Johny Setiawan, satu-satunya WNI di Laboratorium Jerman yang menemukan planet baru


Minggu, 24 Agustus 2008 ]

Belajar Astronomi di Jerman, Kerja di Chile, Pensiun di Indonesia

Tak sulit mengenali Dr rer nat Johny Setiawan. WNI yang sudah 17 tahun tinggal di Jerman itu selalu tampil plontos, bercelana pendek, dan kaus tanpa lengan. Sandal jepit juga selalu menemani langkahnya. Padahal, profesi dan prestasinya tak main-main, yakni astronom dan penemu lebih dari sepuluh planet baru.

AISYAH, Surabaya

Johny Setiawan memakai baju formal jika ada acara resmi saja. Begitu acara selesai, dia langsung ganti baju dengan setelan andalannya tersebut. "Yah, kan dari tadi sudah pakai baju formal. Di luar acara harus beda dong. Biar santai,'' ungkapnya saat ditemui di Bali pekan lalu. "Lagi pula saya memang tidak ingin terlihat seperti scientist. Biar orang tidak takut dengan saya dan mereka bisa mengenal saya yang sesungguhnya,'' tambahnya.

Meski telah 17 tahun merantau ke negeri Jerman, Johny masih fasih berbahasa Indonesia. Bukan hanya itu. Pria kelahiran Jakarta 16 Agustus 1974 tersebut mengaku telah menguasai empat bahasa dengan lancar, yakni Inggris, Spanyol, Indonesia, dan Jerman.

"Tempat saya tinggal dan orang-orang di sekeliling saya membuat saya tertuntut untuk menguasai keempat bahasa tersebut,'' ungkap astronom yang juga lihai memasak itu.

Bahasa Indonesia tentu saja dikuasai sejak lahir, sementara bahasa Jerman digunakan di tempat tinggalnya sekarang, Heidelberg, Jerman. "Bahasa Inggris biasanya saya gunakan untuk mengajar dan bahasa Spanyol digunakan jika saya ke Chile untuk melakukan penelitian,'' ungkapnya.

Perusahaan Max Planck Institute for Astronomy tempat Johny bekerja memang terletak di Jerman, tapi laboratoriumnya berada di Chile. "Ini karena langit di Chile sangat bagus untuk melihat bintang dan planet-planet. Beda dengan langit Indonesia, warnanya merah karena terpolusi,'' ungkapnya. Otomatis, tiga bulan sekali dia harus bolak-balik Chile - Jerman untuk melakukan riset.

Meski menguasai empat bahasa, penyuka seni itu mengaku tidak kesulitan untuk memisahkan bahasa yang dikuasai. "Yah, semacam ada tombol di otak saya yang bisa disetel jika saya mau pindah menggunakan bahasa apa. Saya belajar untuk mengorganisasikan keempat bahasa yang saya kuasai,'' ungkapnya. Dia menyatakan bahwa hal inilah yang membuat tata bahasanya tidak pernah tercampur-campur tiap bicara.

"Selain itu saya selalu melatih menggunakan empat bahasa tersebut dengan porsi yang sama,'' jelasnya. Jika tiga bahasa asingnya biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari, bahasa Indonesianya dilatih melalui telepon dengan keluarga yang masih di Jakarta atau dengan mengutak-atik friendster miliknya. "Kalau semuanya berjalan seiringan, pasti bisa lancar semuanya,'' jelasnya.

Johny mengungkapkan, sejak kecil dirinya memang bercita-cita menjadi astronom. Ini bermula ketika ayahnya mulai sering mengajaknya ke atap rumah untuk melihat bintang-bintang tiap petang. "Saat itu di Jakarta masih bisa lihat bintang tiap malam karena langitnya masih bersih, tidak seperti sekarang,'' jelasnya. Kebiasaan inilah yang membangkitkan minatnya akan ilmu astronomi. "Waktu itu ayah saya sering bercerita yang aneh-aneh tentang bintang-bintang tersebut. Dia juga memberi nama aneh-aneh pula. Setelah saya dewasa, saya baru tahu bahwa apa yang dibicarakan ayah dulu salah semua,'' sambungnya mengenang masa kecilnya sambil tertawa.

Meski mengidamkan profesi astronom, Johny mengakui sejak kecil justru tidak terlalu suka dengan pelajaran fisika yang menjadi elemen penting ilmu mengamati benda-benda di langit itu. Menurut dia, banyak pertanyaan di fisika yang aneh-aneh dan cenderung tidak perlu. "Saat itu saya malah lebih suka pelajaran sejarah. Jadi, saya suka sekali menghafalkan sejarah-sejarah kerajaan dan tahun-tahun berdiri sekaligus runtuhnya kerajaan tersebut,'' ungkapnya.

Namun, pelajaran kesukaannya langsung berbalik arah ketika dia menginjakkan kaki di Jerman.

Johny menamatkan S-1 dan S-3-nya di Freiburg, Jerman. Penyajian dosen yang menarik ditunjang fasilitas lengkap membuat Johny maniak dengan segala sesuatu yang terkait astronomi. Karena itu, dia tercatat sebagai lulusan termuda di Albert-Ludwigs-Universitat, Freiburg, Jerman. Di universitas yang sama, Johny meraih gelar S-3 dan menjadi ilmuwan postdoctoral di Departemen Planet dan Formasi Bintang Max Planck Institute for Astronomy (MPIA). Menurut Johny, dia satu-satunya ilmuwan non-Jerman di antara tiga peneliti planet lain di MPIA.

Sekarang ini dengan adanya teleskop modern bukan hal sulit menemukan bintang-bintang yang bertebaran di jagat raya ini. Waktu menemukan planet pertama, HD 47536 b dan c nama Johny Setiawan belum melambung seperti sekarang ini. Dia baru banyak dibicarakan di media masa saat mengumumkan penemuan planet kedua, HD 11977 pada 2005. HD adalah kependekan dari Henry dan Draper, nama astronom AS yang menyusun katalog perbintangan. Sedangkan angka-angka menunjukkan satu posisi tertentu di jagat raya, sementara huruf kecil b dan c artinya planet pertama dan kedua. Bintang induk sendiri diberi tanda huruf besar A. "Saat itulah orang baru tahu bahwa ada orang Indonesia yang berhasil menemukan planet,'' ungkapnya. Sejak saat itu tawaran wawancara mengalir deras padanya. Media-media elite seperti The New York Times juga pernah menginterviewnya.

Sejak mengamati bintang-bintang di jagat raya, Johny telah menemukan lebih dari 10 planet. Lima di antaranya sudah dipublikasikan. Yang tiga lagi segera dipublikasikan. Sementara yang lain dalam tahap penelitian.

Dari sekian banyak temuannya, yang paling berkesan adalah planet TW Hydrae b. Pasalnya, itu satu-satunya planet temuannya yang tidak menggunakan angka-angka seperti yang lain. "Selain itu, ini adalah planet termuda yang saya temukan. Planet ini juga dalam kontroversi karena masih banyak yang belum percaya. Pembuktian adanya planet ini kan secara tidak langsung,'' ungkapnya. Penemuan planet ekstrasolarnya (planet di luar sistem tata surya) dipublikasikan dalam majalah Nature pada 4 Januari 2008.

Temuan-temuan itu, menurut Johny, berguna untuk mencari kemungkinan adanya bumi lain, selain bumi kita sekarang ini. "Jika ini benar ada, cara pandang kita selama ini akan berubah total. Kita tidak sendirian di dunia ini,'' ungkapnya. "Menurut saya pribadi, alien atau makhluk lain di ruang angkasa itu memang ada. Itu bukan hal yang imposible,'' terang pria berkepala agak gundul itu.

Meski sekarang cukup terkenal, dia mengaku tidak ada yang berubah dari hidupnya. "Saya tidak punya waktu untuk berubah. Terlalu sibuk mengadakan penelitian dan yang lain,'' ujarnya.

Karena jadwal begitu padat, Johny biasa bekerja pukul 18.00 hingga 07.00. Dia juga belum punya rencana untuk balik ke Indonesia. "Pekerjaan saya di Jerman masih banyak. Jika saya pensiun atau sudah tidak punya pekerjaan lagi, mungkin saya akan balik ke sini (Indonesia, Red),'' jelasnya. Namun, jika saat ini memang ada pekerjaan di Indonesia, tidak menutup kemungkinan dia akan kembali.

Meski jauh dari tanah air, itu tidak membuat Johny lupa akan negaranya. Untuk mempromosikan Indonesia sekaligus menyalurkan hobi, dia membuka katering masakan Indonesia. "Saya kan suka masak dan bisa masak hampir semua masakan tradisional Indonesia dan beberapa masakan internasional,'' terangnya.

Sampai saat ini, pria yang telah berusia 34 tahun itu belum punya rencana menikah. (*/kim)

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya