Enam Alasan dan Cara Membuat Nama Pena

Link

Oleh: Udo Yamin Majdi

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Nama Pena. Ini salah satu tema yang sering ditanyakan oleh teman-teman, baik dalam Pelatihan Jurnalistik, Sekolah Menulis SMART, milis wordsmartcenter@yahoogroups.com, blog www//http:udoyamin.multiply.com, maupun lewat e-mail pribadi saya, udoyamin_majdi@yahoo.com. Oleh sebab itu, ketika saya kembali mengasuh acara Sekolah Menulis On-Air di radio Community Jerman stasiun 2 Cairo, tema tersebut menjadi tema perdana dari sembilan pertemuan, setiap hari Kamis pukul 19:00 waktu Cairo, kecuali minggu ke-3 acara BOLPEN (Bincang Online Kepenulisan) bekerjasama antara Word Smart Center, FLP Jerman, dan Radio Comunnity.

Saya sempat menanyakan kepada beberapa orang: Anda kenal Etty Hadiwati Arief dan Heri Hedrayana Haris? Mereka hampir semuanya geleng kepala. Tidak tahu. Namun ketika saya tanyakan: apakah kenal dengan Pipiet Senja dan Gola Gong? Mereka pun menjawab, "Ya jelas kenal dong!" Setelah saya jelaskan, bahwa dua nama pertama, itu adalah nama asli dari dua penulis tersebut. Nah, dua nama di akhir, itu kita kenal dengan nama diri atau nama asli, sedangkan dua nama akhir, kita sebut nama pena.

Kita memang lebih mudah menunjukan nama pena dibandingkan dengan mendefinisikannya. Apalagi, nama pena ini, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi ketiga belum termaktub. Begitu pun di wikipedia berbahasa Indonesia, belum ada. Yang ada pada wikipedia berbahasa Melayu. Di sana disebutkan bahwa nama pena adalah nama yang dipakai oleh seorang penulis yang bukan nama aslinya karena alasan tertentu. Kalau demikian, nama pena versi Bahasa Melayu semakna dengan "nama samaran" dalam KBBI.

Terlepas, apakah kita setuju atau tidak dengan definisi di atas, yang jelas, setidaknya membantu kita untuk memahami makna nama pena. Walaupun, terus terang, secara pribadi, saya tidak sependapat bahwa nama pena itu harus berbeda sama sekali dengan nama asli. Sebab, dalam kenyataan, saya sering menjumpai nama pena itu tetap mempertahankan nama aslinya atau hanya sebatas singkatan dari nama asli.

Misalnya, Mohamad Fahri memakai nama pena Fahri Asiza, Hamka nama pena dari nama asli singkatan Haji Abdul Malik Amrullah, atau gabungan dari singkatan dan nama asli, misalnya Muhammad Ainun Nadjib menjadi Emha Ainun Nadjib. Menurut saya, nama pena adalah nama yang dipakai oleh seorang penulis ketika mempublikasikan karyanya kepada khalayak ramai, baik itu nama samaran, nama singkatan, maupun gabungan dari keduanya.

Mengapa para penulis memakai nama pena? Lagi-lagi, tidak mudah menjawabnya, sebab setiap orang punya alasan masing-masing. Di sini kita hanya mendiskusikan tujuh alasan seseorang memakai nama pena berikut ini:

1. Karena kurang percaya diri. Rasa kurang pede ini, bisa berkaitan langsung dengan nama aslinya, karyanya, maupun dengan spesialisasi ilmunya. Teman saya, memakai nama pena sebab nama asli terkesan kampungan dan menunjukan suku tertentu. Ada lagi memakai nama pena, sebab merasa tulisannya belum begitu baik dan ia memposting tulisan di berbagai milis dengan nama pena berbeda-beda semata-mata ingin memperoleh masukan dari banyak orang tanpa mereka mengetahui siapa penulisnya. Ada juga teman saya yang kuliah di Universitas Al-Azhar jurusan Tafsir memakai nama pena sebab antara spesialisasi ilmu yang pelajari jauh berbeda dengan novel dan cerpen yang ia tulisi.

2. Karena ingin menjaga keamanan diri. Tidak sedikit penulis yang harus meringkuk di balik jeruji besi, bahkan harus menyerahkan nyawanya di tiang gantungan gara-gara dari sebuah tulisan. Misalnya apa yang terjadi pada Sayyid Quthub. Beliau keluar masuk penjara dan akhirnya dihukum gantung oleh penguasa dengan tuduhan ingin melakukan kudeta.

Maka tidak sedikit pula, para penulis yang tidak mau mengambil resiko harus dipenjara, namun tidak tahan menyuarakan hati nurani. Akhirnya mereka memilih memakai nama pena yang jauh sekali dengan nama penanya.

Atau juga ada yang karena ingin aman dari penolakan keluarganya. Misalnya Binti Syati', nama pena dari Aisyah Abdurrahman. Mufassirah (ahli tafsir wanita) asal Mesir itu memakai nama pena, sebab tidak ingin mendapatkan halangan dari bapaknya, ketika menulis sastra atau esai-esai yang sangat berbeda dengan harapan orang tuanya.

3. Karena nama sama dengan penulis lain. Bagi Anda yang rajin membaca buku tentang cinta atau aktif di milis kepenulisan, besar kemungkinan kenal dengan nama ini: M. Shadiq Mustika. Tahukah Anda nama asal usul nama pena ini? Pada dua buku pertama, beliau masih menggunakan nama asli Muhammad Shodiq. Namun, belakangan beliau sadari, ternyata ada dua orang penulis lain yang memakai nama yang sama. Sehingga beberapa orang salah duga, buku yang ditulis oleh orang yang namanya sama dengannya, mereka sangka beliau yang menulisnya. Untuk membedakan dengan dua penulis lain itu, beliau memakai nama pena: M. Shodiq Mustika. Tambahan nama Mustika ini singkatan dari Muhammad Shodiq bin Tamsir bin Ismail bin Khusban bin Adam.

4. Karena tidak marketable. Seorang teman, sebut saja namanya, Asep Surya. Dia menulis buku dengan tema keislaman, sesuai dengan kuliahnya di Universitas Al-Azhar Mesir. Sudah beberapa buku yang dia tulis, namun sulit diserap oleh pasar. Lalu, ketika dia menulis buku tentang Do'a, dia ubah namanya menjadi Ibnu Utsaimin. Ternyata bukunya laris manis.

Mengapa ketika dia memakai nama Ibnu Utsaimin bukunya menjadi laris? Wallahu a'lam. Sebelum saya menjelaskan perbedaannya, saya ingin bertanya kepada Anda, ketika membaca Asep Surya, apa yang terbetik di benak Anda? Sebaliknya, ketika Anda membaca Ibnu Utsaimin, apa yang muncul di otak Anda?

Nama pertama mengingatkan kita akan teman-temannya asal Sunda. Sebab, orang Sunda banyak sekali memakai nama Asep. Sedangkan nama kedua, mengingatkan kita kepada para nama ulama dan ilmuan besar dalam Islam, diantaranya Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Ibnu Jauzi, Ibnu Rusydi, dan Syaik Utsaimin.

Nah, demikian pula yang terjadi kepada para pembaca awam. Ketika ada dua buku sejenis dengan tema yang sama, mereka lebih memilih buku dengan nama orang Arab dibandingkan dengan nama orang Sunda. Sebab, mental orang Indonesia, selain beranggapan bahwa buku yang ditulis oleh orang luar negeri lebih bagus dibandingkan buku ditulis oleh orang Indonesia, juga mereka memandang sesuatu yang berbau Arab atau Timur Tengah lebih Islami dibandingkan dengan yang ada di Indonesia. Jadi wajar buku teman kita itu laris manis, sebab para pembaca mengira sang penulis berasal dari Timur Tengah. Dengan kata lain, nama Ibnu Utsaimin lebih menjual dari nama aslinya Asep Surya.

5. Karena ingin melakukan personal branding. Sebenarnya alasan ini, sangat erat dengan alasan sebelumnya. Hanya saja bedanya, kalau sebelumnya ikut "trend pasar", sedangkan alasan ini ingin menciptakan pasar sendiri, alias trend setter.

Di sini, satu hal yang harus kita fahami bahwa saat ini dunia menulis dan perbukuan bukan semata-mata untuk menyuarakan kebenaran, sarana berbagi, atau memperjuangkan idealisme semata, melainkan menjadi sebuah industri atau bisnis. Oleh sebab itu kita perlu memahami strategi pemasaran, merketing.

Berbicara tentang dunia marketing, kita akan melirik master pemasaran di Indonesia, Hermawan Kertajaya. Lewat buku serialnya, beliau memperkenalkan Sembilan Elemen Pemasaran. Saya tidak akan mengurai sembilan elemen itu, melainkan hanya memberikan contoh tiga elemen yang berkaitan dengan tema kita. Menurut beliau, dari sembilan elemen itu, bisa kita kerucutkan pada tiga elemen ini: positioning, differentiation, dan brand.

Dunia kepenulisan atau perbukuaan itu ibarat samudra. Di tengah samudra itu ada beberapa benua, setidaknya ada dua benua besat, yaitu benua fiksi dan benua non-fiksi. Di benua fiksi ada pulau novel, pulau cerpen, pulau novelet, pulau cerbung, dan seterusnya. Sedangkan di benua fiksi, (1) ada pulau faktual yang terbagi menjadi beberapa daerah, ada daerah berita, ada daerah featuter, ada daerah laporan, dst; (2) ada pulau opini terbadi menjadi beberapa wilayah: ada wilayah opini, ada wilayah kolom, ada wilayah esai, ada wilayah biografi, ada wilayah autobiografi, ada wilayah memoar, dst; dan (3) pulau ilmiah, ada district ilmiah akademis (makalah, paper, skripsi, tesis, disertasi, dan laporan penelitian) dan ada district ilmiah pupuler (artikel ilmiah populer, dst) Dan setiap daerah, wilayah, atau district ini, memiliki beberapa rumah: dari segi jenis kelamin, ada rumah perempuan dan ada rumah laki-laki; dari segi umur: ada rumah balita; rumah anak-anak, rumah remaja, ada rumah dewasa, ada manula, dst.

Tentu saja kita tidak cukup waktu untuk memasuki semua rumah tersebut. Begitu pula hal dalam dunia tulis menulis, tidak semua jenis, bidang, dan sasaran pembaca buku, bisa kita tulis, melainkan kita harus memilih salah satu atau beberapa saja. Misalnya, memilih menjadi penulis jenis non-fiksi bidang keislaman. Bidang keislaman ini masih banyak lagi cabangnya, ada tentang Al-Quran, Al-Hadis, Fiqh, Sirah, Filsafat, Dakwah, dan seterusnya. Tema Al-Quran pun masih banyak sekali ranting keilmuan yang bisa kita ambil sebagai spesialisasi kita, misalnya tafsir, asbabun nuzul, qira'ah, i'rab, tajwid, mufrodat, dst. Dari tafsir itu dibagi-bagi lagi, ada tafsir maudhu'i (tematis) dan ada tafsir tahlily (tafsir analitis). Selanjutnya, kita dihadapan dengan pilihan, siapa sasaran pembacanya, untuk remaja atau dewasa. Misalnya memposikan diri sebagai penulis tafsir maudhu'i untuk remaja.

Setelah kita memposisikan diri sebagai penulis tafsir tematis untuk remaja, maka kita perlu melihat karya-karya para penulis tafsir tematis untuk remaja yang lainnya. Kira-kira apa yang belum mereka singgung, atau apa yang perlu kita tambahkan dalam karya kita sehingga buku kita berbeda dengan mereka. Misalnya, bedanya buku kita selain memakai bahasa remaja, juga ada gambar bahkan peta daerah-daerah yang disebutkan dalam ayat-ayat yang kita tulis.

Jika positioning dan diffrentiation itu kita lakukan, maka akan muncul brand, alias merek. Ketika kita orang mencari tafsir tematis untuk remaja penuh dengan gambar dan peta, orang akan ingat kita. Sebaliknya, ketika orang membaca nama kita, maka akan ingat dengan buku-buku kita.

Itulah yang terjadi pada penulis-penulis best seller yang kita kenal. Misalnya, Mohammad Faizil Adhim. Setiap saya ingat nama beliau, maka saya akan ingat buku tentang pernikahan. Sebaliknya, ketika membicarakan buku pernikahan, maka saya ingat nama beliau. Padahal, buku yang tentang pernikahan yang saya baca, bukan hanya karya beliau saja. Mengapa hal ini terjadi? Karena menurut saya, Mas Fauzil, telah berhasil memposisikan dirinya sebagai penulis buku pernikahan untuk para remaja, dengan gaya bahasa yang berbeda, dan beliau komitmen menggarap tema ini.

Kembali dengan personal branding tadi, coba Anda perhatikan karya-karya Mas Fauzil. Ketika menulis tema pernikahan, beliau memakai nama Mohammad Fauzil Adhim, ketika menulis buku tentang anak beliau memakai nama –kalau tidak salah-- Abu Fikri, dan ketika menulis buku tentang menulis "Dunia Kata" beliau memakai nama M. Fauzil Adhim. Wallahu a'lam, apakah Mas Fauzil membedakan nama pena sesuai dengan jenis dan tema karyanya itu personal branding atau tidak, yang jelas bagi saya, itulah yang saya maksud dengan alasan membangun merek diri.

6. Karena alasan negatif dan tidak bertanggung-jawab. Saya melihat hal ini di beberapa milis yang saya ikuti. Ada beberapa orang, sangat rajin memposting tulisan atau menanggapi tulisan orang lain. Namun sangat sayang, isi postingan itu --apalagi menjelang kampanye 2009 ini-- sering menjelek-jelek kelompok, golongan, partai tertentu. Mereka sangat bahagia bila melihat kekurangan kelompok, golongan, partai lain. Mereka sebarkan di milis-milis. Namun ketika dari kelompok yang mereka serang itu memposting hal-hal positif tentang mereka sebagai penyeimbang, mereka langsung menuding: ini kampanye terselubung!

Dan saya perhatikan, selain ID e-mail mereka tidak mencermin identitas mereka, juga nama mereka disamarkan, misalnya "Sang Pembela", "Sang Pejuang", dan seterusnya. Menurut saya, itu termasuk nama pena. Mereka lakukan hal itu, agar mereka bebas untuk menulis apa saja tentang orang lain, meskipun itu sering melukai orang lain. Mereka menyangka apa yang mereka lakukan itu tidak ada yang tahu, padahal Allah tidak pernah luput menyaksikannya dan malaikat pun senantiasa mencatat perbuatan mereka. Semoga kita terjauh dari alasan membuat nama pena dengan niat negatif dan tidak bertanggung-jawab ini.

Setelah kita menjawab pertanyaan, apa dan mengapa, ada satu pertanyaan lagi yang perlu kita perbincangkan, yaitu bagaimana cara kita membuat nama pena? Sebenarnya, tidak ada aturan tertentu cara kita membuat nama pena. Setiap orang bebas memilih caranya masing-masing. Adapun kiat-kiat atau tips berikut ini hanya sebatas saran sebagai bahan pertimbangan saja. Kalau memang bermanfaat, silahkan Anda pergunakan. Namun jika tidak berkenan, saya mohon maaf sudah menyita waktu Anda membacanya.

Baik, mari kita mulai cara menulis nama pena di bawah ini:

1. Buatlah nama pena yang bermakna positif dan mencerminkan idealisme Anda. Membuat nama pena, tidak jauh berbeda seperti kita memilih nama asli. Sebab nama, selain identitas --dalam pandangan Islam-- sebagai do'a dan panggilan di akhirat nanti. Sangat keliru pernyataan Shakespear bahwa "apa arti sebuah nama". Nama sangat berarti, sehingga Nabi Muhammad Saw sampai menggati nama sahabatnya, dari bermakna negatif ke makna positif. Tentu saja banyak sekali nama bermakna positif itu, baik itu kita ambil dari nama nasab (keturunan): nama bapak, kakek, atau buyut, atau dinisbahkan kepada anak: Abu Ahmad, marga, kampung halaman atau tempat tinggal (dalam bahasa Arab hal ini disebut laqab atau kunyah), maupun nama baru pilihan kita,

Selain bermakna positif, juga mengingatkan kita akan sebuah idealisme yang akan kita perjuangkan. Menulis, bukan sekedar merangkai kata berbunga-bunga dan penuh warna, melainkan memang ada sesuatu yang harus kita sampaikan: berupa kebenaran, ilmu, informasi, atau berbagi pengalaman. Sebagai muslim, tentu semuanya itu bermuara kepada mardlatillah. Inilah yang membuat Kang Heri Hendrayana memakai nama Gola Gong. Sewaktu ke Mesir, beliau sempat menjelaskan bahwa "GOL" itu untuk mengenang saat tulisannya dimuat di majalah HAI, "A" singkatan dari Allah untuk menginngatkan pesan ibunya bahwa menulis harus untuk mencari ridla Allah, sedangkan "GONG" artinya terus bergema sampai kapanpun.

2. Sesuaikan nama pena dengan jenis tulisan dan target pembaca. Sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, bahwa salah satu strategi agar buku kita diterima pembaca adalah kita harus memilih jenis tulisan dan menentukan target pembaca.

Jika kita telah menentukan dua hal itu, maka kita akan lebih mudah membuat nama pena. Sebab, antara satu jenis tulisan dengan jenis tulisan lainnya, atau sasaran pembaca umur tertentu akan berbeda dengan umur yang lainnya. Misalnya, bila kita memilih menjadi penulis novel romantis maka buatlah nama pena yang romantis, bila novelnya komedi, maka buat nama yang lucu, atau novel detektif, pilihlah nama yang menunjukan sosok cerdas, dan seterusnya.

3. Usahakan nama pena singkat. John Griffith --ahli matematik-- mengatakan bahwa setiap manusia normal akan mampu mengingat satu milyar, 1.000.000.000.000 (10 pangkat 11). Sedangkan Jonh von Neumann --ahli teori informasi-- menyebutkan bahwa kita mampu mengingat sampai 280 kuintiliun bit, 280.000.000.000.000.000.000. bit (280 diikuti dengan 18 nol). Setiap bit mewakili satuan terkecil informasi, alias suku kata (lafadz), misalnya "a", "i", "ya", "oh", "ih", dst. Luar biasa bukan, otak kita?

Meskipun daya tampung otak kita sangat dahsyat, namun tidak menentukan baik atau tidaknya ingat kita. Yang menentukannya adalah proses kita mempersepsi memori. Ada dua macam memori: (1) memori ikonis (al-abshar) untuk informasi lewat visual/penglihatan; dan (2) memori ekosis (as-sam'a) untuk informasi lewat audio/pendengaran. Menurut para ahli komunikasi, apa yang kita lihat dan dengar sekilas maksimal 7 bit. Lebih efektif lagi 3-4 bit saja.

Dengan demikian, ketika kita membuat nama pena kata dasar, efektifnya 3-4 dasar. Contohnya "Al-Hamasah" nama pena Helvy Tiana Rosa ketika awal menulis, diantaranya karyanya yang memakai nama tersebut adalah “Mc Alliester” dan “Akira”. Atau Jonru nama pena Jonriah Ukur, founder penulislepas.com. Atau Hernowo, penulis Mengikat Makna. Bisa juga dua kata, seperti Arul Khan dan Syamsa Hawa. Ada yang bilang maksimal 3 kata, misalnya Udo Yamin Majdi. (Hehehe, bukan narsis lho!)

Udo Yamin Majdi itu nama pena, bukan nama asli. Banyak yang tidak tahu, bahwa "Udo" itu tambahan dan bermakna "Kakak", seperti Aa di Sunda. Maka kurang tepat jika ada yang memanggil saya "Mang Udo", "Abang Udo", "Mas Udo", "Kak Udo", "Ustadz Udo", dst. Cukuplah panggil saya "Udo", itu udah sopan. Nama asli saya Yamin Efendi. Saya mencantumkan nama Udo itu ada dua alasan: (1) agar saya selalu ingat dengan visi saya untuk membangun kampung halaman; dan (2) agar tidak ada jarak atau akrab dengan siapa saja. Sedangkan Majdi nama bapak saya.

Makanya, pada awal-awal saya menekuni dunia kepenulisan, saya cantumkan nama panggilan, nama asli, dan nama bapak saya, sehingga dalam kumcer Bara Musa di Taman Terpasung (Pustaka Umat, 2002) dan Quranic Quotient: Menggali & Melejitkan Potensi Diri Lewat Al-Quran (Qultum Media, 2007), saya mencantumkan nama Udo Yamin Efendi Majdi.

Saat ini, saya sendiri geleng kepala dan tertawa: kok bisa-bisanya saya membuat nama pena seperti kereta api, panjaaang gitu lho! Namun setelah saya survey kecil-kecilan kepada teman, ke pembaca, atau penulis senior di Indonesia: dari keempat kata itu, mana yang paling enak mereka dengar dan mudah mereka ingat? Ternyata rata-rata menjawab "Udo Yamin". Berarti tinggal dua pilihan, apakah Efendi atau Majdi? Setelah saya renungkan, agar saya ingat dengan ortu dan ingin ambil berkah, maka saya cantumkan Majdi, maka jadilah Udo Yamin Majdi.

4. Enak didengar dan mudah diingat. Saat mendengar nama Asma Nadia, apa yang Anda rasakan? Enak bukan? Ini salah satu contoh nama pena yang enak didengar. Walaupun nama asli Mbak Asma juga enak kita dengar, Asmarani Rosalba, namun bagi saya pribadi --ma'af ya Mbak Asma-- jauh lebih sulit untuk saya ingat dibandingkan dengan Asma Nadia. Mengapa terdengar indah? Sebab, huruf akhirnya memakai huruf hidup "a", jadi terdengar puitis.

5. Nama pena hendaknya mudah diucapkan dan marketable. Saya ambil contoh Kinoysan, nama pena Ari Wulandari. Enak di telinga, dan menjual, saya merekan sang penulis berasal dari Jepang, bukan orang Indonesia. Bandingkan, misalnya nama pena ini Markham Arbeau. Memang menjual, sebab gabungan dari dua penulis terkenal di Barat, namun bagi lidah orang Melayu atau orang Indonesia, ini sulit untuk kita ucapkan.

6. Sebaiknya memakai satu nama pena saja dan jangan sering berubah. Ada seorang teman yang sangat produktif menulis. Dia mengaku bahwa memiliki nama pena sangat banyak, sampai 15 nama pena. Secara bisnis atau materi, bisa jadi ini lebih menguntungkan. Namun perlu kita ingat, uang bukan segala-galanya. Ada hal lain yang lebih tinggi dari uang, merasa "bermakna" antara sesama manusia. Bagaimana kita akan bermakna dan merasa dekat dengan para pembaca, kalau kita seperti bunglon, sehingga mereka sulit untuk mengidentifikasi diri kita.

Mas Ali Muakhir sempat cerita di MPnya, bahwa beliau merasa terharu, ketika ada pembaca merasa bahagia bertemu dengan Mas Ali sebab ibu itu sangat suka dengan karya-karya beliau. Nah, apakah mungkin kita akan merasakan hal itu, jika nama yang kita cantumkan pada buku kita selalu baru? Jadi, memilih satu nama pena, bukan untuk populeritas, melainkan agar ada emosional connecting antara kita sebagai penulis dengan para pembaca kita. Istilah dalam Islam, terbangun silaturahmi. Bukankah silaturahmi ini bisa memanjangkan umur (bisa bermakna usia kita dipanjangkan, bisa jika bermakna kita selalu dikenang seperti permintaan nabi Ibrahim, waj'alli lisana shidqin fil akhirin [Ya Allah, jadikah aku buah tutur yang baik bagi generasi setelahku) dan diluaskan Allah rizki?
Masih banyak yang ingin saya sampaikan, namun sayang saya harus mengakhiri diskusi kita ini. Semoga apa yang saya sampaikan, bermanfa'at bagi Anda. Minimal menjadi inspirasi bagi Anda untuk merenungi nama pena atau identitas yang selama ini Anda pergunakan dalam menulis.

Satu hal yang penting perlu saya sampaikan sebelum kita berpisah: nama pena ini bukan segala-galanya agar buku kita dibaca oleh banyak orang. Ini hanya sebatas ikhtiar saja. Sedangkan buku kita best seller atau tidak, itu sangat tergantung kesungguhan kita melahirkan katya berkualitas dan keseriusan kita dalam berdo'a.

Demikian, mohon ma'af atas segala kekurangan, terutama jika Anda merasa waktu terbuang percuma, gara-gara membaca tulisan yang terlalu panjang ini. Tegur sapa, kritikan, saran, masukan, atau tanggapan apapun dari Anda, sangat saya butuhkan, agar saya bisa memperbaiki tulisan-tulisan berikutnya. Tolong luruskan, bila ada data yang salah dalam tulisan sederhana ini. Minimal, ceritakan pengalaman Anda ketika memilih nama pena, baik itu alasannya maupun caranya, agar tulisan ini lebih berbobot.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Mesir, 28 Februari 2008

------------------------------------
Notes :
Nama Pena saya di MP cukup "cahPamulang" saja tidak terlalu menjual karena memang tidak jualan apapun, tapi dapat berfungsi sebagai Promosi Daerah Tempat Tinggal, Tempat berteduh tempat besarin anak-anak.
Tahu Pamulang? Belum?
:(

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya