Goyang Lidah ala Es Goyang dan Serabi Betawi

Wisata Kota Tua



Kamis, 16 Juli 2009 | 12:28 WIB
SIAPA tak ingat es goyang? Siapa tak kangen kepada es unik ini? Ya, es goyang -atau ada pula yang menyebutnya sebagai es lilin- memang bikin kangen. Disebut es lilin karena bentuknya panjang menyerupai lilin, meski sebetulnya es ini berbentuk batangan. Disebut es goyang karena proses pembuatannya memang harus digoyang-goyang.
  
Sayang, es zaman lampau ini sekarang tak mudah ditemukan. Jenis es ini kalah oleh serbuan es krim modern yang tak hanya memenuhi pasar swalayan, tapi juga meramaikan jalan di perumahan hingga pasar malam di lapangan besar semacam Monas.
  
Jika di masa lalu pedagang es goyang hanya menyediakan satu atau dua rasa. Kini pedagang menawarkan beberapa rasa plus lelehan cokelat. Ada juga pedagang yang menambah topping berupa remukan kacang tanah goreng.

Kini pembeli bisa memilih rasa cokelat, stroberi, durian, nangka, kacang hitam, kacang hijau, atau lainnya. Tentu bahan utama tetaplah santan yang kemudian dicampur dengan berbagai macam rasa tadi. Ukuran es ini pun berubah. Jika dulu bentuk es ini kotak memanjang, kini bentuknya agak sedikit mirip es krim modern. Bedanya tentu saja bahan, rasa, proses pembuatan, proses penjualan, dan pemasarannya.

Pemasaran es goyang rata-rata masih menggunakan cara kuno, yakni dari mulut ke mulut, karena penjual es ini jarang yang mangkal. Kalaupun mangkal, bisa ditebak, cari saja di sekolah-sekolah. Contohnya, pedagang es goyang yang mangkal di Sekolah Theresia, Menteng, Jakarta Pusat. Pedagang lain juga kebanyakan mangkal di sekolah-sekolah, pada jam sekolah. Selepas itu mereka akan berkeliling.
  
Sebatang es goyang bisa ditukar dengan uang Rp 1.500. Tak puas sebatang, wajar. Di lidah, rasa itu bikin penasaran. Apalagi jika sebelum membeli, konsumen melihat proses pembuatannya. Makin penasaran.

Adalah M Junaedi yang biasa berdagang es goyang di daerah Jembatan Besi, Jakarta Barat. Perjalanan panjang dilaluinya sejak tahun 1974, saat ia memulai usaha ini. Setiap hari, pukul 07.00-12.00, gerobaknya parkir di depan Sekolah Setia Kawan, Jembatan Besi. ”Abis itu keliling,” ujar Junaedi.

Serabi betawi
Penganan zaman lampau lainnya adalah serabi. Kebalikan dari es yang dingin, penganan ringan ini lebih enak disajikan panas-panas. Serabi bisa disebut camilan, tapi bisa juga disebut sebagai makanan untuk sarapan.
  
Makanan ini terbuat dari tepung beras campur santan, dibakar pada tempat yang terbuat dari tanah liat, berbentuk menyerupai penggorengan namun dalam ukuran yang jauh lebih kecil, dan lebih afdol jika menggunakan arang. Setelah matang, dimakan dengan kuah gula jawa bercampur santan.
  
Kini ada begitu banyak jenis serabi. Tetapi serabi yang kita singgung di sini adalah serabi tradisional yang kini sungguh sulit ditemukan di Jakarta. Kata orang, serabi jenis ini merupakan serabi ala Cirebon. Biasanya, makanan ini dijual pagi hari dan tanpa diberi topping apa pun.

Warta Kota beberapa kali menunggu pedagang serabi tradisional ini di kawasan Tanah Abang. Tepatnya di Jalan Kebon Jati. Hasilnya nihil. Akhirnya Warta Kota memutuskan menengok ke Kramatjati. Persis di depan pagar RS Sukanto, pernah ada pedagang yang dimaksud. Pedagang serabi yang masih menggunakan arang. Sayangnya, kini pedagang itu memilih pulang kampung. Sebagai pengganti, ada Tomi, pedagang serabi di kawasan itu juga. Hanya saja posisinya ada sebelum RS. Meski menggunakan wajan mungil dari  tanah liat untuk membakar serabi, ia menggunakan kompor, bukan arang.
  
Jenis serabi yang dijual pun beragam. Mengikuti selera. Ada yang diberi pisang, cokelat, bahkan oncom. Harga satu pasang serabi Rp 3.000. ”Tapi ini serabi ala betawi, gulanya encer, enggak seperti serabi jawa yang gulanya agak kental,” tegas Tomi yang berdagang serabi tiap hari. Tekstur kue serabi ini cukup padat. Campuran santannya memang tak terlalu kental, tapi kuah gula santannya pas.

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya