26/08/2007 08:28 Televisi
Orang Tua Perlu Mengawasi Siaran Televisi Liputan6.com, Jakarta: Banyak tayangan serta program televisi yang tak mendidik bagi bocah. Bahkan, sejumlah program yang isinya tak sesuai untuk anak-anak ditayangkan pada jam di mana masih banyak penonton anak-anak. Padahal, banyak stasiun televisi yang sudah mendapat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia dan berbagai lembaga sosial kemasyarakatan lainnya. Agaknya, ketatnya persaingan membuat pengelola televisi acap kali tak mengindahkannya.
Selain komitmen pengelola stasiun televisi, orang tua juga perlu turut serta membantu mengawasi acara maupun program yang ditonton anak-anak mereka. Sekilas, cuplikan suatu tayangan film anak terkesan biasa saja, bahkan lucu dan menyenangkan. Si upik pun betah menonton film semacam itu.
Namun bila diperhatikan, adegannya ternyata tidak sehat bagi perkembangan anak. Karena secara tidak langsung telah mengajari berbagai hal yang masih jauh dari takaran umur mereka. Nah, keprihatinan akan tayangan televisi itu, kini telah meluas di kalangan masyarakat. Sekalipun demikian, ketidakjelasan soal panutan acara mengakibatkan tiada pilihan. Alhasil acara yang seharusnya tak menjadi konsumsi anak terpaksa ditonton juga.
Komisi Penyiaran Indonesia mencatat setidaknya ada lima gambar yang tidak sehat bagi anak yang perlu diwaspadai para orang tua. Yakni, gambar kekerasan yang membahayakan dan mudah ditiru anak; gambar menakutkan serta mengerikan seperti senjata tajam, darah dan kriminal; gambar situasi klenik dan tahayul; gambar kegiatan seksual seperti ciuman, telanjang dan adegan pacaran; dan gambar perbuatan antisosial seperti tamak, licik serta berbohong.
Sedangkan narasi yang tidak sehat adalah memaki kata-kata yang diasosiasikan dengan kegiatan seksual; mengejek dan menghina mengolok-olok serta melecehkan kelompok tertentu seperti fisik atau ras.
KPI menilai kontrol masyarakat paling efektif untuk meminimalkan tayangan-tayangan yang membahayakan bagi anak. Sebagai penonton, masyarakat dapat melaporkannya kepada KPI, terutama bila memang ada tayangan yang tidak sehat. Para penonton juga dapat mengeluhkan tayangan tersebut langsung kepada stasiun televisi yang menayangkan. Dengan demikian, kualitas siaran tak hanya semata tanggung jawab KPI. Tapi, juga menjadi tanggung jawab berbagai pihak, khususnya kalangan orang tua.
Belakangan, bukan hanya TV swasta yang meramaikan dunia televisi di Indonesia. Ada lagi fenomena TV lokal. Hanya saja, aturan main yang terkadang tak jelas serta manajemen yang juga berantakan membuat sebagian TV lokal yang sudah tumbuh, mati suri. Bahkan, mati selamanya.
Tengok saja gedung stasiun tv lokal pertama di Manado, Sulawesi Utara, yaitu TV Manado. Kini tinggal menjadi kenangan bagi warga Manado. Televisi itu terpaksa tutup karena tak mampu lagi menutup ongkos produksinya, selain belitan masalah manajemen.
Padahal, pendirian televisi ini diarahkan untuk menangkap peluang bisnis yang terbuka dari terbitnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tnetang Penyiaran. UU ini mewajibkan TV nasional bermitra dengan TV lokal dalam merelai siarannya [baca: Selamat Datang Era Televisi Lokal]. Selain TV Manado, ada juga Bunaken TV yang konsep siarannya penuh muatan lokal dengan target pengiklan setempat. Sebelumnya, acara di televisi ini sangat disukai warga Manado, sayang hanya bertahan dua bulan.
Lain halnya dengan Pasific TV. Stasiun televisi kebanggan warga Sulut, hingga saat ini ramai pengiklan sehingga bisa tetap bertahan. Bahkan, sekarang mampu mengudara hingga 18 jam sehari. Sepanjang tahun ini, Pacific TV terus melebarkan usahanya ke bidang radio dan koran lokal. Selain di Manado, ada pula TV Lima Dimensi di Kota Tomohon yang eksis hingga sekarang.
Sedangkan di Gorontalo, semangat memiliki TV lokal tak kalah dengan provinsi tuanya, Sulawesi Utara. Kendati hanya mengandalkan iklan lokal, TV Gorontalo mampu bertahan hingga tahun keenam ini. Karena itu wajar, bila televisi kebanggaan masyarakat Gorontalo ini hanya mampu mengudara lima jam seharinya. Keyakinan diberlakukannya pasal UU Penyiaran yang mewajibkan TV nasional bekerja sama dengan TV lokal untuk merelai acaranya kini dinantikan. Setidaknya dapat menggairahkan kembali keberadaan TV lokal.
Selain Manado, stasiun televisi lokal juga ada di daerah-daerah lain, termasuk di Surabaya, Jawa Timur. Di Kota Pahlawan itu ada stasiun televisi yang menyiarkan berita dalam bahasa Jawa dialek Surabaya. Pojok Kampung itulah nama program tersebut. JTV selaku pengagas memang sengaja menggunakan bahasa Jawa dialek Surabaya atau Suroboyoan untuk program berita ini. Selain untuk lebih mendekatkan diri pada pemirsanya, penggunaan bahasa Suroboyoan ini juga didorong keprihatinan atas menurunnya penguasaan dialek tersebut di kalangan anak-anak.
Walau didukung awak yang fasih berbicara dalam dialek Surabaya, ternyata untuk menulis naskah, mereka masih dibantu seorang penerjemah. Di tangan orang itulah, naskah tersebut sampai pada bentuk akhirnya. Sebagaimana yang sampai ke pemirsanya.
Namun, berita yang sudah selesai, boleh jadi akan kehilangan gregetnya bila tak disampaikan dengan pas. Untuk itulah, pihak JTV tak sembarangan memilih presenter. Ini wajar karena ia harus benar-benar menguasai bahasa Suroboyoan. Walau sudah dipersiapkan sedemikian rupa, tak berarti semua akan berjalan lancar. Sesekali ada saja masalah yang muncul.
Sejak diluncurkan awal Juli 2003, program berita Pojok Kampung telah tumbuh menjadi ikon JTV. Program ini juga mendapat respons positif dari warga Surabaya. Dan menyusul keberhasilan Pojok Kampung, pihak JTV mengembangkan program berita serupa dengan nama Pojok Kulonan. Program ini menggunakan bahasa Jawa halus atau krama untuk merebut pemirsa Jawa Timur yang belum tergarap melalui program Pojok Kampung.(ANS/Tim Liputan 6 SCTV)