Semarang (ANTARA News) - Andaryoko Wisnuprabu (89) yang pernah mengaku dirinya sebagai Supriyadi, mantan Menteri Keamanan Rakyat sekaligus Panglima Tentara Keamanan Rakyat tahun 1945, meninggal dunia Rabu (3/6) malam.
Menurut Akso Prabu Wisnuaji, salah satu putra Andaryoko, di Semarang, Kamis, sebelum wafat almarhum dalam keadaan sehat.
"Rabu malam sekitar pukul 21:30 WIB, bapak terjatuh ketika hendak masuk kamar mandi dan langsung tak sadarkan diri," ujarnya.
Saat dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Umum Ketileng, kata Akso, bapaknya meninggal dunia.
Akhirnya, almarhum Andaryoko yang juga seorang pensiunan sekretaris Karesidenan Semarang, Jawa Tengah, pada Kamis (4/6) pukul 14:00 WIB dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Pedurungan yang dihadiri oleh ratusan orang pelayat dari berbagai elemen masyarakat.
Sebelumnya, almarhum membuat pengakuan yang menimbulkan kontroversi sebagai Supriyadi, pemimpin pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA).
Oleh sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T Wardaya, pengakuan itu ditulis dalam sebuah buku berjudul "Mencari Supriyadi".
Baskara yang ikut melayat menyatakan, ada yang lebih penting dari sekadar kontroversi pengakuan Andaryoko sebagai Supriyadi. "Dia telah menyajikan narasi lain tentang sejarah Supriyadi di luar narasi resmi pemerintah," ujarnya.
Menurut Baskara, mengkaji ulang narasi sejarah, jauh lebih penting dibandingkan dengan kontroversi itu sendiri.
Baskara menambahkan, ada tiga hal yang membedakan antara Andaryoko dengan tokoh lain yang pernah mengaku sebagai Supriyadi. "Orang yang mengaku Supriyadi yang lain dalam pengakuannya hanya menonjolkan sejarah diri sendiri, tetapi Andaryoko justru membicarakan sejarah Indonesia," ujarnya.
"Jika pengakuan yang lain diimbangi dengan kekuatan magis (klenik), Andaryoko sangat rasional. Jika yang lain hanya menceritakan pemberontakan PETA, Andaryoko bisa menghubungkan sejarah PETA dengan sejarah nasional dan internasioanl," ujarnya.
Bahkan, lanjut dia, saat peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2009 lalu, kepada Akso, Andaryoko mengaku prihatin dengan belum ditegaknya Pancasila sebagai dasar negara. "Masing-masing pasal belum dilaksanakan secara konsisten," ujarnya.
Di akhir hayatnya, Andaryoko aktif sebagai Ketua Umum Perkumpulan Seni dan Budaya Sobokarti, Sesepuh Manengku (penghayat Kejawen) dan aktif di organisasi pejuang Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Almarhum yang selama ini tinggal di rumahnya yang beralamat di Jalan Mahesa Raya Nomor 1, Pedurungan Semarang, meninggalkan empat putra, delapan cucu dan enam cicit.(*)
--------------------------
Notes :
Saya mengucapkan turut bela sungkawa atas meniggalnya Bapak Andaryoko, terlepas dari kontroversi pengakuannya saya pribadi tetap berharap misteri Supriyadi akan terungkap dikemudian hari walau itu akan sangat muskil karena meninggalnya beliau.
Menurut Akso Prabu Wisnuaji, salah satu putra Andaryoko, di Semarang, Kamis, sebelum wafat almarhum dalam keadaan sehat.
"Rabu malam sekitar pukul 21:30 WIB, bapak terjatuh ketika hendak masuk kamar mandi dan langsung tak sadarkan diri," ujarnya.
Saat dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Umum Ketileng, kata Akso, bapaknya meninggal dunia.
Akhirnya, almarhum Andaryoko yang juga seorang pensiunan sekretaris Karesidenan Semarang, Jawa Tengah, pada Kamis (4/6) pukul 14:00 WIB dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Pedurungan yang dihadiri oleh ratusan orang pelayat dari berbagai elemen masyarakat.
Sebelumnya, almarhum membuat pengakuan yang menimbulkan kontroversi sebagai Supriyadi, pemimpin pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA).
Oleh sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T Wardaya, pengakuan itu ditulis dalam sebuah buku berjudul "Mencari Supriyadi".
Baskara yang ikut melayat menyatakan, ada yang lebih penting dari sekadar kontroversi pengakuan Andaryoko sebagai Supriyadi. "Dia telah menyajikan narasi lain tentang sejarah Supriyadi di luar narasi resmi pemerintah," ujarnya.
Menurut Baskara, mengkaji ulang narasi sejarah, jauh lebih penting dibandingkan dengan kontroversi itu sendiri.
Baskara menambahkan, ada tiga hal yang membedakan antara Andaryoko dengan tokoh lain yang pernah mengaku sebagai Supriyadi. "Orang yang mengaku Supriyadi yang lain dalam pengakuannya hanya menonjolkan sejarah diri sendiri, tetapi Andaryoko justru membicarakan sejarah Indonesia," ujarnya.
"Jika pengakuan yang lain diimbangi dengan kekuatan magis (klenik), Andaryoko sangat rasional. Jika yang lain hanya menceritakan pemberontakan PETA, Andaryoko bisa menghubungkan sejarah PETA dengan sejarah nasional dan internasioanl," ujarnya.
Bahkan, lanjut dia, saat peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2009 lalu, kepada Akso, Andaryoko mengaku prihatin dengan belum ditegaknya Pancasila sebagai dasar negara. "Masing-masing pasal belum dilaksanakan secara konsisten," ujarnya.
Di akhir hayatnya, Andaryoko aktif sebagai Ketua Umum Perkumpulan Seni dan Budaya Sobokarti, Sesepuh Manengku (penghayat Kejawen) dan aktif di organisasi pejuang Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Almarhum yang selama ini tinggal di rumahnya yang beralamat di Jalan Mahesa Raya Nomor 1, Pedurungan Semarang, meninggalkan empat putra, delapan cucu dan enam cicit.(*)
--------------------------
Notes :
Saya mengucapkan turut bela sungkawa atas meniggalnya Bapak Andaryoko, terlepas dari kontroversi pengakuannya saya pribadi tetap berharap misteri Supriyadi akan terungkap dikemudian hari walau itu akan sangat muskil karena meninggalnya beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar