Hipotesa Latar Belakang Psikopat Ryan - suaranurani.wordpress.com

The image “http://s.wordpress.com/wp-content/themes/pub/rubric/images/rubric/pen-sm.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.Heboh pembunuhan berantai dengan 5 korban yang dilakukan Ryan membuat banyak orang terkejut. Terlebih tetangga pelaku karena meski jarang bergaul dan bersifat tertutup, Ryan dikenal sebagai sosok alim yang juga sekaligus guru ngaji, jauh dari bayangan seorang pembunuh berdarah dingin.

Banyak yang langsung menduga bahwa Ryan adalah seorang psikopat, dari banyaknya korban yang ada. Tidak salah, tetapi belum tentu pula Ryan adalah seorang psikopat.

Bagaimana perilaku psikopat?

Psikopat biasanya membunuh tidak dengan motif langsung terhadap korban. Ryan mengaku kepada polisi bahwa korban terakhir dibunuhnya karena perasaan cemburu. Seorang psikopat tidak membunuh berdasarkan cemburu, karena seorang psikopat hampir memiliki kekebalan emosi (emotional numbness) dimana ekspresi emosinya (marah, benci, cinta, sedih, takut, dsb) sangat berbeda dengan manusia normal. Emosi seorang psikopat terlihat oleh orang normal sebagai ‘lebih stabil’. Hal ini karena seorang psikopat tidak memiliki kemampuan untuk mengekspresikan emosinya sebesar layaknya orang normal. Itulah yang digambarkan oleh tetangga Ryan tentang dirinya, sosok yang tenang, alim, dan kalem.

Seorang psikopat tidak membunuh karena cemburu kepada korban. Hal yang sama, seorang psikopat tidak membunuh karena ingin menguasai harta semata seperti halnya perampokan biasa. Seorang psikopat ‘menikmati’ pembunuhan dengan suatu motif kompleks yang berasal dari pikirannya sendiri. Dia tidak merasa bersalah atau menyesal, yang diakibatkan oleh rusaknya sistem emosi dalam dirinya yang mengalami kekebalan emosi tadi.

Psikopat juga tidak pandang bulu siapa korbannya. Karena tidak harus memiliki hubungan sebab-akibat langsung dengan korban, korban bisa siapa saja. Bisa teman bisa pula orang asing. Hal ini memperkuat hipotesa Ryan sebagai psikopat karena terdapat mayat seorang perempuan Belanda yang diakuinya baru dikenalnya dalam bis kota. Hubungan berlanjut setelah pertemuan di bis, dan wanita dibunuhnya ketika mengunjungi Ryan di Jombang. Status korban saat itu belumlah menjadi teman korban yang cukup dekat, karena masih bisa dikategorikan ’stranger’ atau orang asing.

Meski demikian, suatu pembunuhan berantai oleh psikopat sekalipun tetaplah memiliki kesamaan. Dalam hal ini polisi menduga Ryan ingin menguasai harta, tetapi tidak sama dengan motif perampokan biasa. Ryan memiliki keruwetan psikologis untuk menggapai keinginannya dalam menguasai harta calon korbannya, sehingga berujung kepada satu kesimpulan: korban harus dibunuh.

Hipotesa pecahnya kepribadian Ryan

Perlu diingat, bahwa menganalisa seorang psikopat tidaklah mudah. Kriminolog dan psikolog harus menanggalkan sejumlah aturan dan norma hukum dan tata masyarakat, karena seorang psikopat mengabaikan hal-hal semacam ini.

Seperti diketahui, seorang psikopat tidak memiliki kemampuan mengekspresikan dan memanajemen emosinya dengan baik. Bila kita menilik kasus Ryan dengan metode reverse (dari alur belakang ke depan), kita mendapati pada semua korban ada satu kesamaan: hartanya dikuasai. Hanya ada satu korban yang tidak dibunuh karena harta, yaitu korban keempat yang dibunuhnya karena menjadi saksi mata ketika dia mengubur korban ketiga.

Dari sini kita dapat melihat bahwa Ryan tidak memiliki cukup keberanian untuk melakukan perampokan biasa. Ini mungkin terjadi karena Ryan juga memiliki rasa ‘takut ketahuan’, tetapi berbeda dengan orang normal, rasa ‘takut ketahuan’ ini tidak mengurungkan niatnya tetapi malah memicunya untuk ‘menghilangkan saksi perampokan’ yang berarti membunuh korbannya.

Kita mungkin merasa hal ini mustahil. Bukankah hukuman perampokan lebih ringan dari pembunuhan? Bukankah nyawa manusia lebih berharga daripada harta? Sekali lagi, seorang psikopat tidak mempedulikan kaidah-kaidah ini, itulah sebabnya kita harus menanggalkan segala macam nilai umum yang berlaku di masyarakat.

Lalu mengapa Ryan ‘takut ketahuan’?

Ryan takut ketahuan, karena dia adalah figur yang telah dikenal orang (meski terbatas) sebagai figur guru ngaji, tenang, pendiam, alim. Ini adalah figur yang tampak di masyarakat. Bagi Ryan, figur ini adalah segalanya baginya, jati dirinya, karena itu dia berjuang mati-matian untuk mempertahankan image ini. Mengapa? Karena figur ini adalah figur yang diterima dan dihargai oleh masyarakat dan keluarganya, yang ironisnya menutupi figur lain yang terpendam yaitu seorang gay.

Berlatar belakang seorang muslim yang tinggal di Indonesia, terutama di wilayah Jombang, tentu tidak mudah bagi remaja yang memiliki kecenderungan gay untuk bertanya kepada orangtuanya “Pak, Bu, saya kok lebih suka pada sesama lelaki, ya?”

Norma masyarakat dan kaidah agama mempengaruhi Ryan untuk memproteksi dirinya dan tidak mengungkapkannya pada siapapun. Pada saat yang sama, mungkin Ryan berusaha mencari tahu sendiri apa dan bagaimana kelainan seksualnya. Ketika Ryan paham bahwa dirinya memiliki kecenderungan gay, disitulah konflik batinnya dimulai. Agama melarang hubungannya, dan Ryan merasa norma agama ‘menyalahkan’ dirinya, padahal dia tidak merasa bersalah karena dia tidak meminta dilahirkan sebagai seorang gay. Norma masyarakat sekitarnya yang memandang gay sebagai orang yang ‘aneh’ turut mendukungnya.

Menghadapi ini kemungkinan besar Ryan mengalami kebencian dalam dirinya sendiri. Benci sebagai seorang gay yang dia tidak mampu mengatasinya, tapi ditolak oleh agama dan komunitasnya. Ryan lalu tekun belajar agama dalam upayanya ‘mempelajari sendiri’ sikap dan norma agamanya terutama berkaitan dengan kondisi dirinya. Memiliki pengetahuan agama yang cukup, Ryan menutupi identitas gaynya dengan menjadi guru ngaji, dengan harapan memperoleh respek dari masyarakat dan jauh dari gosip (karena dia tidak suka perempuan). Untuk alasan itulah dia juga jarang membaurkan diri dengan masyarakat, agar tidak ketahuan siapa jati diri sebenarnya.

Sejak saat itulah, hipotesa saya menduga bahwa Ryan pelan-pelan memiliki kepribadian ganda (schizophrenia). Pribadi pertama sebagai guru ngaji yang alim dipertahankan dalam hubungan bermasyarakat, sementara pribadi seorang gay ditutupinya rapat-rapat. Ryan menjadi sangat sensitif. Saya menduga jarak kedua kepribadian ini makin jauh sejalan dengan semakin bencinya Ryan terhadap dirinya sendiri, tanpa ia sadari.

Mengapa Ryan memburu harta?

Ini hipotesa saya yang lebih lemah daripada hipotesa pertama mengapa Ryan mengidap schizophrenia. Dengan kebencian terhadap dirinya sebagai seorang gay, Ryan mungkin pernah berpikir untuk melakukan trans-gender, atau mengubah dirinya menjadi seorang wanita. Hipotesa ini lemah, karena sampai saat ini belum diberitakan di media bahwa Ryan suka memakai atribut wanita.

Hipotesa yang lebih kuat adalah Ryan berusaha ‘menggalang dana’ untuk menyembuhkan dirinya. Atau, Ryan berusaha untuk punya uang cukup untuk membaur di kalangan gay metropolis. Atau Ryan berusaha menjadi kaya untuk memperoleh status sosial yang lebih baik. Status sosial yang lebih tinggi biasanya berarti lebih modern, lebih terpelajar, dan lebih bisa menerima kondisi ‘gay’ sebagai fenomena kelainan genetik dibandingkan dengan ‘wong ndeso’ yang umumnya hanya memandang gay sebagai ‘aib’.

Keinginan-keinginan ini terus berpacu. Tujuan utama Ryan adalah tidak dilecehkan orang. Dia memburu harta, dan sebelum dia kaya (hingga bisa mengatasi tekanan sosialnya) dia harus bertopeng dibalik pribadi alimnya. Kebencian Ryan berjalan konstan dengan cita-citanya.

Ketika Ryan tidak bisa mewujudkan keinginannya, mulailah dia menemukan beberapa teman yang sama-sama ‘gay’. Teman-teman baru mengubah cakrawala baru, dan mungkin dipicu karena status sosial berbeda dalam hal kekayaan.

Ingat bahwa Ryan memiliki kecenderungan psikopat, yang sampai saat ini merupakan perdebatan sengit apakah hal ini terkandung dalam genetisnya. Menghadapi kekacauan konflik batin seperti ini ditambah dengan tidak mampu mengekspresikan dan memanajemen dengan baik, sifat psikopat ini pelan-pelan mulai muncul menguasainya.

Rebut hartanya. Tapi bagaimana kalo ketahuan? Dari dulu masyarakat udah curiga yang enggak-enggak (tentang gay). Susah payah Ryan menutupinya sebagai guru ngaji, masa sekarang mencuri dan merampok? Gimana kalo ketahuan? Bunuh aja, biar korban nggak lapor, lagian hartanya bisa dikuasai semuanya, kartu kreditnya … Mungkin demikian konflik yang terjadi hingga korban pertama jatuh.

Bila Ryan seorang psikopat yang juga schizophrenia
Ryan tidak menunjukkan penyesalan, yang merupakan ciri seorang psikopat asli. Alasan Ryan membunuh karena cemburu juga ditengarai sejumlah pakar psikologi dan kriminolog sebagai motif subsider, artinya motif lain yang sebetulnya bukan motif utama. Itu hanya alasan saja, tetapi Ryan tidak sengaja beralasan demi berbohong. Dia jujur mengatakan dia cemburu, hanya saja, dia tidak mampu membedakan apa yang sebenarnya mendorongnya untuk membunuh. Keinginan untuk jadi kaya terletak di alam bawah sadarnya, sehingga ketika dia merasa ada ‘dorongan untuk menguasai harta’ dia hanya perlu satu alasan saja di alam sadar - dalam hal ini cemburu - untuk menjadi pemicu pembunuhan yang dilakukannya. Ingat, Ryan tidak bisa membedakan emosinya, dan tidak bisa juga membedakan benar salah.

Bila Ryan seorang psikopat dan hipotesa ini benar bahwa psikopat dipicu oleh kondisi schizophrenia dimana kepribadiannya terpecah, Ryan adalah seorang yang mengidap kelainan jiwa akut. Dalam hukum, seseorang tidak bisa dihukum bila terbukti mengidap gangguan jiwa. Kejadian ini terjadi diluar rasionya. Itu artinya, Ryan juga tidak bisa dihukum mati, seperti yang banyak diduga orang. Ryan seharusnya ‘dihukum’ dengan dimasukkan ke rumah sakit jiwa sepanjang hidupnya. Tetapi banyak kasus hukum di dunia menanggapi psikopat yang ‘masih bisa diajak berdialog secara waras’ sebagai orang waras, dan tetap dijatuhi hukuman mati.

Artikel Terkait :



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih untuk membuat mirror artikel saya di site Anda.

Salam blogger:
http://suaranurani.wordpress.com

Arsipnya