Kiamat Media Cetak, Sekadar Mitos?

Kiamat Media Cetak, Sekadar Mitos?
Steve Ballmer mengulang ramalan Bill Gates tentang akhir media cetak, pada tahun 2018
Sabtu, 20 Desember 2008,

Kios Koran di Washington DC (VIVAnews/Nenden Novianti)

"Oh Tuhan, terjadi tembak menembak di Mumbai Selatan. Saudara kandung perempuan saya bekerja di sana!"

Posting itu dibuat oleh warga India, Prasad Naik, melalui situs micro blogging Tweeter, jauh sebelum situs berita resmi menurunkan laporan lengkap tentang tragedi Mumbai, akhir November silam.

Situs microblogging Twitter memang menyediakan fasilitas bagi penggunanya untuk melaporkan kegiatan apa saja yang mereka lakukan. Biasanya, hanya dalam beberapa baris teks saja, bisa melalui ponsel atau lewat komputer, secara real time.

Setelah posting Prasad, Twitter seperti kebanjiran laporan-laporan lain tentang Mumbai. Ketegangan demi ketegangan meliputi setiap posting baru yang muncul di situs tersebut.

Cepatnya berita yang menyebar lewat Twitter, membuat BBC, salah satu media broadcasting terbesar di dunia menyertakannya sebagai bagian dari liputannya.

Media Baru, Kecepatan versus Akurasi
Belakangan, langkah BBC mendapat protes karena dianggap mencampur adukkan hasil liputan berita serius dengan kabar yang belum jelas kesahihannya.

Demi kecepatan, BBC dianggap mengorbankan aspek konfirmasi yang mesti dilakukan dalam sebuah karya jurnalistik.

Selama ini, kecepatan berita seperti menjadi musuh bebuyutan akurasi berita. Media berita online yang menyiarkan berita cepat, harus selalu berjibaku melawan ketidakakuratan, mulai dari tulisan nama, jabatan tokoh, bahkan, hingga esensi berita itu sendiri, karena sempitnya waktu untuk melakukan konfirmasi berita awal.

Beberapa berita di media online, malah sering menjadi alat ralat dari berita sebelumnya.

Posting di Twitter tentang tragedi Mumbai

Namun, menurut pengamat media baru, Ninok Leksono, dalam kondisi genting, orang akan sangat menghargai kecepatan berita dari sebuah media. "Lebih baik ada berita, ketimbang tidak ada berita sama sekali."

Apa yang terjadi di Mumbai India, dalam skala tertentu juga terjadi di Indonesia. Di sini, juga sudah ada situs microblogging semacam Twitter. Namanya Kronologger.com. Setelah sekitar dua tahun muncul, ada sekitar dua ribuan anggota yang bergabung.

Di situs tersebut, Kroner -para anggota Kronologger- biasa berbagi informasi mulai dari sekadar informasi kemacetan jalan, informasi daerah banjir, atau bahkan ketika gempa sedang terjadi di beberapa belahan daerah di Indonesia.

Yang menarik, nyawa pendiri situs ini, Kukuh TW, bahkan pernah tertolong oleh teknologi buatannya itu.

Suatu Minggu sekitar setahun yang lalu, Kukuh, terkulai pingsan ketika mengganti ban mobilnya yang ia parkir di Blok M Plaza Jakarta Selatan. Kukuh memang memiliki suatu penyakit yang khusus.

Sejak semalaman hingga pagi itu, perutnya belum kena penganan. Tiba-tiba saja tubuhnya lemas dan mulai ambruk. Ia sempat berusaha untuk menelepon saudaranya, namun, ia sudah tak kuat lagi untuk memberitahukan posisinya saat itu.

Setelah sekian lama tak pulang, keluarga Kukuh kelabakan. Mereka mencoba melacaknya di Kronologger. Untung saja, Kukuh sempat memposting kabar terakhirnya di situs itu, yaitu sedang mengganti ban di Blok M Plaza.

Kejadian itu sekaligus membuktikan manfaat dan kekuatan media baru yang tak bisa lagi dianggap remeh.

Kabar tentang gempa bumi di situs microblogging Kronologger

Menurut Harry Sufehmi, blogger senior yang juga salah satu pengelola Kronologger, kecepatan media baru memang sudah teruji. Beberapa kejadian yang luput dari media konvensional, kadang muncul di Kronologger.

"Terakhir, gempa 6,9 skala Richter di Minahasa beberapa saat lalu, malah muncul lebih dulu di Kronologger daripada di media online terkemuka," ujar Harry.

Menurut Harry, memang harus ada kompromi antara akurasi berita dan kecepatan, yang bisa dilakukan melalui teknologi pada media baru. Sebab, bagamainapun, kata Harry, kecepatan berita adalah poin penting bagi media.

Lagipula, kata Harry, masalah ketidakakuratan konten berita di media baru, sebenarnya bukan berasal dari teknologinya, melainkan dari pelaku yang memanfaatkan teknologi itu sendiri. "Ini bukan masalah teknologinya, tapi orangnya," ujar Harry.

Anak Muda Mulai Asing dengan Koran

Bill Gates pernah memprediksi bahwa era media cetak akan berakhir pada tahun 2000. Karena ramalan itu, asosiasi surat kabar dunia World Association Newspaper, kebakaran jenggot.

Konon, sekitar seribuan anggotanya di seantero dunia - termasuk koran ternama dari Indonesia, hadir dalam pertemuan khusus dalam rangka melakukan konsolidasi.

Namun, hingga kini ternyata ramalan itu gagal. Koran, tabloid, dan majalah-majalah masih terjejer rapi di lapak-lapak di pojokan kota. Tapi, siapa yang membaca? Agaknya, bukan kebanyakan anak muda.

Tanya saja pada anak-anak usia belasan. Aditya Ridzky, Mahasiswa jurusan Politeknik Telkom Bandung di Bandung, mengaku tak pernah baca koran, atau berita lewat media cetak.

Pembaca koran di Bandara Minneapolis-St.Paul International Airport, AS

Pria berusia 19 tahun itu lebih suka mampir ke warnet, atau nongkrong di cafe ber-hotspot untuk browsing internet lewat laptopnya, ketimbang menyisihkan uang untuk membeli koran.

Bila tak sedang mengerjakan tugas kuliah, Adit lebih suka memperbarui profil jejaring sosialnya, atau sesekali mencari berita.

"Saya lebih suka baca berita di Internet karena jangkauannya lebih luas," ujar Adit. Lewat Internet, ia bisa mencari konten berita apa saja yang ia suka melalui mesin pencari Google

Tak jauh beda dengan Adit, Fidia Nurul Prininta, siswi kelas 3 SMP Muhammadiyah 5 Surabaya. Menurut Fidia, ia tak pernah membeli surat kabar harian. Ia mengaku lebih suka untuk mengutak-atik tampilan friendsternya, melakukan chatting di Yahoo Messenger, dan mencari berita lewat Internet daripada membaca koran.

"Saya malas saja baca koran. Karena beritanya terbatas cuma topik hari itu saja." kata Fidia. Setiap hari Fidia bisa meluangkan waktu antara 2-3 jam di depan internet.

Gejala ini memang sejalan dengan riset AC Nielsen tentang tren internet di kuartal tiga tahun ini, yang baru dilansir sebulan lalu.

Menurut penelitian tersebut, pembaca majalah anjlok hingga 24 persen dari tahun lalu, pembaca tabloid merosot 12 persen, dan koran turun 4 persen. Sementara pembaca internet malah mengalami kenaikan hingga 17 persen dari tahun lalu.

Menurunnya tren pembaca media cetak, kebanyakan disebabkan karena konsumen terlalu sibuk untuk membaca (72 persen), beralih ke TV (14 persen), dan karena berhenti membeli karena harga naik (11 persen).

Problema Media Cetak Lokal
Naiknya harga kertas koran di Indonesia, memang tak terelakkan. Melonjaknya nilai tukar dolar terhadap rupiah, sudah tentu membuat harga kertas koran makin tak terjangkau.

Sebenarnya, kata Ketua Serikat Penerbit Surat Kabar, Leo Batubara, harga dasar kertas koran Oktober hingga Desember tahun ini, sudah turun 3,4 persen dari USD 870 (Rp 8.821,7) per kilogram, menjadi USD 840 (Rp 8.516,4) per kg.

Namun, karena krisis global membuat nilai tukar dolar meroket ke kisaran angka Rp 11.000, maka harga kertas koran naik 19,35 persen menjadi Rp 10.164 per kilogram (termasuk pajak).

Menurut Leo, kondisi itu diperparah dengan keengganan pemerintah untuk membebaskan pajak bagi produk-produk yang mencerahkan pengetahuan masyarakat (knowledge product), semacam buku, majalah, dan koran. Selama ini, koran pun tak luput dari pungutan pajak 10 persen.

Kondisi ini, kata Leo, tak akan dijumpai di India. Itu juga yang menjadi salah satu sebabnya, mengapa harga koran di India bisa ditekan hingga sekitar Rp 400 atau seperenam dari harga rata-rata koran lokal, dan harga majalah di India, cuma seharga sekitar Rp 4.000 atau sekitar seperenam harga rata-rata majalah yang dijual di sini.

"Pemerintah kita sepertinya memang tidak ingin bila rakyat Indonesia menjadi cerdas," ujar Leo dengan nada kecewa.

Media cetak kita juga punya masalah lain. Leo mengungkapkan, dari sekitar seribu media cetak di Indonesia, hanya 30 persen di antaranya yang tak kesulitan mendapat iklan. "70 persen lainnya tidak sehat secara bisnis."

Alih-alih memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat, sekitar 560 perusahaan media cetak, kata Leo, malah bersifat 'merusak'.

Untuk menghidupi perusahaan mereka, media tersebut malah melakukan praktek-praktek ilegal, seperti menerima amplop dari narasumber, bahkan melakukan pemerasan. Oleh karenanya, Leo lebih suka bila perusahaan-perusahaan ini tutup saja sekalian.

Lebih lanjut, Leo menyarankan bahwa sebaiknya media-media mulai melebarkan sayapnya. "Perusahaan media harus go-multimedia. Yang punya koran, harus punya TV, atau media online."

Menurut Leo, media online adalah media masa depan. Pasalnya, ini adalah media ini yang paling nyaman dinikmati dan murah. Namun demikian, Leo tidak percaya bila media online akan segera mendekatkan media cetak pada ajalnya.

Tren Media Cetak di AS dan Nubuat Baru dari Microsoft

Pertumbuhan media cetak di negara-negara Asia, khususnya Cina dan India, serta di Eropa Timur masih terus meningkat. Tapi, Leo mengakui bahwa oplah media cetak di banyak negara di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan bahkan Jepang menurun.

Kantor Surat Kabar The Los Angeles Times

Di akhir tahun ini, beberapa media cetak Amerika memang harus mengalami pengalaman pahit. Koran Christian Science Monitor harus berhenti terbit tiap hari dan beralih ke online. Begitu juga majalah komputer milik PC Magazine. Yang terakhir, konglomerat media cetak kedua terbesar di AS, Tribune Co, bangkrut.


Dulu, Bill Gates memang salah total dengan ramalan tentang berakhirnya media cetak pada tahun 2000. Namun, penggantinya di Microsoft, Steve Ballmer, telah membuat nubuat (ramalan) baru yang kurang lebih serupa. Kepada Washington Post, Steve mengatakan bahwa seluruh media cetak akan musnah.

"Ini premis dari saya. Pertama, tidak akan ada konsumsi media lagi yang tidak didistribusikan melalui jaringan Internet Protocol (IP), dalam 10 tahun ke depan. Tidak akan ada surat kabar, majalah yang dijual dalam bentuk kertas. Semua akan didistribusikan dalam bentuk elektronik," kata CEO Microsoft itu.

Ucapan Steve itu memang terkesan hiperbol. Bila nanti prediksi Steve terbukti salah, boleh jadi koran-koran dan majalah yang akan paling dulu memberitakan kesalahan itu di artikel halaman muka media mereka. Bila sebaliknya, setidaknya Steve lebih sukses dalam hal ramal-meramal, ketimbang pendahulunya, Bill Gates.

• VIVAnews
Reblog this post [with Zemanta]

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya