Menguak Sejarah Ilmu Kentut, Flatologi


 
 

Menguak Sejarah Ilmu Kentut, Flatologi (Bagian 1)

Friday, 10 July 2009 20:06 usamah
  

Tak banyak yang tahu sejarah ilmu kentut. Padahal, bidang itu kini diteliti serius ilmuwan mancanegara.



oleh: Catur Sriherwanto

Hidayatullah.Com – Tertawa, tersenyum, atau perasaan geli. Barangkali itu yang muncul seketika dalam diri seseorang saat mendengar kata atau bunyi kentut, gas buangan anus. Setelah itu, orang mungkin melupakan begitu saja bahasan ini, dijadikan bahan tertawaan dan senda gurau lebih lanjut atau bersikap biasa saja. Seolah barang yang satu ini tercipta sebagai benda biasa, atau bahkan barang cemoohan, senda gurau, main-main, sehingga terkesan tanpa makna atau memiliki arti buruk. 

Namun, benarkah demikian? Jika Pencipta gas perut itu adalah Sang Mahakuasa, Maha Berilmu dan Maha Sempurna, Yang mencipta setiap sesuatu untuk tujuan pasti yang serius dan bukan untuk main-main, maka sudah pasti sikap mudah mencemooh barang seperti kentut tidaklah tepat. Sebab, itu berarti mencemooh salah satu ciptaan Allah yang Dia ciptakan dengan segenap kesempurnaan dan kehebatan luar biasa. Dan Allah Yang Mahaluas ilmu-Nya menciptakan segenap ciptaan-Nya bukan untuk tujuan agar dicemoohkan manusia yang pengetahuannya tidak seberapa itu.

Kesempurnaan serta pengetahuan tak terbatas seputar kentut hanya akan didapati orang-orang yang mau menggunakan akalnya dan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk meneliti gas perut itu. Sebaliknya, kelalaian mensyukuri nikmat akal dan pikiran, akan membuat orang mudah terlena, tidak menggunakan akalnya sebagaimana mestinya dengan perilaku tidak serius dan tidak tepat. Bahkan ada yang sampai menjadikan kentut sebagai bahan olok-olok atau tertawaan.

Uraian di bawah ini mengisahkan sejarah ilmu kentut, atau yang diistilahkan sebagai Flatologi (
Flatology, the science of flatulence). Kemunculan dan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan gas keluaran usus ini menjadi saksi akan segudang hal luar biasa dari kentut, beserta ilmu dan pengetahuan mahaluas dari sang Penciptanya. Di samping itu, banyak pelajaran baik darinya yang dapat dijadikan panutan, di antaranya agar manusia tidak mudah meremehkan ciptaan Allah apa pun, bahkan seremeh kentut.


Sang dokter kentut

Sejarah modern ilmu kentut tidak dapat dilepaskan dari sang perintisnya, Dr. Michael D. Levitt. Dr Levitt digelari "Dokter Kentut", karena dialah salah seorang pakar terkemuka dunia di bidang ilmu pengetahuan tentang gas perut itu. Lebih dari 250 tulisan ilmiah mengenai kentut telah terbit di jurnal-jurnal kedokteran, di mana Dr. Levitt sebagai penulis utama atau pendamping.

Dr. Levitt adalah seorang ahli gastroenterologi yang tercatat bekerja di
 the Veterans Affairs Medical Center, Minneapolis, Amerika Serikat. Gastroenterologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari sistem pencernaan makanan dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengannya. Tak heran jika kentut erat sekali kaitannya dengan bidang ini pula. Kentut adalah sebuah nikmat luar biasa yang diciptakan pada manusia, yang dengannya tubuh membebaskan usus besar dari gas-gas yang tak dikehendaki dan menghilangkan tekanan yang tak diinginkan dari dalam usus.


Berawal dari kentut bermasalah

Kisah asal mula kemunculan ilmu kentut bukanlah sesuatu yang sengaja dirancang dari awal. Suatu ketika pada tahun 1976 Dr. Levitt didatangi oleh seorang pasien yang selama 5 tahun telah menderita kelainan berupa kentut berlebihan. Sejak tahun 1971, sang pasien yang kala itu berusia 28 tahun mengaku telah melepaskan gas perut dalam jumlah berlebihan, jauh melebihi yang sebelum-sebelumnya. 

Ini bukan sekedar pengakuan lugu sang pasien. Lebih dari itu, layaknya seorang peneliti, sang pasien mencatat dengan cermat gas keluaran duburnya itu selama 2 tahun belakangan. Ketika catatan ini ia tunjukkan kepada Dr. Levitt, sang dokter pun terkejut. Betapa tidak, berdasarkan data kentut itu, sang pasien menyemburkan gas perutnya 34 kali perhari, bahkan beberapa hari bisa mencapai 40 kali. 

Dr. Levitt ternyata tidak kuasa menanggapi data-data kentut yang diperlihatkan sang pasien itu. Mengapa? Sederhana saja, sang dokter tidak memiliki data mengenai kentut pada orang sehat atau normal. Sehingga dia tidak dapat membandingkan tingkat keseringan kentut sang pasien itu dengan tingkat keseringan kentut pada orang sehat. Jadi, sudah pasti sulit mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa si pasien itu sehat atau sakit, mengalami kelainan atau tidak mengidap penyakit. Ini karena sang dokter tidak tahu, bagaimana data-data kentut seperti itu kalau pada orang sehat

Untuk mencari jalan keluar, Dr. Levitt pun lalu merekrut sejumlah orang sehat untuk mengumpulkan data-data penting mengenai kentut mereka
 (bersambung).
 
++++
 
 
 

Menguak Sejarah Ilmu Kentut, Flatologi [Bagian 2]

Sunday, 12 July 2009 12:14
 

Perkembangan flatologi dimulai dengan meneliti gas perut orang sehat, tentang jumlah maupun campuran gasnya.

oleh: Catur Sriherwanto

Hidayatullah.Com – Di tulisan bagian ke-1 yang dimuatHidayatullah.Com sebelumnya telah diuraikan bagaimana penelitian tentang kentut berawal dari datangnya seorang pasien penderita kentut berlebihan kepada Dr. Levitt di tahun 1976. Sang pakar yang di kemudian hari digelari "Dokter Kentut" ini tidak mampu menanggapi data mengenai gas perut yang dicatat oleh si pasien itu sendiri selama dua tahun terakhir. Ini karena sang dokter tidak memiliki data serupa untuk orang sehat sebagai bahan perbandingan. 

Dr. Levitt tidak mampu memutuskan apakah sang pasien menderita penyakit pencernaan atau tidak, lantaran data perilaku gas perut untuk orang sehat belumlah ada kala itu. Inilah yang mendorong penelitian dalam rangka mengumpulkan informasi ilmiah mengenai seluk beluk kentut orang sehat.

Gasnya orang sehat


Dalam rangka meneliti gangguan buang angin berlebihan, aneka pengetahuan dan data seputar gas perut yang wajar, yang ada pada orang sehat, perlu didapatkan. Maka mulailah sang dokter mengumpulkan tujuh orang relawan yang diminta melakukan pembukuan mengenai seluk beluk gas hembusan bagian bawah tubuh mereka. Setidaknya selama sepekan mereka diperintahkan mencatat seberapa sering mereka melakukan pelepasan gas usus, dan kapan letupan itu terjadi.

Ketika data kentut relawan sehat itu telah terkumpul, menjadi jelaslah bahwa perilaku buang angin ketujuh orang relawan itu berbeda dengan sang pasien. Para relawan melepaskan gas perutnya rata-rata 13,6 kali per hari, tanpa perbedaan statistik nyata dikarenakan usia, jenis kelamin atau perbedaan lain. Bahkan angka tertinggi pelepasan kentut orang normal pun kurang dari 20 kali per hari. Jadi angka ini benar-benar jauh lebih rendah dari yang dialami sang pasien, yakni 34 kali per hari. Artinya sang pasien memang mengalami ketidakwajaran, alias mengidap gangguan kesehatan.

Namun data yang sebatas pada tingkat keseringan dilepaskannya hawa perut ini tidaklah cukup. Diperlukan data tambahan mengenai besaran atau volume gas yang dihembuskan oleh salah satu lubang bawah manusia itu pada setiap kali semburan.  Melalui selang yang terhubungkan dengan anus dan tabung suntikan, maka diperoleh besaran volume gas kentut untuk ukuran orang normal.

Orang ukuran rata-rata membuang angin perutnya sebanyak 500 hingga 2.000 mililiter per hari, kata Dr. Levitt. Jika dihitung,  maka didapatkan angka rata-rata 35 hingga 90 untuk sekali semburan. Dibandingkan dengan angka normal ini, maka pasien yang sedang ditangani sang dokter itu ternyata memang memuntahkan gas perut melebihi ambang batas kewajaran, yakni mencapai angka rata-rata 5.520 mililiter per hari, atau 162 mililiter setiap kali buang angin. 

Gara-gara  1%

Dari pembandingan data mengenai tingkat keseringan dan volume gas, jelas bahwa sang pasien memang mengalami gangguan kesehatan. Namun sebelum melakukan penanganan kepada pasien itu, Dr. Levitt sadar bahwa ia mesti melakukan pengkajian lebih lanjut, yakni bukan sekedar mengenai jumlah gas kentut, tapi juga unsur-unsur alias komposisi atau mutu gas kentut itu.

Menariknya, berdasarkan telaah yang dilakukan Dr. Levitt pada gas perut yang berhasil ditangkap dan dikumpulkan, gas ini ternyata dapat pula tidak berbau. Sekitar 99 persennya adalah karbon dioksida, hidrogen, nitrogen, oksigen, dan metana. Gas-gas ini telah dikenal luas dan sama sekali tidak berbau. Kebanyakan gas ini berasal dari gas yang kita telan tanpa sengaja di saat memakan makanan atau gas yang dibebaskan oleh makanan saat makanan itu tercerna di saluran pencernaan manusia.

Lalu untuk gas beraroma tidak sedap, dari mana sumber bau itu? Ternyata 1% sisanya itulah yang menyumbangkan biang aroma busuk pada keseluruhan gas keluaran manusia tersebut. Gas yang jumlahnya sekedar 1% ini memang benar-benar berbeda, dan berasal dari sumber yang sangat lain pula. Bagaimanakah kisah awal mula kemunculan gas beraroma tidak sedap itu?

Sampah gas

Sebagaimana makhluk hidup lain, tubuh manusia menjadi tempat hunian jutaan mikroorganisme yang hidup pada rambutnya, pori-porinya dan bahkan di dalam organ tubuh bagian dalamnya. Salah satu tempat di mana terdapat banyak sekali mikroba ini adalah saluran pencernaan manusia, dan jenis mikroba paling terkenal adalah 
E. coli, di samping kerabatnya lain yang kurang tenar, yakni Klebsiella dan Clostridium

Semua makhluk hidup ini menghuni sebagian besarnya di usus besar, yakni bagian usus yang paling dekat dengan lubang anus. Di sini, mikroba ini menguraikan dan memakan makanan-makanan yang belum tercerna di saluran makanan bagian atasnya. Ketika mengonsumsi makanan tersebut, sang mikroba lalu membuang sampah pula yang berupa gas. Gas-gas ini ada yang mengandung unsur belerang seperti dimetil sulfida dan mentantiol. Kedua gas ini memiliki bau tidak sedap.

Ketika terkumpul hingga jumlah tertentu, maka gas limbah yang dihasilkan mikroba ini akan disemburkan keluar bersama-sama dengan gas-gas lainnya yang ada di usus besar. Meskipun ada dengan kadar teramat sangat rendah dibandingkan gas selebihnya yang tidak berbau, gas busuk ini mampu memberi aroma tidak bersahabat pada keseluruhan campuran gas yang dilepaskan anus. Ini menjadi saksi betapa unsur gas biang bau itu memiliki tingkat kebusukan luar biasa, serta membuktikan pula betapa hebatnya kepekaan hidung ciptaan Allah yang mampu dengan segera mengenali keberadaannya. 

Namun tidak semua peristiwa letusan gas perut berdampak penyebaran bau tidak sedap di sekeliling. Dengan kata lain, sebagian orang leluasa menghembuskan hawa perutnya yang nyaris tak beraroma sekehendak hati tanpa ada yang tahu. Namun sebagian lagi melepaskan gas buangannya dengan bau yang bahkan tidak kuasa ditahan hidungnya sendiri. Lalu, apa yang menyebabkan perbedaan ini, dan juga perbedaan-perbedaan lain, misalnya dalam hal keseringan dan volume gasnya?
 (bersambung)

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya