Misteri kematian David Hartanto |
Sketsa XIV Kematian David: Misteri Dua Jari Hingga Hayat
Kasus kematian David Hartanto Widjaja, mahasiswa jurusan Electrical Electronic Engineering (EEE), Nanyang Technological University (NTU), Singapura, telah masuk ke Coroner Court, di Subordinate Court, Singapura, 20-26 Mei 2009 lalu. Persidangan dominan data David melompat sendiri dari jembatan kaca. Padahal sosoknya bersimbah darah sejak di ruang Professor Chan Kap Luk, dipelintir pangkal pahanya, diseret di tangga darurat. Indikasi tajam pembuhan kejam dan misteri, "Iam going to die!" Coroner Court lagi 17-25 Juni 2009.
PUKUL 03.30, di sebuah cafe di terminal tiga Changi Airport Singapura, 17 Juni 2009. Sosok Tjhay Lie Khiun, ibu Almarhum David Hartanto Widjaja, tertidur di sebuah kursi dengan jaket biru melilit badannya. Meringkuk. Di sebelahnya, sang suami, Hartono Widjaja, tepekur tidur.
Kacamata Hartono menggantung melekat di wajah. Kusuma Widjaja, adik kandung Hartono, berselonjor bermata lelap. Tiga gelas cappucino di meja mereka menyisakan masing-masing setengah cangkir minuman.
Saya duduk di belakang seorang pria yang tidur berselonjor macam di atas kereta api. Tiga lampu aksesoris yang digantung di sebatang baja nirkarat berlingkaran berornamen biji-biji kopi tegak di tengah-tengah cafe. Lampunya bersinar seakan hendak mengalahkan sentral benderang penerang di siling terminal tiga Changi tinggi, berarsitektur minimalis metal.
Dua jam lalu kami baru rmendarat.
"Kita menghemat sehari, duduk saja dulu di bandara, pagi langsung ke pengadilan," ujar Tjhay
Alasannya, malam memang telah berlanjut dini pagi.
Kalimat Tjhay masih saja terngiang di kuping saya. Menghemat, memperhatikan mereka dalam keadaan demikian, menguatkan lidah pahit sakit, menelan beragam info dan "fakta" yang dibawa ke persidangan kasus kematian salah satu putera terbaik bangsa, mantan atlit olimpiade matematika, putera kedua Tjhay, 2 Maret 2009 lalu.
Kematian terindikasi kuat berlatar pembunuhan berkonspirasi. Awal peristiwa, oleh pihak kampusnya, NTU, David disosialisasikan menusuk profesor Chan Kap Luk, melukai nadi lalu melompat bunuh diri. Untuk kasus inilah saya sudah menulis 13 Sketsa, dan telah membenamkan waktu empat kali ke Singapura selama 45 hari dan akan terus bertambah lagi, berlanjut mencatat mereportase menyajikan perkembangan perjalanan kasus ini.
SEBUAH Bis bertingkat bernomor 179 dari kawasan Pioner, Singapura, baru saja membelok kanan setelah melewati gerbang kawasan kampus NTU, di areal 200 hektar itu. Tiga kelompok Song of India, tanaman hias berbatang laksana rotan telah berkayu tua, daunnya bagaikan kemoceng. Nur Kholis, anggota Komisi Hak Azasi Manusia (Komnasham), di samping saya, mengamati sekitar melalui jendela bis. Waktu sudah jam 10 pagi lewat.
Nur Kholis terkesima.
"Kampus yang luas."
Ruang terbuka dan taman hijau memang mendominasi. Sebuah bangunan khusus untuk sekolah art, dibuat melengkung, di atap bangunan kaca menghijau rumput. Publik dapat menaiki gunungan rumput
Dalam dua bulan ini, sudah tak terbilang kali saya ke kampus itu. Hari itu, Rabu, 27 Mei 2009. Hartono Widjaja, ayah David, sudah terlebih dulu ada di lokasi titik ditemukannya almarhum David. Pada 2 Maret 2009 lalu David ditemukan mati dalam keadaan mengenaskan: luka benda tajam di lengannya, kakinya patah terpelintir, bahkan tusukan benda tajam lebar di lengan kanan dan di nadi kanan kaki. Paha kaki ada sayatan. Bahkan leher yang semula menurut forensik hanya luka dalam, ternyata keluarga mendapatkan foto bahwa leher bagian bagian kiri ada luka sayatan pisau.
Beruntung hari ini Hartono Widjaja bertemu dengan dua orang petugas cleaning servive, dua wanita lanjut usia, berseragam biru berbunga di bagian depannya. Keduanya mengenakan kalung dan gelang emas mencolok.
Hartono seakan dimudahkan mendapatkan keterangan karena bertutur berbahasa Mandarin. Bahasa yang menyulitkan saya menggali info selama bulak-balik mencari saksi mata. Kedua petugas itu bersemangat menceritakan kepada Hartono, posisi David terakhir dilihatnya.
"Kasihan sekali David, " keduanya menunjukkan gerak tubuh seram, lalu berujar, "Hhhh, David memang tak layak mati dibegitukan."
Hartono yakin bahwa kedua orang ini melihat adegan anaknya "dikerjai". Akan tetapi kedua sosok pekerja kasar yang sudah layak pensiun itu, enggan bila diajak bersaksi ke pengadilan.
Akan halnya Nur Kholis, Anggota Komnasham, diundang keluarga untuk menyimak persidangan koroner dan melihat lokasi jatuhnya David, untuk dapat melihat tempat kejadian perkara. Adalah dana publik yang diambil mengongkosi, yang sudah terkumpul, mencapai Rp 280 juta melalaui Facebook, sebagai bentuk dukungan masyarakat kepada keluarga almarhum David.
Hari itu juga Hartono mencoba melihat ke ruang di depan kantor Chan Kap Luk. "Benar saja ada lagi yang aneh. Di data penyidik, di depan ruang Chan Kap Luk tak ada pantry, bukti lapangan ada ruang pantry," ujar Hartono. Saya dan dua wartawan TV ONE, menyimak dan mengabadikan ruangan yang tidak disebutkan di persidangan.
Tidak sampai hanya di situ, Hartono pun mengunjungi Hal of Residence 4 di mana David mondok di dalam lingkungan kampus yang gran itu. Lagi, sosok sang ayah menemukan jawaban berbeda dari sahabat yang mengenal David, bahwa di hall itu sejak lama tidak ada pisau.
Sementara di persidangan sosok Juliana Binte Amir, Cleaner, yang menjadi saksi dari NTU, yang tahu asal pisau, mengatakan, "Bahwa pisau di Hall empat berkurang."
Juliana gugup menjawab pertanyaan hakim, berapa sesungguhnya jumlah pisau di hall 4?
"Hampir sepuluh. Tinggal delapan saja"
Persidangan koroner, yang menghadirkan 28 saksi, hanya satu saja membawa saksi yang diajukan keluarga, yakni Hardian Setiawan Winata, akrab disapa Acong, kawan kuliah sejurusan yang mengenal David. Keterangan Acong tidak signifikan.
"Banyak kawan David dan mahsisawa NTU yang mengaku mereka terintimidasi, " ujar Hartono.
Dari kelucuan satu dan kelainan fakta lainnya, seakan datang mengalir ke pengadilan. Untuk itulah, keluarga berinsisiatif mengundang anggota Komnasham, siapa tahu dapat mensosialisasikan perihal ini ke masyarakat internasional.
Walaupun pengadilan koroner itu mulia, karena penjabarannya sebagai pengadilan yang membatasi wewenang negara dalam membuat Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) - - yang di Indonesia bisa dibuat polisi dan atau jaksa - - namun sebagaimana pengadilan lazimnya sangat bergantung ke fakta yang disuguhkan dan digiring. Muara dari kasus kematian bermasalah, di pengadilan koroner adalah pernyataan hakiam akan: pertama bunuh diri, kedua kecelakaan dan atau ketiga ditindak lanjuti ke persidangan kriminal. Nah tentu, keluarga dan segenap masyarakat yang peduli terhadap kasus ini, mengharapkan keputusan pengadilan koroner: agar kasus David berlanjut ke pengadilan kriminal.
"Bukan macam sekarang pengadilan seakan digiring bahwa David bunuh diri," tutur Hartono.
Fakta-fakta yang dan saksi yang ada, memang mengental macam kalimat Hartono. Bahkan hakim semula meminta sidang dilanjutkan 27 dan 28 Mei 2009, konon agar tuntas dengan ke-28 saksi, namun keluarga menolak dengan alasan tak mendaptkan izin kantor memperpanjang cuti. Maka belanjutlah sidang 17 – 25 Juni ini.
BINTANG dari keterangan saksi dan kelainan fakta yang sudah dibawa ke persidangan koroner Mei lalu, tentulah Profesor Chan Kap Luk (CKL), dosen pembimbing tugas akhir David. Ia pernah tercatat sebagai senior member dari Defence Science and Technology Agency (DSTA), sebuah lembaga kajian berada di bawah Menteri Pertahanan Singapura. Ia bukan profesor biasa.
Di tangan CKL melekat lima buah paten - - ingat paten, bukan hak cipta - - penemuan yang berklait, biasanya, ke teknologi. Ia pakar mengoprek aplikasi Open Commputer Vission, yang menurut Ary Setiadi, dosen dengan kemampuan sama di Lab VIII, Lt.2, Institut Teknologi Bandung (ITB), "Muara Computer Vission dua saja, dunia entertainmen dan militer." Dan Computer Vission adalah aplikasi yang dipakai David dalam menyelesaikan tugas akhirnya.
Datang ke persidangan berkemeja putih bergaris-garis halus, dengan celana casual biru tua. Fisiknya tampak lebih kurus dibanding foto CKL yang beredar di internet.
Beberapa adegan persidangan yang menghadirkan CKL satu setenagh hari itu, di antaranya: gerakan tangan CKL, macam pembersih mobil, bergerak ke kanan dan kiri seirama, lentur, tidak maco, di saat mencotohkan tangannya menangkis.
Shashi Nathan bertanya, bagaimana rasanya ditusuk?
"Macam orang punching."
"Berapa kali ditusuk, satu dua kali atau sembilan, sepuluh kali?"
"Tidak ingat," jawab CKL.
CKL mengatakan dia kehilangan keseimbangan jatuh ke lantai dengan punggung di lantai
"David menyerang lagi saya menangkisnya," ujar CKL
"David menggunakan tangan kiri atau tangan kanan?" tanya Shashi.
"Tidak ingat!"
" Lalu David menikam dari atas atau dari bawah?"
"Tidak ingat."
"Pakai tangan kiri atau kanan?"
"Tidak ingat."
Maka ketika kata tak ingat itu disampaikannya saya melirik ke seorang mahasiswa NTU yang hadir ke persidangan. Saya berbisik, bangga apa dengan NTU jika profesor berketerangan demikian. Dengan enteng mahasiswa itu menjawab, "Kan cuma satu Mas Iwan.!".
CKL pun sudah bertutur beradegan macam Superman, mematahkan gagang pisau yang katanyan ditusukkan itu, manjadi tanya tersendiri.
Dari satu setengah hari kehadiran CKL di ruang sidang, tak pernah sekalipun ia menatap keluarga, apalagi menatap mata ayah dan ibunya David. Bahkan ketika hendak turun meja saksi di persidangan, keluarga David masih duduk di tempatnya, membuat CKL berdiri saja menunggu, sambil berbisik dengan polisi penyidik
Begitulah CKL. Sosok sesungguhnya saksi kunci kematian David, yang sayangnya berketerangan demikian. David dituduhkan menusuk, tetapi CKL hanya luka kecil di tangan, luka kecil di punggung, sebaliknya David sudah bersimbah darah di rungannya, juga dihajar di tangga darurat, di duga didudukkan di tangga kaca dalam keadaan sekarat, yang membuatnya tak bertenaga balik naik.
Dan ketika saksi yang dihadirkan bernama Lobna Kamyab, mahasiswa asal Iran tingkat S3 yang sempat berdialog dengan David di tangga darurat, mengutip kalimat David, "Iam going to die."
Dalam keadan sekarat, ketakutan, senang berlebihan, seseorang cenderung bertutur ke bahasa ibunya. Bahasa yang diucapkan David, dalam tatabahasa Indonesia, logikanya ingin mengatakan, "Gue nih udah mau mati!"
Tentu bukan mengatakan mau bunuh diri: sebaliknya menegaskan dia sekarat! Pertanyaan siapa yang bikin David sekarat? Inilah benang merah kasus ini seharusnya!
Sebaliknya saksi-saksi mengatakan David mau bunuh diri, dan fakta memang digiring ke arah sana, termasuk rekeman video dari HP, yang dibuat berulang berdurasi 8 detik. "Dan sosok di rekeman video itu kami yakini bukan David," ujar Hartono, sang ayah.
Beruntung keluarga kemudian mendapatkan foto forensik, yang memperlihatkan dua jari David masih menunjuk, apakah ini sinyal ingin mangatakan pembunuhnya dua orang sebagai pesan atau sinyal terkhir sebelum ajal? Mengapa pula Zhou Zheng, Project Officer, warga negara Cina, yang satu laboratorium dengan David, harus bepulang pula empat hari setelah David meninggal?
Berpuluh-puluh Sketsa bisa lahir dari kasus ini, termasuk bagaimana media Singapura yang mengutip saja persidangan 19 Juni 2009 lalu, dimana ahli forensik tampak menjadi sangat jenaka, tidak bisa menyebutkan tanggal dari data yang di-digital forensiknya. Biarlah menjadi Sketsa berikut secepatnya, dan pembaca Sketsa hingga 13 tidak menggantung lagi menunggu lama Sketsa 14 macam sekarang ini. Saya jamin dalam dua hari ini mengalir ke-15-nya. ***
Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter, blogs-presstalk. com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar