja, ada hujat ada maki, semua ditabur hanya demi masa depan penuh harap.


Ada tali yang tersambung, ada utas yang terputus, tapi bukan menghilangkan keduanya, masih ada salam yang tak lekang, masih banyak kesamaan yang terlupa, masih ada sapa diatara kecam sesaat.

Pilhan ini bukan semata mencari pemenang, pilihan ini langkah awal jelang pertarungan yang sebenarnya, pertarungan panjang mengawal percaturan elite kekuasaan., pertarungan menyamakan tujuan antara Rakyat dan Pimpinannya.


Bila aku memilih A hari ini, aku memilihnya dengan bersiap untuk kecewa. Aku juga memilihnya bukan untuk selama-lamanya. Aku hanya memilihnya sebagai sarana yang saat ini kurang cacat di antara yang amat cacat – sarana sementara untuk mencegah luka lagi, meskipun pencegahan itu tak pernah pasti.
Politik adalah tugas merambah jalan di belukar membuka celah agar keadilan itu datang. Terkadang tangan jadi kotor, hati jadi keras--dan itu menyebabkan rasa sedih tersendiri.
Di depan belukar itu, kita berjudi dengan masa depan. Siapa yang menuntut kepastian penuh dari sejarah akan mendustai diri sendiri. Selalu ada saat untuk bertindak dan memihak – juga ketika kita menolak untuk bertindak dan memihak.
Tapi pada saat yang sama juga ada saat untuk berdiri agak menjauh. Terkadang dengan ironi, terkadang dengan penyesalan, tapi selamanya dengan kesetiaan: di dunia yang berdosa, pilihan kita bisa salah, tapi tugas tak henti-hentinya memanggil dan politik selamanya meminta. Kita mungkin gagal. Meski demikian, tetap ada yang berharga yang kita perkelahikan.
(Cuplikan dari Catatan Pinggir Gunawan Muhammad/Tempo, 08 Juni 2009).
Sebagai masyarakat yang menjadi obyek pecatur poltik, keadaan memaksa saya harus memahami perilaku para pelakunya, bukan ingin menjerat kekuasaan atau menjala kehidupan melaluinya.

Dan dengan adanya Pilkada ini saya mulai menulis, belajar berpikir dalam rangkai kata, merajut duga dibalik kata.

Selamat Bagi Para Pemenang, Salam Buat Para Simpatisan, Salut Buat Para Petarung, Terima Kasih Buat Para Sponsor. Anda semua telah mebuat Tangsel bersinar dan kami pun bangga menjadi penghuninya.

:)

cahPamulang

Pamulang, dini hari
(menunggu hasil Real Count dengan harapan ada keajaiban diesok hari walau itu mustahil terjadi sambil menulis setelah sekian waktu menjadi jalang tak kepalang)
28 Feb 2011


Notes :
  1. Wangsit penulisan, GM Quote by TI , Image 3 by AW
  2. Catatan Pilkada versi cahPamulang dan kawan ada di http://pilkadahebat.blogspot.com/
  3. FB cP Tobat dibuat sebagai ganti akun ori yang ditelan jalangnya Pilkada :)

Pilkada Hebat Tangsel: Versi LSI Juga Unggulkan Airin-Benyamin

undefined

Jakarta
-Lembaga Survei Indonesia (LSI) memprediksi kemenangan pasangan Airin Rachmi Diany dan Benyamin Davnie dalam pemilihan Wali Kota Tangerang Selatan melalui hitung cepat (quick count) yang digelar lembaganya.

"Airin unggul dengan 54,31 persen sementara Arsyid memperoleh 43,4 persen," ujar Deni Irvani, peneliti LSI dalam konferensi pers yang digelar di kantor LSI, Jalan Lembang Terusan, Menteng, Jakarta Pusat, sore ini (27/2). Sementara itu Yayat Sudrajat memperoleh 1,1 persen suara, dan Rodhiyah memperoleh 1,19 suara.

"Dengan demikian diprediksikan Airin dan Davnie memenangkan Pilkada dalam satu putaran, karena memperoleh lebih dari 30 persen suara," ujarnya menambahkan.

Dari hitung cepat ini, pasangan Airin-Davnie menyapu bersih kemenangan di tujuh kecamatan di Tangerang Selatan. Di Ciputat, Airin memenangi 56,67 persen suara, Ciputat Timur 52,74 persen, Pamulang 53,46 persen, Pondok Aren 54,62 persen, Serpong 51,11 persen, Serpong Utara 54,82 persen, dan Setu 58,95 persen.

Sementara itu di Ciputat kubu Arsyid memperoleh 40,26 persen, di Ciputat Timur 45,09 persen ,di Pamulang 44,04 persen, Pondok Aren 43,42 persen, Serpong 46,89 persen, Serpong Utara 43,46 persen dan Setu 38,76 persen.

Hitung cepat ini dilaksanakan dengan mengolah hasil penghitungan suara dari 410 TPS dan dianggap mampu merepresentasikan hasil penghitungan di seluruh TPS di Tangerang Selatan yang berjumlah 1890 buah.

Dalam survey ini sample dipilih dengan menggunakan metode kombinasi Stratified-Cluster Random Sampling dan toleransi kesalahan sebesar +/- 1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Dari 410 TPS yang direncanakan, baru 406 TPS yang bisa diolah datanya oleh LSI untuk memperoleh hasil hitung cepat. "Empat TPS datanya masih belum masuk, tapi itu tidak mempengaruhi hasil quick count," ujarnya.

Pilkada Hebat Tangsel: Untuk Sementara, PUSKAPTIS Unggulkan Airin

undefined

Jakarta
-Lembaga Survei Indonesia (LSI) memprediksi kemenangan pasangan Airin Rachmi Diany dan Benyamin Davnie dalam pemilihan Wali Kota Tangerang Selatan melalui hitung cepat (quick count) yang digelar lembaganya.

"Airin unggul dengan 54,31 persen sementara Arsyid memperoleh 43,4 persen," ujar Deni Irvani, peneliti LSI dalam konferensi pers yang digelar di kantor LSI, Jalan Lembang Terusan, Menteng, Jakarta Pusat, sore ini (27/2). Sementara itu Yayat Sudrajat memperoleh 1,1 persen suara, dan Rodhiyah memperoleh 1,19 suara.

"Dengan demikian diprediksikan Airin dan Davnie memenangkan Pilkada dalam satu putaran, karena memperoleh lebih dari 30 persen suara," ujarnya menambahkan.

Dari hitung cepat ini, pasangan Airin-Davnie menyapu bersih kemenangan di tujuh kecamatan di Tangerang Selatan. Di Ciputat, Airin memenangi 56,67 persen suara, Ciputat Timur 52,74 persen, Pamulang 53,46 persen, Pondok Aren 54,62 persen, Serpong 51,11 persen, Serpong Utara 54,82 persen, dan Setu 58,95 persen.

Sementara itu di Ciputat kubu Arsyid memperoleh 40,26 persen, di Ciputat Timur 45,09 persen ,di Pamulang 44,04 persen, Pondok Aren 43,42 persen, Serpong 46,89 persen, Serpong Utara 43,46 persen dan Setu 38,76 persen.

Hitung cepat ini dilaksanakan dengan mengolah hasil penghitungan suara dari 410 TPS dan dianggap mampu merepresentasikan hasil penghitungan di seluruh TPS di Tangerang Selatan yang berjumlah 1890 buah.

Dalam survey ini sample dipilih dengan menggunakan metode kombinasi Stratified-Cluster Random Sampling dan toleransi kesalahan sebesar +/- 1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Dari 410 TPS yang direncanakan, baru 406 TPS yang bisa diolah datanya oleh LSI untuk memperoleh hasil hitung cepat. "Empat TPS datanya masih belum masuk, tapi itu tidak mempengaruhi hasil quick count," ujarnya.

CATATAN UNTUK ARSID (9)

ARSID BUKAN PENGUSAHA, maka ia tak akan menemui kendala untuk memisahkan antara kepentingan pemerintah (public) dengan kepentingan bisnis (private) yang self-serving dan self-seeking. Itulah salah satu keunggulan Arsid, di samping pengalamannya sebagai camat telah membuatnya memiliki kesadaran moral tentang kekuasaan sebagai alat untuk melayani masyarakat, dan bukan sebaliknya: merampas hak warga. Ia juga sosok yang kuat secara kategoris, prinsipil dalam semangat pelayanan dan pengorbanan serta mampu berkomitmen pada kemaslahatan umum--dan bukan kepentingan parsial.

Pernah ada pertanyaan, apakah seorang camat itu sebenarnya lebih berperan sebagai sosok perwakilan penguasa yang birokratik dan otokratik, ataukah ia justru cenderung berfungsi sebagai bagian dari kekuatan baru yang dikehendaki agar ikut mendorong proses demokratisasi?. Saya melihatnya tiap camat memiliki peluang besar untuk ikut mendorong proses demokratisasi. Sebab kita tahu, camat—meski tak selalu mudah—adalah orang yang bertugas di garis terdepan untuk selalu bertatap muka dengan warga, hingga ia tak akan bisa menghindar dari posisinya sebagai public servant (abdi masyarakat) dalam kehidupan bernegara.

Artinya, dengan segala kemampuan yang berbeda-beda, tiap-tiap camat akan selalu dituntut untuk memiliki kemampuan serta menjalankan fungsi sebagai pemecah masalah di wilayahnya sesuai dengan prinsip-psinsip demokrasi: from the people, by the people, for the people. Dan, Arsid telah berhasil melewati “tahapan” itu dengan melihat demokrasi sebagai sebuah sarana untuk mendorong terciptanya ruang-ruang publik yang dapat digunakan oleh tiap warga yang merdeka, baik dalam arti pribadi-individual maupun kelompok, untuk menandai dirinya dari segala tujuan hidup—baik yang mayoritas maupun minoritas.

Maka tak heran bila Arsid—yang memiliki karakter nafsul mutmainnah; jiwa yang tenang dan bersih--berhasil mendorong apa yang disebut sebagai ruang yang “soliter” untuk digantikan oleh yang “solider” di kota ini. Ia berhasil membangun rasa kebersamaan yang kuat di tengah situasi kota yang terus mendorong kita untuk makin berjarak dengan banyak hal, ketika penderitaan (seakan-akan) milik masing-masing: tak punya kesempatan untuk dibagi. Ketika banyak orang melihat kemeja necis Emiglio Zegna, Ralph Lauren, atau Hugo Boss, tanpa pernah peduli siapakah nama-nama itu: apakah ia seorang desainer atau selebriti yang namanya dipinjam untuk merk.

Kita tahu, pernah ada cita-cita untuk membangun pilihan lain agar manusia bisa kembali menikmati hidup bukan sebagai komoditas belaka. Arsid berkampanye dengan menggugah kesadaran bahwa tak selamanya hal ikhwal harus melulu punya “nilai-tukar”. Ia mencoba membangun pemahaman: manusia tak selama-lamanya makhluk yang hidup dengan subyektivitasnya sendiri, melainkan juga dengan “inter-subyektivitas”—dan sebab itu, bahkan dalam keadaan berat, kita (mestinya) masih bisa menyempatkan diri untuk memikirkan perasaan orang lain.

Tapi mungkin juga yang hendak dipertahankannya adalah Tangerang Selatan sebagai ingatan yang berharga. Seperti Indonesia, sejak kanak-kanak, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kenangan itu sangat intim dan telah menjadi bagian dari identitas kita. Kenangan tentang sebuah “Indonesia” yang merekam niat mulia yang hendak menjabat tangan orang lain yang berbeda dengan ikhlas. Toh, Arsid melihat demokrasi sebagai way of life, pandangan hidup, serta tata nilai yang mampu mendorong terbangunnya sikap egaliter dan transparan.

Saya rasa itulah jawaban mengapa pasangan Arsid-Andre memperoleh suara yang signifikan pada pilkada 13 November 2010. Keduanya tak berkonsentrasi pada “aku” sebagai pusat situasi, tapi “kita”—dengan cita-cita bersama. Arsid melawan monolog. Baginya, kemerdekaan berpikir, kemerdekaan berpendapat, akhirnya juga berarti kemerdekaan untuk jadi percakapan yang tulus, lengkap dengan kerendahan hati. Ia percaya, dalam diri tiap manusia ada yang menyebabkan orang—dengan otonomi penuh—menghormati dan mematuhi panggilan hukum moral: ketika diam-diam kita menolak suap untuk memilih kandidat tertentu, juga menolak untuk turut serta dalam rekayasa persoalan agar dapat dituduhkan ke lawan politik.

Kita tahu, siapa pun tak dapat meniadakan persaingan politik, tapi kita juga menyadari tak mungkin—juga tak boleh--ada kekuasaan yang mutlak membentuk masyarakat. Saya melihat ini sebagai sebuah sikap yang dapat diterima semua orang yang berakal-budi. Toh, dalam ketiadaan tempat berpegang, orang umumnya akan berpihak pada nurani. Kita sama-sama tahu, saat ini di Tangerang Selatan, kegelisahan bukan hanya hinggap di dada para aktivis lembaga swadaya masyarakat maupun kelompok prodemokrasi, tapi juga di hati warga biasa: bahkan yang sehari-harinya membaca Esquire, Dewi atau Cosmopolitan—tapi kini merasa terpanggil untuk memikirkan sesama yang lain.

Sebab kita tahu, di kota ini, monster bernama totalitarianisme sedang merangkak keluar dari sarangnya untuk melumat apapun yang bisa dilumat, terutama demokrasi. Dan orang segera cepat merasakan ada ketidakadilan dengan tajam, terutama saat menyaksikan demokrasi—secara terbuka--sedang dirampok pelbagai kepentingan demi kuasa dan harta melalui politik uang. Kita sadar, politik yang terjangkit mental totalitarianisme akan (selalu) sulit membangun pranata hukum, bisnis, demokrasi, bahkan kekuasaan yang tahan zaman, sebab hubungan sosial yang dikedepankan adalah semangat untuk saling menjegal, bahkan menghancurkan.

Pada tataran ini, konsep persaudaraan hanya dijadikan retorika. Bagi saya, totalitarianisme mengingatkan kita pada konsep “kesatuan” yang diimani Hitler, Stalin, dan Mao—yang terasa sebagai horor. Kesatuan bisa terasa sebagai palu godam yang menghantam mereka yang disingkirkan karena dianggap tak satu golong­an, tak cocok untuk ”bersatu”: mereka yang berbeda pendapat. Yang merisaukan dalam pandangan itu adalah ketika ia tak mengakui fondasi bersama manusia yang kekal dan dapat dijadikan pegangan semua.

Situasi ini tentu tak menyehatkan bagi Tangerang Selatan ke depan, dan sebab itu mesti dicegah. Hal ini menjadi penting mengingat, seperti kata Richard Goldstone dalam Human Right in Political Transitions, yakni without justice, without acknowledgement, future evil leaders will more easily be able to manipulate historic grievances: tanpa keadilan, tanpa pengakuan, pemimpin-pemimpin yang jahat di masa depan akan dapat lebih mudah memanipulasi keluhan-keluhan historis. Arsid memang sedang mencoba mengatasi kerumitan ini. Ia, bagai ninja yang menyelinap di sebuah kastil agung mencoba memulai perlawanan: menghentikan angkara murka. Dan sebab itu, kita (juga) melawan.

Mereka mungkin punya banyak uang, tapi, kita punya satu “senjata” yang paling ampuh dari senjata apapun di belahan bumi ini. Senjata itu adalah penolakan kita untuk tunduk pada otoritas “luar” selain otoritas kita sendiri. Penolakan kita pada totalitarianisme yang sedang diusung beramai-ramai di kota ini. (*)
 
ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 26 Februari 2011

CATATAN UNTUK ARSID (8)

Saya beberapa kali ditanya oleh sejumlah orang: mengapa Arsid tidak pernah membicarakan isu pendidikan sebagai materi kampanye? Apakah Arsid tidak punya konsep tentang pendidikan?. Awalnya saya malas menjawab karena pertanyaan diajukan dengan sikap yang kurang bersahabat, tapi akhirnya saya jawab: Arsid meletakkan paradigma pendidikan—baik kebijakan, sistem, maupun praksis—bukan sebagai sarana pemenangan politik pragmatis. Ia lebih melihat pendidikan sebagai sebuah rekayasa budaya—mendambakan manusia memiliki prinsip hidup—dan tidak sebagai kendaraan kampanye politik. Sebab itu kita menghormatinya.

Bagi saya, reformasi pendidikan adalah sebuah rekayasa besar yang tidak dapat dikerjakan setengah hati, apalagi bila hanya pada masa kampanye saja, juga bila hanya sepenggal-sepenggal. Dalam era otonomi pendidikan saat ini sebenarnya telah membuka peluang bagi sektor pendidikan di daerah agar lebih berkualitas—yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Arsid pasti memahami bahwa kepala daerah memiliki kewenangan penuh dalam menentukan kualitas pendidikan di daerahnya—bahkan hingga soal teknis seperti penentuan sistem evaluasi.

Artinya, meminjam terminologi school based management, kualitas pendidikan untuk masa mendatang memang lebih bergantung pada komitmen daerah untuk merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing. Bila daerah cukup visioner dan memiliki political will yang kuat—disertai kebijakan yang mengedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah—maka kualitas praksis pendidikan akan dapat ditingkatkan sesuai harapan stakeholders.

Pertanyaannya, bagaimana sistem pendidikan yang sekiranya tepat untuk Tangerang Selatan?. Saya yakin, Arsid, seperti kita semua, akan mengawalinya dengan menggunakan parameter keberhasilan peserta didik bukan saja dari IQ (intelligence quotient)--perolehan aspek kognitif, yang tercermin dari perolehan nilai—tapi juga EQ (emotional quotient); sebuah kemampuan menahan diri, mengendalikan emosi, memahami emosi orang lain, bermotivasi tinggi, memiliki ketahanan dalam menghadapi kegagalan, dan sebagainya.

Toh, ini menjadi penting mengingat Tangerang Selatan sebagai kota multikultur, maka pendidikan yang dibangun harus berorientasi pada sistem pembelajaran dengan mengembangkan kepribadian yang dewasa, terbuka, dan toleran terhadap kultur di luar dirinya tanpa mengabaikan budaya sendiri. Ini sama artinya dengan kesadaran bahwa tiap manusia adalah pribadi-pribadi yang unik serta mempunyai bakat yang berbeda dengan yang lainnya.

*****

Saya melihat ada dua hal utama yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan upaya membangun pendidikan di Tangerang Selatan, di antaranya: (1) Sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai (wertorientier). Ini harus diawali dengan pemahaman bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memerdekakan manusia; maka pribadi yang merdeka bukanlah yang laissez-faire, tetapi yang mampu mempertanggungjawabkan hasil kemerdekaannya. Sebuah situasi bahwa peserta didik memiliki kemampuan mengritik—juga dikritik—serta mempunyai sensibilitas dan kreativitas, yang menjadi kompetensi social dalam menyikapi nilai-nilai dasar kebersamaan.

(2) Sistem pendidikan yang berorientasi pada dunia praksis (praxisbezogen). Ini berkaitan dengan ilmu pengetahuan pencerdas manusia, meski bukan berarti melulu bicara tentang “materilisasi” pendidikan yang mengedepankan konsep “siap pakai”. Saya melihat, praksis pendidikan harus diawali dengan suasana belajar-mengajar yang menggunakan metode dialogis untuk membuka pintu bagi proses pencarian kebenaran yang lebih tinggi.

Bagi saya, itulah tantangan dunia pendidikan ke depan, di mana kita harus mampu memadukan antara ilmu pengetahuan pencerdas manusia dengan ilmu humaniora yang menyentuh manusia secara menyeluruh. Ketika sekolah melahirkan manusia yang mampu menyadari dirinya sebagai makhluk sosial yang hidup dalam dimensi tanggung jawab pribadi dan sosial. Pada tataran ini, pendidikan memiliki tujuan menghasilkan manusia-manusia yang berkepribadian utuh dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh pelbagai desas-desus yang meresahkan ketenangan dalam hidup sosial.

Sebuah pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang tidak mudah diadu domba, tidak mudah dihasut, serta tidak mudah ditipu oleh pelbagai skenario sosial-politik yang terjadi—baik dalam skala regional maupun nasional. Toh, seperti yang pernah disinggung Arsid, ini sama artinya kita mendambakan manusia yang memiliki prinsip hidup, agar dapat membedakan apa yang bisa, boleh, dan seharusnya dilakukan. Ketika manusia (selalu) ditantang untuk berani menghadapi dan menerima perbedaan personal dan sosial: bahwa tiap manusia adalah unik.

Buat saya, apa artinya kecerdasan bila kita bersikap seperti Hitler—yang lebih mempersoalkan “identitas ethnis”?. Dalam Mein Kampf, ada kisah tentang Hitler muda. Pada suatu malam di pusat kota Wina, ia berjalan dan bertemu dengan sesosok bayangan hitam dengan rambut hitam dikepang. Hitler bertanya pada diri sendiri: “Yahudikah ini?. Setelah ia amati lebih jauh, ia kembali bertanya dalam hati: “Orang Jermankah ini?”. Hitler tak pernah berpikir apakah si Bayangan itu seorang dokter, tentara, atau seniman. Yang penting baginya hanya “identitas ethnis”.

Maka segera kita tahu: ia sesungguhnya tak memiliki kesadaran akan diri sendiri yang menyatu dengan kesadaran akan orang lain. Hitler menganggap identitas adalah sesuatu yang dibawa dari lahir, karena antagonisme yang diyakininya adalah sesuatu yang permanen. Ia lupa, identitas sebenarnya tak pernah datang sendiri. Ia hadir karena dirumuskan oleh nama dan bahasa: bangunan simbol yang disusun masyarakat—yang kadang dengan kekerasan. Bahkan ketika ada orang yang mengatakan: “Aku telah menemukan jati diriku”, sesungguhnya ia tak sadar bahwa “diri” yang “sejati” itu mustahil ia peroleh.

Di sinilah, kita terus paham mengapa kita memilih Arsid untuk menjadi pemimpin di Tangerang Selatan. Ia melihat Tangerang Selatan adalah sebuah sejarah masa depan yang berharga bukan untuk diri sendiri—dan dengan demikian memberi makna bagi hidup kita. Kota ini, baginya, adalah sebuah sejarah harapan dan pengorbanan—dari orang yang berbeda-beda, bagi orang yang berlain-lainan--yang tak merasa perlu memberi batas mutlak tentang ”luar” dan ”asing”. Ia selalu melihat bahwa masyarakat manusia juga mengandung benih-benih perkawanan. Tak cuma antagonisme. Itulah kecerdasan yang sesungguhnya dari seorang pemimpin. (*)

ARU WIJAYANTO
Bogor, 24 Februari 2011

Saran Buat JPTS : Real Count via Facebook, Manfaatkan Fasilitas Upload Via Email, Hasilnya Tertayang Langsung di Wall JPTS

Pilkada Ulang besok 27 Feb 2011 adalah momen yang dinanti semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun sekedar pantau. Untuk itu sudah selayaknya bila JPTS pun berpartisipasi melakukan pemantauan secara independen dengan memanfaatkan jaringan relawan yang dimiliki yang bersedia berkolaborasi membuat semacam Real Count bayangan dengan memanfaatkan fasilitas Facebook yang ada.

Bila ada 2 (dua) Surveyor yang akan melakukan Quick Count kelak, tentu tak ada salahnya bila JPTS cs melakukan hal yang sama dengan cara-cara yang sederhana dan dapat diakses oleh semua pihak.
Langsung ke topik bahasan :
1. Akifkan fasilitas "upload via email" untuk akun Facebook anda melalui Setting Akun berikut :

2. Pilih Panel "Mobile" lanjutkan ke "Go To Facebook Mobile" dipojok kanan

3. Setelah anda akan mendapatkan alamat email akun Facebook anda, catat baik-baik dan jangan disebar ke publik, kecuali untuk petugas input data yang dipercaya

4. Siapkan draft untuk pengiriman data melalui email personal relawan input data anda, sebanyak TPS yang ada, yang dikelompokkan berdasar eEcamatan dan Kelurahan, dengan Fromat sederhana, contoh :
.

Kec. Pamulang, Kel. Benda Baru, TPS XX : A. (kosongin) B. (Kosongin) C. (Kosongin) D. (Kosongin) E. (Kosongin) F. (Kosongin)
.

A s/d D = suara sah, E = suara Rusak, F = Total Surat Suara
Pada contoh dibawah saya hanya buat A-D saja
5. Susun semua dalam draft email anda untuk siap edit begitu data masuk dan segera kirim ke alamat Email Akun Facebook anda.
6. Begitu input data selesai segera kirim ke alamat akun Facebook anda maka dalam sekian detik data tersebut akan tampil di Wall Anda. Pastikan Wall anda set Read Only, artinya kontak anda tidak dapat melakukan posting ke Wall anda kecuali reply saja. Seting ini penting agar kiriman Real Count tersebut tidak tertiban/ditiban oleh komentar orang lain, namun mereka masih dapat memberikan respon terhadap data yang masuk utamanya untuk koreksi bila diperlukan.
Gambar berikut ilustrasi Tampilan Real Count versi Wall yang didapat, dimana visitor masih dapat merespons postingan tersebut.
Catatan :
  1. Email Personal adalah Email Para Relawan
  2. Email Akun Facebook adalah alamat tujuan pengiriman data Facebook melalui email personal para relawan (email ini jangan disebar ke publik)
  3. Setting Wall agar publik sementara tidak dapat melakukan posting pada hari H atau H-1 untuk melakukan Simulasi dapat dilihat digambar berikut
Demikian Saran dan Harapan yang dapat saya sampaikan kepada JPTS cs, semoga anda semua masih mampu bergerak dan mengambil Kans dari Tutorial singkat ini. Perihal pembagian kolekting data, tentunya JPTS dapat mengukur kondisi internal nya sendiri. Apakah data diinput per Kecamatan, atau per-Kelurahan disesuaikan saja dengan kemampuan yang ada.

Tiga hari untuk koordinasi mengani hal ini rasanya cukup, bila JPTS cs, berkonsentrasi untuk menggalang semua relawannya, JPTS dapat pula memanfaatkan kontak akun JPTS yang dapat dipercaya untuk menjadi bagian dari input-er tersebut.

Salam
:)
cahPamulang, jelang dini hari
(lagi nggak ditempat tapi tetep semangat menyambut Pilkada Ulang kelak)
24 Feb 2011


Saran Buat JPTS : Real Count via Facebook, Manfaatkan Fasilitas Upload Via Email, Hasilnya Tertayang Langsung di Wall JPTS

Refleksi Peran Media Menjelang Pemilukada

Oleh: Iwan Awaluddin Yusuf 1]

Dalam sebuah tulisan di Majalah Time, Henry Gunward pernah menulis jargon: no democracy without free press. Statemen ini senada dengan pidato Presiden Thomas Jefferson yang sangat populer: “Jika saya disuruh memilih antara pemerintah tanpa pers yang bebas dan pers bebas tanpa pemerintah, maka saya akan memilih pers bebas tanpa pemerintah”.

Di tengah semangat desentralisasi dan kebebasan informasi, bangkitnya industri pers lokal telah memberi kontribusi dan warna baru dalam tradisi bermedia dan kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun demikian, lanskap kehidupan bermedia, terutama di ranah lokal masih menunjukkan karut marut persoalan yang berkelindan dan pelik untuk diurai. Netralitas pers lokal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) misalnya, atau eksistensinya yang lebih mengutamakan fungsi ekonomi daripada aspek informatif-edukatif bagi publik daerah adalah dua isu utama yang mengemuka, bahkan berpotensi mereduksi peran pers; alih-alih menjadi lembaga keempat (fourth estate) yang mengawal proses demokratisasi, justru misfungsi menjadi kepanjangan tangan “raja-raja” daerah yang menyokong kepentingan kekuasaan jangka pendek, nasionalisme kesukuan, dan primordialisme lokal.

Tulisan ini akan mengelaborasi tiga bahasan: Pertama, tinjauan teoritik mengenai relasi media, demokrasi, dan proses menuju demokratisasi di ranah lokal. Kedua, sebagai respon dari penyelenggaraan otonomi daerah, media mau tidak mau memegang peran vital sebagai mediator informasi antarpemimpin politik pemerintahan lokal dengan konstituennya, maka diskusi tentang netralitas media dalam pemilihan kepala daerah menjadi penting untuk dikemukakan. Ketiga, bagian terakhir tulisan ini berusaha merumuskan pentingnya peran pers lokal dalam proses demokratisasi di Indonesia, sekaligus memberikan tawaran alternatif bagaimana seharusnya format pers lokal di masa mendatang, terutama sebagai subsistem demokrasi.

Pers Lokal, Reformasi, dan Otonomi 

Maraknya pers lokal atau media daerah sesungguhnya merupakan reaksi simultan dari reformasi politik tahun 1998. Gerakan reformasi sendiri berhasil mendorong setidaknya dua perubahan signifikan.

Pertama, era kebebasan pers yang menggantikan tirani-autoritatif pemerintah melalui rezim surat perizinan. Sejarah mencatat, penguasa Orde Baru meneguhkan kekuasaan dalam mengintervensi pers melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers perihal Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Tanpa kedua surat izin tersebut, sebuah terbitan dianggap ilegal. Pada kondisi tertentu, jika izin dicabut (lagi-lagi oleh pemerintah), terbitan itu otomatis diberangus. Tradisi SIT dan SIC berlaku lebih dari 15 tahun, sampai tahun 1982 saat SIT yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Esensi SIUPP sama persis dengan SIT, hanya berubah dalam sebutan. Ketika SIUPP sebuah terbitan dicabut oleh Departemen Penerangan, terbitan itu langsung ditutup oleh pemerintah.

Hiruk pikuk reformasi berhasil melenyapkan urusan perizinan ini. Berawal dari kelonggaran pengurusan SIUPP hingga pencabutan SIUPP dan berpuncak pada pengesahan Undang-undang Pers No. 42 Tahun 1999. Kini, cukup dengan secarik kertas bertajuk Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP-dengan satu P) yang sangat mudah diperoleh, siapapun yang memiliki modal dan berbadan hukum, berhak menerbitkan media cetak, tanpa birokrasi berbelit.

Kedua, perubahan mendasar dari reformasi adalah agenda otonomi daerah yang mengusung asas desentralisasi. Kebijakan yang dituangkan dalam UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerinthan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ini menjadi titik balik perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia, terutama pemerintahan di daerah. Bagi mekanisme penyelenggaran negara, kebijakan desentralisasi yang sejatinya pernah dituangkan gradatif dalam peratuan perundangan mulai tahun 1945 dan seterusnya, yaitu tahun 1948, 1957, 1959, 1965, 1974, 1999 dan yang terakhir Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004[2] membawa dua tujuan yang tidak dapat dilepaskan dari peran media (1) tujuan politik dan (2) tujuan administratif Tujuan politik memposisikan pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat tingkat lokal yang secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan poliltik tingkat nasional dalam rangka mempercepat terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administratif memposisikan pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan memberi hasil yang lebih baik dibanding pemerintahan sebelum reformasi (Mawardi, 2002: 2). Di satu sisi, otonomi daerah mempunyai kecenderungan ideinetik dengan kebebasan di daerah (freedom of locality) untuk menentukan nasib sendiri (self determination) atau demokrasi lokal (Akbar dan Khan, 1982, seperti dikutip Sarundajang, 2000: 57).
Di mata Hoessein (2002: 4), otonomi daerah membawa pergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan lokal yang telah ada sebelumnya. Structural effiency model yang menekankan efisiensi dan keseragaman ditinggalkan dan diganti local democracy model yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Seiring dengan pergeseran model tersebut, terjadi pula gugatan dari pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan desentalisasi. Hubungan pemerintahan yang semula “dependent” dan “subordinate” kini menjadi “independent” dan “coordinate”. Pola hubungan tersebut tercipta sebagai konsekuensi perubahan makro dari integrated prefectoral system yang utuh ke integrated prefectoral system yang parsial, dalam hal ini berlangsung di tataran provinsi.

Dua perubahan elementer di atas mendorong media lokal mengartikulasikan kebutuhan informasi masyarakat sekaligus mengisi ceruk pasar (market niche). Mengingat kondisi masyarakat yang beraneka ragam, media lokal lahir dengan mengusung kebernekaragaman pula. Fungsi desentralisasi dan local autonomy bagi pers daerah ditunjukkan dengan kemampuan mengakomodasi kemajemukan aspirasi masyarakat lokal-komunitas. Desentalisasi media pada tingakan ini melahirkan kemajemukan politik (political variety) yang sangat berguna untuk menyalurkan dan menampung local voice dan local choice.

Hubungan media dan good local governance dalam konteks otonomi menjadi sangat penting karena pengambilan keputusan pemerintah tidak mungkin dilakukan tanpa partisipasi masyarakat. Media menjadi wahana informasi yang strategis dalam menampung aspirasi grassroot atas berbagai keputusan yang akan diambil pemerintah, sekaligus menginformasikan keputusan itu sendiri (Tim LSPP, 2005: x). Kondisi partisipatif seperti ini digambarkan oleh Page (1991):

To be local implies some control over decisions by the community. The principles of representative democracy suggest that this influence is exercised at least in part through democratically elected officials who may be expected to representative can also provide the focus for form of participatory democracy through direct citizen involvement or interest group activity

Senada dengan Page, Riyanto (2005: 229) melihat bahwa inti dari poyek desentralisasi dan otonomi daerah adalah bagaimana membangun demokrasi di tingkat lokal dan secara simultan, pada waktu bersamaan membangun civil society yang kuat. Kondisi seperti ini tentu tidak dapat terwujud tanpa partisipasi masyarakat yang terinformasi dengan baik (well informed). Dengan meningkatnya atmosfer keterlibatan dan partisipasi subsistem di tingkat lokal dan institusi-institusi lain di luar pemerintahan, terutama dalam pengambilan keputusan, maka pembangunan akan semakin responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat (De Gusman dan Referma, 1993: 3)

Pendapat yang sama diungkapkan Masyarakat Transparansi Indonesia (2002: 17). Menurut MTI, salah satu kunci keberhasilan otonomi daerah adalah partisipasi aktif masyarakat lokal, yang salah satunya dijembatani saluran media massa lokal. Partisipasi pers menjadi penentu kesuksesan otonomi daerah karena di dalamnya mengandung aspek pengawasan dan aspirasi.

Jack Snyder (2003, sebagaiamana dikutip Tim LSPP, 2005: 8 ) juga melihat peran positif yang dapat dimainkan media lokal, seperti sebagai pendidik, pengidentifikasi masalah, penyedia forum, dan penguat (revitalitator) sosiokultural bagi komunitasnya. Robert Dahl (seperti dirujuk Oetama, 2001: 76) menyebut peran pers yang bebas sebagai “the availability of alternative and independent sources of information”. Peran utama ini bersinergi dengan prinsip-prinsip good local governance seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas di tingkat lokal. Partisipasi berarti adanya peran aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan. Transparansi didasarkan pada adanya mekanisme penjaminan akses umum bagi pengabilan keputusan. Sedangkan akuntabilitas menyatakan seberapa besar efektifitas pengaruh dari pihak yang diperintah (objek) terhadap pihak pemerintah (subjek). Sementara itu Keane (1991:116-117) menggarisbawahi pentingnya media sebagai pelayan publik (public servant) yang memiliki andil besar dalam negara demokrasi. Andil ini terutama menyangkut ketersediaan informasi yang berguna bagi kehidupan publik.

Selain kontribusi dalam menjamin proses demokratisasi, di satu sisi, media lokal juga membawa efek ambivalen karena kuatnya nilai primordialisme dan keterdekatan sosiokultural-ekonomi pemodal media dengan stakeholder daerah yang menyebabkan media lokal juga memiliki posisi dilematis, misalnya dalam peliputan Pilkada (Kandyawan, 2005). Synder (2003) dengan berbagai penelitiannya bahkan menyimpulkan pers lokal bisa mengobarkan kepentingan jangka pendek, terutama karena pada masa awal demokratisasi-bermedia terjadi, suasana berpendapat bebas terjadi, pers lebih mudah didirikan, dan semuanya bisa menjadi alat bagi para maniak kekuasaan untuk menaikkan posisinya (Haryanto, 2005; Tim LSPP, 2005: 8).
Dengan kata lain, pers daerah kadang-kadang gagal menjaga jarak dan ikut larut secara emosional dengan dinamika kompetisi sosial politik dan konflik di wilayahnya, akibatnya liputan menjadi kurang berimbang. Di sisi lain, tekanan pasar, baik yang berupa ketatnya persaingan antarmedia maupun kehausan publik bawah terhadap tuntutan sensasionalitas berita, sering memperkeruh proses dan wajah liputan pers daerah (Kandyawan, 2005) .

Netralitas Pers dalam Pemilihan Kepala Daerah

Prasyarat bagi terwujudnya proses demokratisasi adalah kebebasan ekspresi dan informasi, oleh karena itu diperlukan subsistem berupa media massa yang independen. Dimulai dengan memberikan informasi yang benar, relevan, dan objektif bagi masyarakat sampai pada fungsi pengawas kekuasaan. Pengertian kekuasaan dalam konteks masyarakat demokratis tidak hanya berorientasi pada kekuasaan pemerintah, melainkan ada ruang lingkup yang cukup luas yang meliputi kegiatan politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Ini sinkron dengan apa yang dikemukakan Schieck (2003: 8 ) bahwa kehadiran media yang independen dapat mengarah pada dua peran; Pertama, menjadi “anjing penjaga” (watchdog) bagi pemerintah. Kedua, mengedukasi publik atas berbagai isu yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari.

Interaksi ini terlihat di banyak sektor kehidupan. Dalam konteks yang lebih politis, pemilu misalnya, menurut survei The Asia Foundation yang dikeluarkan pada 2004, lebih dari 90 persen masyarakat menggunakan media sebagai sumber informasi pemilihan umum (Tim LSPP, 2005: 2). Dari besarnya angka ini tentu sangat membuka penyalahgunaan media sebagai sarana “main mata” antara pemilik media dan elit politik daerah. Mulai dari kesepakatan transaksioal untuk menyediakan space iklan politik, meliput pelantikan pejabat daerah, hingga publikasi yang mem-blow up aktivitas kampanye pemilu. Kondisi ini lebih parah jika kebetulan pemilik media atau orang kuat di struktur organisasi media adalah salah satu kandidat peserta pilkada. Yang terjadi tidak lain pers menjadi aparatus kepentingan sesaat guna menggalang konstituen di daerah komunitasnya. Jelas dari bentuk-bentuk penyimpangan seperti ini, pers tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana konsepsi tradisional pers: majelis keempat demokrasi.

Kekuasaan keempat (the fourth estate), tidak berarti pers harus memposisikan diri “beroposisi” terhadap pemerintah atau “melawan” pemerintah. Kedudukan pers dalam konsep majelis keempat sama dengan parlemen, yang lebih ditekankan pada sifat independensi atau kebebasan menyebarkan informasi dan pendapat tanpa rintangan dari pemerintah. Pers hanya bertanggung jawab secara yuridis kepada pengadilan, dan juga bertanggungjawab etika kepada organisasi wartawan (Muis (2000: 56-57).

Tarik-menarik kepentingan antara pers dengan elite lokal dan penyalahgunaan fungsi pers lokal dalam proses pemilihan kepala daerah dapat dimungkinkan terjadi karena beberapa penyebab yang berpangkal pada satu hal, minimnya profesionalisme. Profesionalisme pers dapat diindikasi dari tiga tataran: mikro, meso, dan makro. Meski kadang di antara tiga level ini tidak tegas pembedaanya karena saling tumpang tindih dan dipertautkan satu sama lain, namun secara sederhana pengkategorian di atas dapat mempermudah dalam pembahasan.

Pertama, level mikro, yaitu produk akhir media berupa isi atau teks, yang secara sederhana terlihat dari berita yang disajikan. Ketidakprofesionalan pers lokal terutama sangat terlihat dari berbagai pemberita tentang proses penyelengaraan pemilihan kepala daerah yang ditampilkan kurang berimbang. Terbukti dari penelitian yang dirilis LSPP tahun 2005 tentang isu transparansi (korupsi) dan pelayanan publik terhadap 8 media cetak lokal di 4 wilayah (Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat) memperlihatkan ketergantungan suratkabar lokal tersebut yang masih tinggi dengan kekuasaan lokal. Kondisi ini jelas mempersempit ruang gerak media cetak sebagai pengontrol kekuasaan (Tim LSPP, 2005: x). Pada penelitian tahun sebelumnya (2004), LSPP melakukan monitoring terhadap 1.136 berita dari 10 suratkabar terkemuka Indonesia pada periode 11-25 Maret 2004. Hasil yang diperoleh adalah kesimpulan bahwa media kurang memperhatikan asas keberimbangan (cover both sides) dalam menyajikan berita. Isu seputar KKN dan uapaya reformasi militer misalnya, atau isu Dewan Perwakilan Daerah yang kandidatnya mencapai ribuan orang, hanya memperoleh perhatian peliputan yang sangat minim dibanding peristiwa-peristiwa lain yang diberitakan (Luwarso. ed, 2004).

Padahal secara teoritik, profesionalisme dalam berita mensyaratkan beberapa kondisi, terutama objektivitas. Dalam konsepsi yang cenderung positivistik ini, definisi objektivitas dirumuskan dalam dua prinsip, yaitu kesesuaian dengan kenyataan (factuality) dan tidak memihak (impartiality). Prinsip factuality terdiri dari dua unsur, yaitu benar (truth) dan relevan (relevance). Unsur benar (truth) ditentukan oleh ketepatan (accuracy) dalam mendeskripsikan fakta. Kebenaran akan kuat jika disertai akurasi pada seluruh unsur berita (5W+1H). Keakuratan ini dalam praktiknya memerlukan kelengkapan (completeness) berbagai instrumen. Sementara itu, unsur-unsur yang digunakan untuk mengukur tingkat relevance meliputi: (1) proximity psikografis, (2) proximity geografis, (3) timeliness, (4) significance, (5) prominence dan (6) magnitude. Item-item tersebut dikenal sebagai news values. Prisip tidak memihak (impartiality) juga menentukan tingkat objektivitas. Ada dua unsur yang mendukung ketidakberpihakan, yaitu seimbang (balance) dan neutral. Seimbang adalah memberi tempat yang adil pada pandangan yang berbeda, sering disebut dengan istilah cover both sides, sedangkan netral berarti harus ada pemisahan antara fakta dan opini pribadi wartawan (McQuail, 2000: 196 – 222).

Mengungkap fakta dengan objektivitas sesuai unsur-unsur yang telah disebutkan di atas, maka dengan sendirinya media akan menjadi anjing penjaga (watchdog) terhadap berbagai penyelewengan, baik di level negara (state) maupun masyarakat (public), termasuk perorangan. Dalam kondisi ini masyarakat akan berpikir serta menentukan sendiri, mana yang benar dan mana yang salah. Pers tidak perlu mendikte atau mengarahkan, cukup mengungkap fakta apa adanya, dan masyarakatlah yang memberi penilaian.
Kedua, indikasi profesionalisme pers lokal dapat dilihat dari elemen meso. Aspek ini meliputi dinamika proses-proses memproduksi dan mengonsumsi teks media. Hal mencolok dalam pembahasan ini adalah lemahnya manajemen pers lokal dengan SDM yang kurang kompeten serta tidak profesional. Selain itu, lemahnya manajemen media ini juga berujung pangkal pada rendahnya kesejahteraan hidup jurnalis lokal, yang dalam banyak kasus diberi gaji di bawah standar UMR. Bahkan, ada sebagian wartawan daerah yang hanya memperoleh kartu pers tanpa gaji tetap dari medianya (lihat misalnya Tim LSPP, 2005: 102). Pada kasus lain, pendirian pers merupakan agenda politik elite lokal yang membawa misi menjadikan media sebagai corong membela kepentingannya. Ini tampak dari nama-nama elite poltik lokal yang tercantum dalam masshead (struktur redaksional) suratkabar.

Kurangnya profesionalisme pers lokal juga diperlihatkan dari kondisi wartawan yang tidak memiliki kompetensi dan idealisme sehingga hanya menjadikan institusi media lokal sebagai lahan mencari keuntungan. Kolaborasi mutualisme wartawan dengan pemerintah daerah mengarah pada kesepakatan-kesepakatan yang menyimpang dari idealisme dan etika jurnalistik dilegalkan dalam anggaran pemerintah daerah (ABPD), mulai dari biaya perwatan gedung PWI, pembinaan ini itu, hingga mensponsori sejumlah kegiatan fiktif bagi para wartawan. Inilah yang seharusnya dihapuskan dalam anggaran pemerintah daerah sekaligus ditolak oleh wartawan. Penghapusan pos tersebut dapat mendudukkan pers pada posisi yang proporsional sebagai lembaga independen.

Ketiga, indikasi untuk melihat profesionalisme pers lokal adalah pada tataran makro yang merujuk pada dinamikan sosial budaya, ekonomi politik, konteks sejarah, dan regulasi media. Isu yang mencolok dari aspek makro adalah ketidakjelasan aturan main bagi pers lokal dalam mengartikulasikan fungsinya. Penegakan etika yang kurang tegas, siapa yang memeberi sanksi dan sanksi apa yang dilakukan jika terjadi pelanggaran tampaknya belum sepenuhnya diakomodasi dengan baik oleh berbagai sistem hukum di negara kita, dalam pengertian lemah pada aspek penegakan, bukan pada bunyi pasal-pasal perundang-undangan. Di sisi lain, dari segi historis, menjamurnya pers lokal juga tidak sepenuhnya berangkat dari basis pemikiran kontemplatif bagi kemanfaatan publik, melainkan tak lebih sebagai tren, bahkan euforia kebebasan yang pada titik tertentu ternyata tidak dipahami maknanya oleh baik pengelola pers maupun publik media itu sendiri. Inilah yang mendorong perlunya lembaga pengawas media (media watch) yang independen guna mengingatkan jika terjadi penyelewengan oleh pers. Selain itu bagi masyarakat diperlukan edukasi bermedia melalui pendidikan literasi media sehingga mereka tidak hanya menjadi objek pasif media, melainkan memiliki kesadaran peran sebagai stakeholder aktif yang berhak terlibat dalam proses produksi dan distribusi informasi.

Penutup

Demokrasi mengandung makna independensi dan otonomi. Dengan kata lain, kehidupan politik disangga oleh berbagai institusi yang memiliki tingkat kebebasan dan otonomi, namun saling bersinergi satu sama lain. Dalam kondisi semacam ini kehadiran media pers merupakan keniscayaan (conditio sine qua non). Keberadaan pers lokal sebagai subsistem arena percaturan politik di tingkat lokal mengharuskan adanya landasan profesionalisme dan idealisme yang kuat. Tanpa profesionalisme, media pers tidak akan memperoleh kepercayaan masyarakat. Berkembangnya pers lokal harus dimaknai secara bijaksana oleh stakeholder media sehingga fungsi “memberdayakan” (empowering) masyarakat lewat media tidak berubah makna menjadi “memperdayakan” (disempowering) sebagaimana euforia kebebasan pers di awal era reformasi beberapa waktu lalu: “Yang penting terbit, urusan lain belakangan”.

Di sisi lain, sebagai sebuah institusi bisnis, pers lokal juga harus meningkatkan mutu manajemen media yang pada gilirannya mampu menyehatkan perusahaan dan meningkatkan kesejahteraan para pekerja media yang bersangkutan. Gempuran persaingan dengan media-media lain juga akan menguji sampai sejauh mana eksistensi pers daerah di masa-masa mendatang. Dalam menyikapinya maka peningkatan kapasitas manajerial harus dilakukan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan yang intensif.

Terakhir, publik pembaca juga harus berupaya meningkatkan pemahaman tentang melek media (media literacy) sehingga dapat meningkatkan apresiasi dan partisipasi bermedia secara sehat dan kritis guna mendorong terciptanya good local government dalam arti sesungguhnya, yaitu menjamin adanya partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, termasuk pada pelaksanaan pilkada 2010 yang berlangsung di berbagai daerah di Indonesia.

--------
[1] Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta.
[2] Undang-udang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan revisi atas UU No. 22 Tahun 1999. Revisi lewat produk undang-undang yang baru ini oleh sebagian kalangan cenderung dipandang sebagai bentuk ”re-sentralisasi” (Lihat misanya Haris., dkk, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, 2006).
---------
sumber, digotong dari
http://bincangmedia.wordpress.com/2010/03/30/refleksi-peran-media-menjelang-pilkada-2010/
Ketika media menyuarakan kepentingan dan menjadi tunggangan yang dikangkangi kandidat

Refleksi Peran Media Menjelang Pemilukada

Menyoal Peran Pers dalam Pilkada

Oleh: Iwan Awaluddin Yusuf
 

Prasyarat bagi terwujudnya proses demokratisasi adalah kebebasan ekspresi dan informasi, oleh karena itu diperlukan subsistem berupa media massa yang independen. Independensi dapat dilihat dari sejauh mana media memberikan informasi yang benar, relevan, dan objektif bagi masyarakat, sampai pada berjalannya fungsi media sebagai pengawas kekuasaan.

Pengertian kekuasaan dalam konteks masyarakat demokratis tidak hanya berorientasi pada kekuasaan pemerintah, melainkan ruang lingkup yang luas meliputi kegiatan politik, sosial, dan ekonomi. Ini sinkron dengan dua peran pokok pers yang independen: pertama, menjadi “anjing penjaga” (watchdog) bagi pemerintah; kedua, mengedukasi publik atas berbagai isu yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Contoh yang paling aktual dapat dikaji dari peran pers daerah dalam meliput penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada).

Menurut survei The Asia Foundation yang dikeluarkan pada 2004, lebih dari 90 persen masyarakat menggunakan media sebagai sumber informasi pemilihan umum (Tim LSPP, 2005). Dari besarnya angka ini tentu sangat membuka penyalahgunaan media sebagai sarana “main mata” antara pemilik media dan elit politik daerah. Mulai dari kesepakatan transaksional untuk menyediakan space iklan politik, meliput pelantikan pejabat daerah, hingga publikasi yang mem-blow up aktivitas kampanye pemilu. Kondisi ini menajdi lebih buruk jika kebetulan pemilik media atau orang kuat di struktur organisasi media adalah salah satu kandidat peserta pilkada. Yang terjadi tidak lain pers lokal menjadi aparatus kepentingan sesaat guna menggalang konstituen di daerah pemilihan. Jelas dari bentuk-bentuk penyimpangan seperti ini, pers tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana konsepsi tradisional pers: majelis keempat demokrasi yang artinya pers sebagai pilar pengawas kekuasaan.

Tarik-menarik kepentingan antara pers dengan elite lokal dan penyalahgunaan fungsi pers lokal dalam proses pemilihan kepala daerah dapat dimungkinkan terjadi karena beberapa penyebab yang berpangkal pada satu hal, yaitu minimnya profesionalisme. Profesionalisme pers dapat diindikasi dari tiga tataran: mikro, meso, dan makro.


Pertama, level mikro, yaitu produk akhir media berupa isi atau teks, yang secara sederhana terlihat dari berita yang disajikan. Ketidakprofesionalan pers lokal terutama sangat terlihat dari berbagai pemberita tentang proses penyelengaraan pemilihan kepala daerah yang ditampilkan kurang berimbang. Dari penelitian yang dirilis Lembaga Studi Pers Pembangunan (LSPP) tahun 2005 tentang isu transparansi dan pelayanan publik terhadap 8 media cetak lokal di 4 wilayah (Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat) memperlihatkan ketergantungan suratkabar lokal tersebut yang masih tinggi dengan kekuasaan lokal. Kondisi ini jelas mempersempit ruang gerak media cetak sebagai pengontrol kekuasaan (Tim LSPP, 2005). Pada penelitian tahun sebelumnya (2004), LSPP melakukan monitoring terhadap 1.136 berita dari 10 suratkabar terkemuka Indonesia pada periode 11-25 Maret 2004. Hasil yang diperoleh adalah kesimpulan bahwa media kurang memperhatikan asas keberimbangan (cover both sides) dalam menyajikan berita. Isu seputar KKN dan uapaya reformasi militer misalnya, atau isu Dewan Perwakilan Daerah yang kandidatnya mencapai ribuan orang, hanya memperoleh perhatian peliputan yang sangat minim dibanding peristiwa-peristiwa lain yang diberitakan (Luwarso. ed, 2004).

Dalam kaitan ini, terdapat dua unsur yang mendukung ketidakberpihakan, yaitu seimbang (balance) dan netral (neutral). Seimbang adalah memberi tempat yang adil pada pandangan yang berbeda, sering disebut dengan istilah cover both sides, sedangkan netral berarti harus ada pemisahan antara fakta dan opini pribadi wartawan. Mengungkap fakta dengan objektif dengan sendirinya menjadikan media akan menjadi anjing penjaga (watchdog) terhadap berbagai penyelewengan, baik di level negara (state), masyarakat (public), termasuk perorangan. Dengan memenuhi kaidah ini, masyarakat akan berpikir serta menentukan sendiri, mana yang benear dan mana yang salah. Pers tidak perlu mendikte atau mengarahkan, cukup mengungkap fakta apa adanya, dan masyarakatlah yang memberi penilaian.

Kedua, indikasi profesionalisme pers lokal dapat dilihat dari elemen meso. Aspek ini meliputi dinamika manajerial perusahaan pers. Sorotan tajam dalam persoalan ini adalah lemahnya manajemen pers lokal dengan SDM yang tidak kompeten. Selain itu, lemahnya manajemen media ini juga berujung pangkal pada rendahnya kesejahteraan hidup jurnalis lokal, yang dalam banyak kasus diberi gaji di bawah standar UMR. Pada aspek lain, pendirian pers merupakan agenda politik elite lokal yang membawa misi menjadikan media sebagai corong membela kepentingannya. Ini tampak dari nama-nama elite poltik lokal yang tercantum dalam masshead (struktur redaksional) suratkabar.

Kurangnya profesionalisme pers lokal juga diperlihatkan dari kondisi wartawan yang tidak memiliki kompetensi dan idealisme sehingga hanya menjadikan institusi media lokal sebagai lahan mencari keuntungan. Kolaborasi mutualisme wartawan dengan kandidat pejabat daerah mengarah pada kesepakatan-kesepakatan yang menyimpang dari idealisme dan etika jurnalistik. Misanya pembinaan ini-itu, hingga mensponsori sejumlah kegiatan fiktif bagi para wartawan. Inilah yang seharusnya dihapuskan dalam anggaran pengeluaran kampanye pilkada sekaligus ditolak oleh wartawan. Penghapusan pos tersebut dapat mendudukkan pers pada posisi yang proporsional sebagai lembaga independen.

Ketiga, indikasi untuk melihat profesionalisme pers lokal adalah pada tataran makro yang merujuk pada dinamika sosial budaya, ekonomi politik, konteks sejarah, dan regulasi media. Isu yang mencolok dari aspek makro adalah ketidakjelasan aturan main bagi pers lokal dalam mengartikulasikan fungsinya. Penegakan etika yang kurang tegas, siapa yang memberi sanksi dan sanksi apa yang diberlakukan jika terjadi pelanggaran tampaknya belum sepenuhnya diakomodasi dengan baik oleh berbagai sistem hukum di negara kita, dalam pengertian lemah pada aspek penegakan, bukan pada bunyi pasal-pasal aturan mainnya. Di sisi lain, dari segi historis, menjamurnya pers lokal juga tidak sepenuhnya berangkat dari basis pemikiran kontemplatif bagi kemanfaatan publik, melainkan tak lebih sebagai tren, bahkan euforia kebebasan yang pada titik tertentu ternyata tidak dipahami maknanya oleh baik pengelola pers maupun publik media itu sendiri.

Ketiga kondisi di atas mendorong perlunya lembaga pengawas media (media watch) yang independen guna mengingatkan jika terjadi penyelewengan oleh pers selama proses pilkada. Selain itu, bagi masyarakat diperlukan edukasi bermedia melalui pendidikan literasi media sehingga masyarakat tidak hanya menjadi objek pasif media, melainkan memiliki kesadaran peran sebagai stakeholder aktif yang berhak terlibat dalam proses produksi dan distribusi informasi.

-----------

Iwan adalah dosen ilmu komunikasi, Universitas Islam Indonesia
Tulisan ini dimuat di Harian Bernas Jogja,12 Desember 2006.
-----------

sumber, diboyong dari:
http://bincangmedia.wordpress.com/2009/06/14/menyoal-peran-pers-dalam-pilkada/

Press yang sejatinya menyuarakan kebenaran, independen dan objektif dalam menyajikan berita, jika menjadi media alat kampanye suatu kandidat adalah kejahatan moral dan pembohongan publik yang merusak demokrasi. Kandidat pelaku press untuk melacurkan diri dengan membelinya jelas dan nyata adalah kandidat berjiwa kadal.

Menyoal Peran Pers dalam Pilkada

Intelektual Pengkhianat

Tentunya tidak haram jika kaum intelektual/cendekiawan memasuki dunia politik seperti menjadi aktitifis atau kader partai. Bahkan kehadiran kaum intelektual diharapkan bisa membangun dan memperkuat fungsi serta peran partai politik yang tengah dilanda krisis kepercayaan karena diguncang berbagai skandal korupsi dan prilaku menyimpang secara bertubi tubi. Politik bisa menjadi sarana bagi seorang intelektual untuk menyuarakan dan mewujudkan idealismenya dalam menegakkan nilai nilai kebenaran.

Masalahnya seringkali terjadi penyimpangan pada kalangan intelektual yang terjun ke dunia politik atau menjadi birokrat. Mereka bukannya memperbaiki keadaan yang bobrok dalam dunia politk dan birokrasi, malah seorang intelektual seringkali berfungsi menjadi legitimator untuk membenarkan dan memoles prilaku korup. Alih alih memperbaiki keadaan yang bobrok, malah dirinya larut dan ikut menjadi bobrok. Lebih parah lagi, sang inteletektual gadungan ini acapkali menyerang kalangan intelektual kritis dan gerakan aktifis idealis yang dulu teman seiring sejalan dengan dirinya dalam meneriakkan kebenaran, melawan kezaliman.

Seringkali kita dikejutkan, dibuat terheran heran, oleh “manuver” mantan aktifis yang semasa mahasiswa sangat idealis. Mereka yang lantang dan gagah berani melawan korupsi. Tapi begitu jadi pejabat, ternyata menjadi koruptor jua. Penyimpangan semacam ini bukan hal baru memang. Sudah `berlangsung sejak lama. Bahkan mungkin sejak peradaban manusia ada. Seperti wabah pelacuran yang tidak pernah bisa punah.
Muchtar Lubis pernah berrtutur. Dia ditanya oleh wartawan asing, “Apakah Anda yakin mereka tidak akan korup kalau menjabat?” Dengan tegas Muchtar Lubis menyatakan yakin. Tapi ternyata dia kecele. Para pejuang yang semula dia kagumi itu berlaku korup. Tahun 1927, Julian Benda telah menyuarakan menggejalanya intelektual yang melacurkan diri dengan menjual idelismenya semacam ini di Prancis. Benda menyebutnya sebagai Intelektual Pengkhianat.

Intelektual Pengkhianat

CATATAN UNTUK ARSID (7)

SYAHDAN di Italia Utara, tahun 1176, satu pasukan para kesatria Jerman yang hidup sebagai rampok datang menyerbu untuk menjarah isi kota Legnano. Tapi, berbeda dengan di tempat lain, di Legnano ternyata para penyerbu mendapatkan perlawanan sengit, lalu dikalahkan, oleh warga yang mempersenjatai diri dan bersiap-siaga tanpa rasa gentar. Sebuah tindak sukarela dengan mengandalkan pertalian yang tumbuh dari rasa ikut memiliki. Tapi zaman telah berubah: kekuatan semacam itu sulit ditemukan, meski tak hilang sepenuhnya.

Kota-kota makin rentan oleh konflik di dalam kancahnya sendiri. Bahkan bila ia segemerlap Paris atau Madrid, sebuah kota bukan lagi tempat yang selama-lamanya longgar, dan enak untuk bernafas. Ketika tiap jengkal yang kita miliki berarti tiap jengkal yang tak dimiliki orang lain—juga sebaliknya. Tak ada bagian kota yang dapat bebas dari kelangkaan dan kekurangan: itulah sebabnya ada ekonomi, orang berproduksi, dan tukar-menukar tak henti-henti dilakukan. Saya kira itulah yang traumatis dalam sebuah masyarakat kota saat ini—termasuk di Tangerang Selatan.

Di sini, orang membeli satu-dua unit apartemen di Singapura, menikahkan anak di Convention Hall Jakarta, memberi kado calon istri dengan berlian 300 juta, bukanlah hal aneh. Bahkan ada yang tak risau meski setelah kalah judi 5.000 poundsterling di London atau ludes 50.000 ringgit di Genting, Malaysia. Juga hal biasa ketika kamar rumah sakit internasional seharga 1,5 juta per hari dipenuhi pasien yang (sebenarnya) hanya menderita masuk angin, atau radang tenggorokan.

Tapi kita juga tahu, puskesmas, meski dengan pelayanan ala kadarnya—bahkan cenderung buruk—tiap hari selalu penuh oleh warga ber-KTP Tangerang Selatan, lengkap dengan rasa putus asanya masing-masing. Belum lagi saudara-saudara kita yang terlalu lama menganggur hingga akhirnya berubah menjadi perusuh kecil di jalanan, atau di pasar. Maka kita tahu apa artinya: apa yang ada di balik kota ini, yakni kekayaan yang begitu timpang dan kesempatan yang selisih jauh.

Kita segera tahu: persoalan ini tak mungkin selesai hanya dengan memberi sumbangan kepada si fakir. Kota ini butuh pemimpin, bukan penyumbang—itu pun kalau sungguh-sungguh menyumbang untuk kemanusiaan. Mungkinkah ada warga yang ingin selamanya menjadi fakir meski disantuni saban hari?. Saya tak yakin ada yang mau. Di sini Arsid sesungguhnya telah mengajari kita kearifan: betapa mustahilnya kita untuk tak menjadi ”manusia kecil”, tapi pada saat yang sama, kita toh dapat—bila mau—mengubah diri sendiri agar tak senantiasa ”lintang pukang”.

Arsid tahu persoalan kesenjangan sosial harus dapat diatasi, sebab itu ia tak bisa memilih sikap acuh tak acuh, yang sama artinya telah bersekongkol dengan ketimpangan. Ia paham, seperti kata James C Scott (1981), kemiskinan telah menyebabkan masyarakat rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life, mempertaruhkan tenaga fisik dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkannya. Ini tentu menyedihkan.

Maka tepat sekali bila Arsid mengawali pembenahan Tangerang Selatan dengan menegakkan good government governance; sebagai good exercise of power—yang juga erat kaitannya dengan program pengentasan kemiskinan (social safety net), tingkat keamanan finansial, serta potensi pertumbuhan daerah. Konsep ini akan terbangun ketika kita memulainya dengan pendekatan holistik serta melibatkan banyak lembaga dan cara pandang: melibatkan berbagai unsur di dalamnya, seperti; sistem yang dibangun, kultur, publik, industri, dan sebagainya.

Ini bermakna bahwa program pengembangan daerah diharapkan memenuhi kaidah penyusunan rencana yang sistematis, terpadu, transparan, dan akuntabel--konsisten dengan rencana lainnya yang relevan--serta bermuatan adanya kepemilikan rencana (sense of ownership) bersama. Kita tahu, Arsid sangat memahami bahwa pengembangan daerah adalah sebuah proses kemitraan antara pemerintah daerah dengan stakeholders dalam mengelola berbagai sumber daya setempat secara lebih baik.

Dengan kemitraan itu program yang disusun akan mendapat dukungan optimal bagi implementasinya—tentu selama mempertimbangkan karakteristik daerah (ekonomi, social, budaya, dan politik) serta memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkage) secara kuat. Sebab menurut Blakely, ciri utama pengembangan ekonomi lokal adalah bagaimana pemerintah menitikberatkan pada kebijakan “endogenous development" mendayagunakan potensi sumber daya manusia, institutional, dan fisik setempat.

Orientasi ini mengarahkan perencana daerah untuk fokus pada proses pembangunan dalam menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan kegiatan ekonomi (Blakely, 1989). Pada tataran ini, Arsid tak akan menemui kendala. Ia begitu mengenali kekuatan dan kelemahan Tangerang Selatan--di samping ia juga sosok yang inovatif dan visioner--hingga memudahkan proses transformasi gagasan dan pengetahuan baru dalam kaitannya dengan pengembangan daerah ke depan.

Meski bagi saya, salah satu yang (selalu) menarik dari sosok Arsid adalah: di dalam hatinya selalu ada kehendak untuk mengubah keadaan, ke arah emansipasi sosial dan memusnahkan ketidakadilan. Arsid muncul ketika (nyaris) tak ada yang melihat bahwa ada jalan yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan daerah ini. Saya menyebutnya sebagai sebuah upaya untuk menghentikan persekutuan jahat yang bisa kapan saja menguasai kota ini, yang dapat menambah kerumitan persoalan di kemudian hari.

Kita tahu, untuk menghentikan persekutuan jahat itu pada akhirnya harus melalui sebuah alat: kekuasaan. Maka saya hanya ingin mengatakan: jika kita pura-pura tidak tahu (akan) ada persekutuan jahat, jika kita tidak merasa bersalah bila nanti daerah ini runtuh akibat kita merasa tak perlu berurusan dengan apa yang akan terjadi hari ini atau nanti, itu berarti kita tak lagi punya hati. Sebab pada dasarnya kita semua bisa memilih saat ini: untuk merasa gentar, terpesona, terhina, atau tidak sama sekali.

Saya yakin, Arsid tak pernah berjanji bakal membuat kota ini segemerlap Singapura atau Milan—dalam lima tahun ke depan, atau serupa Baghdad pada abad ke-10; ketika Khalifah Harun Al-Rasyid memimpin negeri Aladin itu. Ia juga tak berjanji akan menyulap Tangerang Selatan menjadi Madinat al-Munawarah (kota yang bersinar kebenaran)—seperti sebutan Rasulullah Muhammad atas kota Yastrib. Tapi kita tahu, meski tak dikatakan, Arsid—seperti kita semua—hanya ingin memulai pembenahan kota ini sebagai Madinat al-Salam; Kota Perdamaian. Bukan Madinat al-Harb; Kota Peperangan, kekacauan, dan pada akhirnya kehancuran.
Agaknya, ini waktu yang tepat bila ingin membangun sikap ethis kita: mencegah hadirnya persekutuan jahat di Tangerang Selatan.

ARU WIJAYANTO
Tangerang Selatan, 23 Februari 2011

CATATAN UNTUK ARSID (7)

Menggugat Lembaga Survei

By Romel tea

“BERKAH” akan diwawancara sebuah stasiun radio di Bandung tentang lembaga survei, saya pun bisa menyusun posting ini. Begitu diminta kesiapan menjadi narasumber, dengan kapasitas sebagai “pengamat politik”, saya langsung “sowan” ke Mbah Google, mencari data atau referensi soal lembaga survei. Hasilnya? Ya, tulisan ini, sekaligus sebagai “amunisi” saya dalam wawancara “live on air” via telepon itu.

KRAN demokrasi yang terbuka pasca kejatuhan rezim Soeharto (Orde Baru) bukan saja memunculkan banyak partai politik, politisi, dan agenda pemilihan pemimpin (walikota, bupati, gubernur, dan presiden/wakil presiden), tapi juga menjamurkan lembaga-lembaga survei.

Dipelopori kemunculan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan “trio” Saiful Mudjani, Denny JA, dan M. Qodari, lembaga sejenis pun bermunculan, juga diawali dengan perpecahan ketiga “trio” tersebut. Saiful Mudjani tetap memimpin LSI. Denny JA “out” dan mendirikan Lingkaran Survei Indonesia (disingkat LSI juga). M. Qodari pun “gerah” di LSI, keluar, dan mendirikan “kerajaan baru” bernama Indo Barometer.
Selain ketiga lembaga tersebut, lembaga survei lainnya antara lain Lembaga Survei Nasional (LSN), Lembaga Survei dan Kajian Nusantara (Laksnu), Indonesian Research Development Institute (IRDI), Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survey Sosial Indonesia, Lembaga Survey dan Manajemen Publik Indonesia, Jaringan Survey Manajemen Publik Indonesia, dan Sentra Informasi Kebijakan Publik Indonesia.

Ada pula Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Sugeng Suryadi Syndicate (SSS), Centre for Electoral Reform (Cetro), Centre for the Study of Development and Democracy (CESDA), Pusat Kajian Ilmu Politik UI (Puskapol UI), serta beberapa lembaga sejenis di daerah-daerah.

Fungsi Survei 


Secara normatif, fungsi survei adalah “menjembatani” kepentingan publik (rakyat) dengan penentu kebijakan publik (pemerintah dan elite politik).

Fungsi awal survei, jajak pendapat, polling, atau apa pun namanya adalah memantau opini publik; “mengintip” persepsi, harapan dan evaluasi publik terhadap sebuah kebijakan politik, juga mengukur apa yang dipikirkan masyarakat.

Survei juga “mengintip” pendapat (opini) serta harapan masyarakat terhadap pejabat/politisi ataupun institusi yang ada, mendekatkan keputusan-keputusan publik dengan aspirasi publik. Hasil survei dipandang sebagai “baromete” aspirasi masyarakat yang menjadi acuan dalam pembuatan keputusan.

Hasil survei setidaknya berguna sebagai “bahan tulisan” bagi para peneliti untuk menulis artikel di media. Tulisan mereka menjadi “layak muat” karena dukungan data “ilmiah” hasil survei itu. Mereka “hanya” menjabarkan hasil survei lembaganya. Hasil survei itu pula yang membuat mereka menjadi narasumber dalam berbagai acara talkshow di televisi yang menjadikan mereka sebagai pengamat politik.

Jenis Survei


Secara garis besar ada dua jenis survei. Pertama, Survei Publik. Jenis ini sifatnya nonkomersial dan dilakukan atas permintaan lembaga-lembaga publik untuk dipublikasikan. Kedua, Survei Komersial yang dilakukan atas permintaan individu, kelompok, atau lembaga swasta lainnya. Hasil survei ini sepenuhnya untuk klien dan tidak dipublikasikan kecuali klien bersangkutan menghendakinya.
Karena “menerima pesanan”, lembaga survei umumnya juga menerima “pertanyaan titipan” yang disesuaikan dengan kebutuhan klien.

Akurasi

Kredibilitas lembaga-lembaga survei belakangan dipertanyakan akibat munculnya dugaan “pesanan” itu. Apalagi dalam beberapa kasus, hasil survei tidak cocok dengan fakta.
Contoh paling faktual adalah Pilkada Jawa Barat. Semua lembaga survei tak mengunggulkan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade). Kenyataannya, pasangan yang diusung PKS-PAN inilah yang menjadi pemenang Pilkada Jabar.
Ada juga hasil perhitungan cepat lembaga survei di Pilkada Jatim yang “memihak” pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono. Namun, hasil perhitungan manual KPUD justru memenangkan pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf.

Alih Fungsi

Bak pedagang asongan dan kaki lima, di mana ada keramaian, mereka berbondong-bondong ke tempat itu. Demikian pula para “ilmuwan” atau periset. Karena “basah”, hasil survei bisa diperdagangkan, bahkan “bisa pesan”, lembaga survei pun bermunculan dan menjadi lembaga komersial dan bahkan berperan ganda: peneliti sekaligus konsultan atau tim sukses.

Lembaga survei kini dinilai sebagai “kekuatan kelima” (fifth estate) di belakang “kekuatan keempat” (fourth estate) –yakni media massa, di samping tiga kekuatan dalam “trias politica”–Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.

Disebut “kekuatan kelima” karena lembaga survei kini dinilai sebagai “algojo” penentu opini publik. Dengan kata lain, alih-alih mengintip opini publik, lembaga survei justru menjadi pembentuk opini publik itu sendiri.
Dengan kata lain, publikasi hasil survei dinilai sebagai bagian dari upaya menggiring opini dan memengaruhi pilihan rakyat. Perilaku pemilih berupa “ikut yang rame” atau “ngikut yang bakal menang” dimanfaatkan sebaik mungkin oleh lembaga survei dan para sponsornya. Hasil survei dapat menjadi bahan kampanye: “Survei membuktikan, kamilah yang unggul, maka pilihlah kami…”.

‘Pelacuran Intelektual’?


Tudingan tidak sedap, bahkan “kasar”, pun muncul kepada kalangan peneliti yang umumnya para intelektual atau akademisi bergelar master atau doktor itu. Seringnya publikasi hasil “survei pesanan” memunculkan “cap”: para intelektual itu sudah “melacurkan diri” alias menjadi “pelacuran intelektual” –sebuah tudingan yang tentu saja dibantah para peneliti atau lembaga survei.

Berkedok “metode ilmiah”, para peneliti bisa saja mengarahkan hasil surveinya dengan memilih responden yang sudah ditunjuk atau dipersiapkan. Jika menginginkan hasil survei menunjukkan partai A unggul, maka pilihlah responden yang “diduga” sebagai kader atau simpatisan partai A itu. Data pun valid, dapat dipertanggungjawabkan, dan “silakan cek data dan lembaran hasil survei kami”.

“Kalau nama Akang mau muncul, silakan Kang, pertanyaannya apa biar nanti responden inget nama Akang, atau pendengar Akang di daerah mana banyaknya…!” sebuah pesan singkat pun masuk ke HP saya, reply atas SMS saya: “Bung, pa kbr? Kapan ada survei di Bandung, nama saya munculkan dong… he he he…”. Aduh…! Wallahu a’lam.

---------
sumber: diangkut dari: http://www.romeltea.com/2010/04/26/menggugat-lembaga-survei/

Menggugat Lembaga Survei

Ironi Demokrasi Daerah

Oleh: Umar Sholahudin


(Dosen Sosiologi Hukum, Universitas Muhammadiyah Surabaya)

Departemen Dalam Negeri (Depdagri) memublikasikan, ada 155 kepala daerah- 17 di antaranya gubernur- yang berstatus sebagai tersangka kasus hukum. Kondisi ini tentunya membuat kita prihatin. Dan yang lebih ironis lagi, 155 pejabat tersebut -baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota- berstatus sebagai tersangka kasus korupsi. Mendagri mengaku, hampir setiap pekan ia menerima permohonan izin pemeriksaan terhadap kepala daerah karena berstatus sebagai tersangka atau surat penonaktifan sementara kepala daerah.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sebanyak 10 tersangka dugaan korupsi, terpilih menjadi kepala daerah periode 2010-2014. Ini merupakan pemantauan ICW terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di 244 daerah di Indonesia selama 2010.

Jika hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, rekayasa, politicking, dan pat-pat gulipat dari aparat penegak hukum, maka mungkin bukan hanya 155 pejabat atau 10 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus hukum (tindak pidana), melainkan bisa ribuan pejabat dan kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Tidak sedikit kasus-kasus korupsi yang menyangkut pejabat penting dan kepala daerah, baik itu di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota yang sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi, sehingga mereka lolos dari jeratan korupsi pada pemeriksaan atau penyidikan awal. Aspek politik dan ekonomi merupakan faktor yang paling dominan dari lolosnya para pejabat itu dari jeratan hukum.

Ironi demokrasi

Fakta dan data tersebut semakin menambah keprihatian kita semua. Demokratisasi di tingkat lokal yang diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah (pemilukada) secara langsung, secara filosofis sebenarnya dirancang untuk lebih mendekatkan pemimpin dan kebijakannya dengan rakyat yang dipimpinnya, serta lebih mudah menggali aspirasi rakyat, sehingga menjadi ia pemimpin rakyat. Tetapi, kenyataannya semua itu hanya ilusi politik. Pemilukada justru cenderung melahirkan kepala daerah yang bermasalah, terutama dalam kasus korupsi.

Ini adalah sebuah ironi. Pilkada atau pemilukada langsung yang diharapkan melahirkan pemimpin yang dekat dengan rakyatnya dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ternyata semakin jauh dari hati rakyat, dan malah enjoy dengan kekuasaannya. Para kepala daerah seperti langsung terserang penyakit "autisme politik", lupa diri akan nasib rakyatnya, enjoy dengan dunianya sendiri (baca: kekuasaan) yang memabukkan. Mereka lupa dan bahkan tidak mau tahu dengan kondisi riil rakyatnya. Rakyat dibiarkan tertatih-tatih, jatuh-bangun sendiri untuk mengurusi kehidupannya. Pemerintah daerah dan rakyat seperti berada di dunia yang berbeda yang semakin menjauh.

Pengangguran, kemiskinan, anak putus sekolah, kesehatan murah sulit diakses, pelayanan publik jadi beban masyarakat, harga pangan melambung, utang menumpuk, rakyat makan aking atau tiwul karena beras sulit dibeli, dan akhirnya rakyat frustrasi dengan melakukan bunuh diri. Semuanya itu adalah fenomena harian yang menjadi tontonan masyarakat kita.

Sebuah realitas yang paradoks, di saat masyarakat disibukkan oleh pelbagai kesulitan hidup, sementara pada saat yang sama para elite daerah kita bertabur kemewahan dan keserakahan.

Apa sesungguhnya yang terjadi pada demokrasi lokal ini? Demokrasi sebagai salah satu sistem politik pemerintahaan yang dianggap paling baik dari sistem politik pemerintahan yang lain, seperti oligarkhi, monarkhi, teokrasi otoritarianisme, dan sebagainya. Para intelektual politik mengatakan, sistem demokrasi bisa dikatakan yang terbaik dari yang terburuk dari sistem politik pemerntahan yang ada di dunia. Dengan kata lain, sistem demokrasi pun ternyata mengandung distorsi. Ini semakin parah ketika sistem ini dipegang oleh aktor-aktor demokrasi yang bermasalah. Integritas dan kredibilitas aktor-aktor demokrasi kita sangat rapuh, sehingga sistem demokrasi ini bukannya melahirkan kesejahteraan, namun justru sebaliknya; para pejabat dan kepala daerah yang korup.

Secara teoretis bahwa pemerintahan yang demokratis di bangun atas dasar transparansi, responsibilitas, dan akuntabilitas. Namun, semua itu mengalami kenihilan dalam kehidupan demokrasi daerah kita. Kehidupan yang demokratis yang salah satunya mewujud dalam pelaksanakan pilkada atau pemilukada masih sebatas mimpi. Pemilukada masih sebatas ritual lima tahunan yang masih sebatas melahirkan pemimpin daerah, itu pun kadang kompetensi dan kualitasnya dipertanyakan publik. Pilkada atau pemilukada belum mampu menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat. Masyarakat juga mempertanyakan pesta demokrasi pilkada itu sendiri. Masyarakat hanya dijadikan alat legitimasi politik lima tahunan saja, setelah pilkada masyarakat ditinggalkan. Seperti pepatah; habis manis sepah dibuang.

Mengapa terjadi?

Mengapa semua ini bisa terjadi? Pertama karena faktor sistem, terutama regulasi terkait dengan rekrutmen politik melalui pilakda ini. Salah satunya, UU kita masih membolehkan calon seorang tersangka kasus hukum mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan banyak celah hukum lainnya, yang dimanfaatkan para calon kepala daerah untuk terus memburu kursi kekuasaan. Kondisi ni diperparah lagi, dengan dominasi ideologi materialism dan kapitalisme yang menopang pilkada ini, sehingga menjadi pilkada ini melahirkan pejabat korup.

Kedua, faktor aktor politiknya. Rendahnya integritas, kredibilitas, dan kapasitas calon kepala daerah menjadi penyumbang terbesar muncuknya pemerintahan yang korup. Moralitas para calon hanya memburu hasilnya, yakni kursi kekuasaan, meskipun dengan menghalalkan segala cara. Berkuasa bukan untuk mengabdi kepada rakyat, tapi berkuasa untuk mencari keuntungan material, mereka sepeti job sicker. Karena itu, kita perlu perubahan dan perombakan secara revolusioner atau mendasar, baik menyangkut sistem dan regulasinya maupun aktor-aktor politiknya. Keduanya harus menjadi paket perubahan integral dalam agenda perubahan UU Pilkada yang baru.

--------

Sumber:
http://republika.co.id:8080/koran/24/128045/Ironi_Demokrasi_Daerah

Ironi Demokrasi Daerah

Politik Mobil Kijang

Oleh: Taufiqurrahman Ruki

Anggota BPK/Mantan ketua KPK

Apakah Anda masih ingat dengan iklan mobil kijang yang pernah tersohor beberapa tahun yang lalu? Mari kita ingat bagaimana si anak berkata dengan riang: "Ada bapak, ibu, teteh, uwak, bibi, cukup untuk semua." Dalam iklan itu, mobil kijang menasbihkan dirinya sebagai kendaraan serbaguna yang cocok untuk keluarga besar yang umum di Indonesia.

Zaman terus bergulir. Orde Baru pun sudah hampir 13 tahun tumbang. Demokrasi di zaman reformasi menjadi nilai dasar yang menggelora di setiap sudut negeri ini. Namun, perjalanan demokrasi di negeri kita berjalan tidak pada track-nya karena terdistorsi oleh pragmatisme dan keserakahan.

Dinasti politik

Seharusnya, demokrasi sesuai hakikatnya merupakan sistem yang menghormati hak-hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama di dalam politik. Tapi, apa yang terjadi dengan performa kita hari-hari ini? Politik di negeri kita layaknya sebuah mobil kijang, semua anggota keluarga, mulai dari ayah, ibu, tante, kakak, adik, menantu secara bersama-sama masuk ke dalam dunia politik tanpa mempertimbangkan kepatutan dan kelayakan, apalagi kompetensi.

Pada akhirnya, demokrasi bangsa ini yang seharusnya merupakan bentuk pemerintahan untuk kepentingan rakyat dan oleh rakyat telah dibajak oleh segelintir orang. Mungkin orang tadi terinspirasi oleh iklan mobil tersebut atau memang sudah tabiat dasar orang-orang ini yang membungkus ambisi kekuasaan dengan dalih demokrasi.

Dengan bekal jabatan yang dimiliki, mereka memberi akses yang optimal kepada keluarga besarnya untuk masuk ke dalam dunia politik. Mereka meng-endorse keluarga besarnya untuk mengisi jabatan politik yang tersedia. Lihat saja kursi-kursi jabatan politik, mulai dari DPR/DPD/DPRD, gubernur, wakil gubernur, bupati/wali kota, hingga wakil bupati/wakil wali kota, banyak diduduki oleh orang-orang yang memiliki ikatan kekeluargaan.

Jika istri menjadi gubernur, suami atau anggota lainnya semuanya di-endorse dan difasilitasi untuk menduduki jabatan politik (publik) yang berada dalam domain kekuasaan dan pengaruhnya. Masalah kemampuan tidak penting. Yang terpenting terpilih dalam proses pemilihan yang legal walaupun proses pemilihannya dilaksanakan dengan praktik-praktik yang tidak fair, seperti penggunaan fasilitas pemerintah, jaringan birokrasi, dan keuangan pemerintah untuk pemenangan kerabatnya tersebut.

Demokrasi minus etika


Gejala yang sama dilakukan di lingkungan partai politik. Seorang ketua umum, pembina, atau pendiri dan petinggi partai berusaha menempatkan anggota keluarganya dalam jajaran elite pengurus partai sebagai persiapan regenerasi.

Dalam dinasti politik, sistem rekrutmen politik yang berdasarkan kekerabatan dapat kita lihat dari penyusunan daftar calon legislatif (caleg) di pemilu legislatif. Partai akan mengakomodasi kepentingan petinggi maupun elite partai dengan cara memasukkan nama anggota keluarganya di daftar caleg DPR, DPD, dan DPRD.
Bahkan, sampai-sampai seorang gubernur akan meng-endorse anak atau adiknya untuk menduduki jabatan bupati/wali kota. Tidak sedikit pula bupati/wali kota yang meng-endorse istrinya atau anaknya untuk menjadi pewarisnya sebelum yang bersangkutan mengakhiri jabatannya.

Adakah yang salah dengan pola rekrutmen politik seperti itu? Tidak ada yang salah. Karena secara formal, prosesnya dipilih melalui pemilu yang sah. Dan bukankah semua orang memiliki hak yang sama? Setiap partai tentu akan dengan senang hati menempatkan anggota keluarga pimpinan partai karena popularitas dan kekuasaan dari figur pimpinan partai tersebut diharapkan dapat mendongkrak perolehan partai tersebut.
Akan tetapi, mekanisme rekrutmen politik dengan cara "politik mobil kijang" ini berbahaya bagi proses demokrasi dan penciptaan pemerintahan yang bersih serta pengelolaan pemerintahan yang baik (clean government and good government) dan bersih atau bebas dari praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Ada kelemahan dalam "politik mobil kijang". Pertama, dinasti politik akan mempersempit kesempatan bagi kader-kader lain yang memiliki kualitas dan memulai kariernya dari bawah. Dengan dinasti politik ini, setiap orang justru tidak memiliki hak yang setara. Kedua, dinasti politik lebih mengandalkan kekerabatan dibanding kemampuan (capability) dan integritas (integrity) calon.

Partai politik memang harus memiliki figur yang dapat dijadikan ikon serta persatu bagi anggota partainya, tetapi elite politik hendaknya menyadari bahwa tidak semua anak tokoh politik memiliki kapasitas yang sama dengan orang tuanya ataupun kakeknya. Ketiga, anggota keluarga petinggi partai atau pejabat publik belum tentu teruji kemampuan dan integritasnya sehingga pemilih seperti memilih kucing dalam karung (kucingnya sehat atau penyakitan), kita cuma diberi tahu bahwa jenis kucing ini keturunan "kucing persia". Keempat, dengan adanya ikatan kekerabatan antara pimpinan partai politik, pejabat publik, dan pejabat legislatif, prinsip-prinsip check and balances yang menjadi syarat bagi demokrasi yang sehat sulit tercapai.

Saya mencoba menilai ulang konsep mobil kijang itu. Sebesar-besarnya mobil kijang, pasti ada keterbatasan jumlah untuk memuat anggota keluarga. Dan polisi pun akan menilangnya kalau mobil tersebut kelebihan muatan. Namun, dalam demokrasi "politik mobil kijang" (dinasti politik) seolah menjadi tidak ada batasnya karena ingin memuat seluruh kerabat.

Saya berpikir, apakah mereka membangun "dinasti politik" dengan orientasi untuk membangun negeri ini agar menjadi lebih baik, atau semata-mata berorientasi pada kekuasaan demi melanggengkan kepentingan keluarganya.

Demokrasikah yang sedang kita bangun ini atau oligarki yang bermantel demokrasi. Sudah sampai pada waktunya kita menyadari bahwa apabila dinasti politik dibiarkan, tinggal tunggu saatnya otoritarianisme akan kembali menguasai negeri kita tercinta ini.

------------
Sumber:
http://republika.co.id:8080/koran/24/128189/Politik_Mobil_Kijang


Politik Mobil Kijang

Suara Airin-Benyamin Bakal Menyusut dalam Pilkada Ulang di Tangsel

Rakyat Merdeka, Laporan: Gunawan Sumaryono

RMOL. Sejumlah pengamat politik memprediksi perolehan suara pasangan calon walikota dan wakil walikota Tangerang Selatan (Tangsel) Airin-Benyamin pada Pilkada ulang bakal gembos. Pasalnya, kepercayaan publik terhadap pasangan tersebut semakin memudar terkait berbagai kecurangan yang dibuktikan melalui Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga pilkada Tangsel diputuskan diulang.

“Dengan pilkada diulang, Swing Voters yang tadinya memberikan dukungan untuk Airin-Benyamin, akan kembali berpikir untuk melakukan hal sama. Perolehan suara mereka pada pemungutan suara ulang tidak akan seperti pada putaran pertama lalu ” ungkap Direktur Lembaga Survey dan Kajian Nusantara (Laksnu), Gugus Joko Waskito kepada Rakyat Merdeka Online, (Sabtu, 18/12).

Menurut Gugus, ada sejumlah faktor yang akan membuat posisi pasangan Amin terancam. Pertama, diputuskannya pemungutan suara ulang karena pasangan tersebut terbukti melakukan kecurangan. Hal itu, sambungnya, diyakini akan membuat masyarakat Tangsel maupun pemilih berpikir ulang untuk memilih pasangan itu. Apalagi, kata Gugus, sebagian masyarakat Tangsel merupakan kalangan terpelajar yang tentunya mengharapkan pemimpin yang bersih.

“Kita tahu, masyarakat Tangsel sebagian besarnya kalangan terpelajar. Mereka akan sangat apatis dengan calon pemimpin yang memiliki track record buruk. Apalagi hal itu sudah terbukti di MK,” imbuhnya.
Faktor apatis lainnya, lanjut Gugus, yakni sosok Airin yang merupakan adik gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Dengan posisi tersebut, masyarakat Tangsel tentunya berharap agar dinasti politik Banten tidak menancapkan kukunya di wilayah Tangsel. “Ada suara-suara dari masyarakat yang saya dengar yang tidak menginginkan dinasti Banten terus menguasai sisa wilayah yang belum dipimpin keluarga mereka,” ujar Gugus.
Sementara itu, Pengamat politik Tangerang, Jazuli Abdillah mengatakan, prediksi perolehan suara bagi pasangan Amin akan merosot tajam seiring dengan memudarnya kepercayaan publik terhadap pasangan itu. Ia menuturkan, dengan terbuktinya mereka curang, apatisme masyarakat tidak akan terelakan lagi, karena sebagian masyarakat Tangsel merupakan kalangan terpelajar yang tentunya menginginkan pemimpin yang jujur.

“Ibaratnya begini, masyarakat akan menganalogikan, mereka sudah curang duluan, apalagi setelah benar-benar terpilih. Saya melihat, potensi kehilangan suara pasangan Airin-Benyamin sangat besar,” tandasnya. [kgi]

http://jptangsel.com/?p=104

Suara Airin-Benyamin Bakal Menyusut dalam Pilkada Ulang di Tangsel

Politik Dinasti. Feodalisme di Lorong Demokrasi

Oleh SUBHAN SD

Pada zaman feodal di China kuno, kekuasaan politik dibagikan di antara keluarga dan sanak saudara. Ketika feodalisme hancur sekitar kurun 200 sebelum Masehi, takhta kekuasaan menjadi obyek yang diperebutkan pemburu kekuasaan. Di Indonesia hari ini, ketika pemilu kepala daerah menjadi bagian penting sistem demokrasi, rezim keluarga menjadi pemburu kekuasaan itu.

Fenomena pasca-kehancuran feodalisme pada akhir Dinasti Chou itu sepertinya menggambarkan fenomena kekinian Indonesia. Pascafeodalisme di China, betapa kaum nonbangsawan terjangkiti syahwat berkuasa. Kisah yang dituturkan ahli sejarah, Chien Ssu-ma, yang hidup pada zaman Dinasti Chin (255-207 SM), menjadi catatan menarik. Sewaktu menyaksikan arak-arakan raja di jalan umum, kepada temannya, ia mengatakan, ”Ini (kekuasaan) bisa kurebut.”

Hasrat berkuasa seperti itu mirip dengan semangat berkuasa di alam demokrasi karena setiap orang punya hak sama. Namun, runyamnya, jalur pertalian darah atau keluarga yang merupakan ciri masyarakat tradisional justru tersemai subur di lorong-lorong demokrasi yang terus dibangun di negeri ini.
Tak mengherankan, sejak pemilu kepala daerah (pilkada) menjadi proses demokrasi di tingkat lokal pascaera otonomi daerah 10 tahun silam, politik dinasti atau rezim keluarga justru makin fenomenal. Pilkada yang melahirkan elite daerah (oligarki) kian disesaki dengan lakon suami-istri, orangtua-anak, atau kakak-adik.
Saat bupati petahana (incumbent) tidak bisa lagi ”naik ring” karena sudah dua periode, seperti diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, para istri yang naik pentas. Itulah yang dilakukan Sri Suryawidati (Ida), istri Bupati Bantul, DI Yogyakarta, Idham Samawi; Titik, istri Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah, Bambang Riyanto; dan Widya Kandi Susanti, istri Hendy Boedoro, Bupati Kendal, Jateng.

Bahkan, kasus di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mirip gaya total football Belanda. Bupati Irianto MS Syaifuddin memberikan restu kepada istrinya, Anna Sophana, dan anaknya, Daniel Mutaqien, untuk mencalonkan diri bersama. Mereka berebut tiket dari Partai Golkar. Kasus rezim keluarga terlihat pula pada pilkada di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, atau Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sebagai bagian dari lingkaran dalam penguasa petahana, pasti mereka memiliki modal kuat.

Nafsu kuasa tampaknya tak mudah dibatasi. Sepenggal ungkapan klasik Lord Acton (1834-1902), ”kekuasaan cenderung korup”, pun tak mampu menjadi pengingat. Tak heran, aturan UU No 32/2004 pun bisa ”diakali”. Salah satu modusnya adalah bertukar jabatan. Kepala daerah petahana memilih ”turun takhta” ke posisi wakil agar bisa ”bertarung” lagi.

Wali Kota Surabaya Bambang DH turun menjadi wakil wali kota. Sebetulnya Bambang ingin mencalonkan lagi sebab merasa pada periode pertama, ia menggantikan Wali Kota Sunarto Sumoprawiro yang meninggal. Namun, uji materi terhadap UU itu yang diajukannya kandas di Mahkamah Konstitusi.
Di Jembrana, Bali, Bupati Gede Winasa yang sudah menjabat dua periode dikabarkan akan menduduki wakil bupati mendampingi anaknya, Patriana Krisna.

Karut-marut politik rezim keluarga di pilkada kian ruwet. Contoh mutakhir adalah kasus di Bone Bolango, Gorontalo. Bupati Ismet Mile (petahana) yang bertarung kembali untuk periode kedua justru ditantang istri pertamanya, Ruwaida Mile. Pertarungan ini terpicu persoalan dalam rumah tangga.

Fenomena rezim keluarga itu, menurut pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, tak beda dengan feodalisme pada masa silam. Hal itu membuat penyaluran aspirasi masyarakat menjadi semu. Fenomena itu, ungkap Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya, Malang, Solichin Abdul Wahab, memperlihatkan demokrasi belum selesai sepeninggal Orde Baru yang otoritarian. ”Pada masa Orde Baru, dinasti (rezim) keluarga menguasai sektor ekonomi. Tetapi, sekarang masuk di bidang politik,” kata Solichin. Dalam konteks rezim keluarga itu menunjukkan banyaknya penunggang gelap yang akhirnya membuat kualitas demokrasi menurun.

Apabila kondisi ini terus terjadi, kata Andrinof, tak pelak akan merusak sistem demokrasi. Padahal, tahun ini akan digelar pilkada di 244 daerah, yaitu 7 provinsi, 202 kabupaten, dan 35 kota.
Fungsi parpol
Demokrasi menjamin hak setiap orang untuk maju di pilkada, termasuk artis. Namun, sebagai bagian penahapan peradaban yang menjunjung nilai kemanusiaan, demokrasi tak melulu menjamin hak individu, tetapi juga tidak boleh melanggar hak publik dalam mencari figur pemimpin yang ideal.

Persamaan hak dalam demokrasi semestinya diikuti persyaratan bagi seorang pemimpin publik, antara lain, kualitas, kapasitas, kapabilitas, integritas, dan tentu moralitas. Dalam beberapa kasus, justru banyak parpol mencalonkan sosok populer yang sama sekali tak mengenal suatu daerah. Ini memperlihatkan, parpol lebih serius dalam urusan merebut kekuasaan ketimbang tujuan akhir pesta demokrasi, yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Runyamnya lagi, rezim keluarga juga menimbulkan pertarungan tidak fair. Rezim keluarga justru lebih diuntungkan, antara lain modal kuat, atribusi kedekatan incumbent, hingga kemungkinan pemanfaatan instrumen politik. Tak sedikit orang potensial yang kalah sebelum bertanding. Bayangkan saja, betapa muramnya demokrasi ketika muncul ”calon boneka”.

Kita tidak boleh lupa unsur demokrasi yang diintroduksi Montesquieu (1689-1755), trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), tentu agar tak terjadi pemusatan kekuasaan di satu pihak. Bahkan, Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara di Perancis pada 1789 menyebutkan, ”kedaulatan ada di tangan bangsa”, bukan keluarga.

Jika kondisi sekarang yang terjadi, bukan saja pembenaran kritikan Immanuel Kant (1724-1804), sesungguhnya demokrasi di negeri ini tengah menukik tajam.

----
sumber: http://cetak.kompas.com/read/2010/05/11/02513565/feodalisme.di.lorong.demokrasi

POLITIK DINASTI
Feodalisme di Lorong Demokrasi
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Seorang warga menggunakan hak suaranya dalam pemilihan umum kepala daerah langsung di Tempat Pemungutan Suara 1 yang dihiasi hasil bumi di Desa Gagaksipat, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (9/5). Pilkada Boyolali diikuti empat pasangan.


Politik Dinasti. Feodalisme di Lorong Demokrasi

Arsipnya