Prita Heboh...Heboh Prita

Prita Heboh...Heboh Prita
Rabu, 10/06/2009 08:32 WIB
Catatan Agus Pambagio


Jakarta - Landasan Hukum Kasus Prita

Sudah berhari-hari ini pemberitaan seorang ibu muda yang dizholimi oleh RS Omni International Alam Sutera (OIAS) bersama Kejaksaan Negeri Tangerang menghiasi halaman muka berbagai media cetak dan current news di media elektronik. Menarik! Karena pemberitaan ibu muda  yang bernama Prita ini memberikan nuansa lain di media massa setelah kita bosan dijejali dengan berbagai berita politik.

Di sini tampak bahwa konsumen posisinya tertindas meskipun UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (PK) sudah 10 tahun malang melintang di Republik ini. Di tengah hiruk pikuknya kasus ini, sangat disayangkan mengapa pembela konsumen, seperti YLKI dan Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan tidak bereaksi keras dari awal dengan menggunakan UU No 8/1999  sebagai dasar pembelaan terhadap Prita. Sehingga pembahasannya terpental-pental ke semua penjuru angin.

Ketika saya minta pendapat dari beberapa teman dan saudara yang kebetulan berprofesi sebagai dokter atas kasus ini, hampir semua  membela RS OIAS yang menurut saya sudah keterlaluan dalam menangani konsumennya. Demikian pula alasan Menteri Kesehatan yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh RS OIAS sudah benar berdasarkan UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan UU No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

Hal ini terjadi karena patut diduga sebagai rasa kesetiakawanan dan rasa saling ketergantungan secara ekonomi antara kelompok kedokteran dan Rumah Sakit yang tentunya sangat merugikan konsumen.

Alasan Menteri Kesehatan dan pendapat beberapa dokter bahwa apa yang dilakukan oleh RS OIAS sudah benar berdasarkan UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan UU No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran patut diduga ini merupakan rasa kesetiakawanan dan rasa saling ketergantungan korp kedokteran dan Rumah Sakit yang tentunya sangat merugikan konsumen.

Keterlibatan saya  dalam pembuatan UU No 8/1999 tersebut sejak awal 90-an, profesi kedokteran, termasuk Rumah Sakit merupakan kelompok yang menolak keberadaan UU ini karena mereka tidak mau dianggap sebagai pelaku usaha. Padahal jelas-jelas mereka secara kontraktual menjual jasa kesehatan kepada konsumen.

Untuk itu mereka pada akhirnya mengusulkan revisi  UU Kesehatan dan pembuatan UU Praktek Kedokteran yang diagung-agungkan oleh Menteri Kesehatan dalam kasus ini. Lalu konsumen itu siapa? Sampah? Padahal para dokter, RS dan Menteri Kesehatan pun mendapat manfaat ekonomi dari konsumen yang berobat.

Uji Keampuhan UU Perlindungan Konsumen

Coba kita lihat apa definisi pelaku usaha di UU No. 8 tahun 1999 tentang Praktek Kesehatan: "Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Jadi RS OIAS adalah pelaku usaha karena berbentuk badan hukum, melakukan kegiatan dan berkedudukan di wilayah negara RI yang menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi, yaitu kesehatan. Dalam hal munculnya kasus di mana konsumen (Prita) tidak dapat memperoleh hasil rekam mediknya, RS OIAS melanggar kewajibannya sebagai pelaku usaha seperti yang dikatakan pada Pasal 7 huruf b UU No. 8/1999, yaitu "Kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan".

Konsekuensi RS OIAS dalam kasus ini karena tidak memberikan informasi medis (hasil laboratorium) yang benar pada Prita sehingga berakibat Prita mendapatkan penanganan medis yang salah, yaitu penangan medis untuk demam berdarah padahal Prita tidak sakit demam berdarah, maka RS OIAS patut diduga melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf a UU No. 8 tahun 1999.

Pasal 8 UU No. 8 ayat (1) huruf a tahun 1999 berbunyi: "Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: (a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan".

Karena melanggar Pasal  8 ini, maka sebagai pelaku usaha penjual jasa RS OIAS dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 61 dan Pasal 62 ayat (1) UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Adapun bunyi Pasal 61 adalah: "Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya". Sedangkan  Pasal 62 Ayat (1) berbunyi: "Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (10 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 M (2 milyar rupiah)".

Bagaimana mungkin konsumen telah membayar biaya pengobatan seperti yang disodorkan oleh RS OIAS sebagai kompensasi pengobatan kepada konsumen yang pada kenyataannya ada kesalahan laboratorium dan tindakan yang diambil,  tidak boleh protes atau berkeluh kesah kepada sesama? Yang kemudian pihak RS OIAS lalu menuntut konsumen yang patut diduga mereka rugikan? Hebat sekali RS OIAS itu.

Kesalahan rekam medik dan penanganan medik sudah sering terjadi di berbagai RS bertaraf International di Indonesia. Namanya saja International tetapi tidak jelas apa yang dimaksud dengan International. Tidak ada dasar hukumnya yang jelas sebuah RS boleh asal pakai kata International. Apa karena bangunannya bagus, berpendingin udara, ada restoran, ada fasilitas pijat refleksi dan pijat lainnya terus boleh menyandang International? Siapa di Departemen Kesehatan yang berwenang memberi kata International dan mengauditnya setiap tahun? Tak jelas itu.

Apa Yang Harus Dilakukan Prita

Untuk itu selain melanjutkan persidangan yang sedang berjalan, saya menyarankan kepada team penasihat hukum Prita untuk menuntut balik RS OIAS tentunya beserta para dokter yang menangani Prita dengan menggunakan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menang atau kalah tinggal kepiawaian para pengacara yang membela Prita di  muka hakim.

Pelajaran bagi sebuah RS dan para korps kedokteran, jika memang terjadi kesalahan lakukan permintaan maaf dan segera ditindaklanjuti dengan penanganan yang baik tanpa membebankan lagi biaya kepada konsumen. Ini sesuai dengan  Pasal 19 ayat (1): "Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan".

Kesombongan RS OIAS harus dibayar mahal secara ekonomi dan sosial. RS OIAS akan kena peras berbagai pihak dengan dalih akan membantu (baik aparat maupun preman), konsumen juga akan berpikir 10 kali untuk berobat ke RS OIAS dsb. Ini merupakan pelajaran mahal bagi sebuah pelayanan kesehatan di negeriku ini. Semoga Prita dilindungi oleh UU No. 8 tahun 1999 ini.

Agus Pambagio (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen).

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya