Film Walisongo
Wali Songo Mampir Bioskop
Jakarta, 23 Desember 2001 00:37
SEORANG bocah priayi bernama Raden Mas Said tercenung melihat satu keluarga miskin, seluruhnya menderita busung lapar. Merasa prihatin, bocah ini memutuskan turun tangan menolong. Ia diam-diam mengambil sekantong makanan dari lumbung persediaan milik orangtuanya. Sayang, jalan pikiran kaum dewasa tak mampu mencerna niat mulia sang bocah.
Orangtua Raden Mas Said, Tumenggung Wilarikta --petinggi Majapahit di wilayah Tuban-- memergoki aksi itu. Di mata Wilarikta, perbuatan putra sulungnya adalah penjarahan. Itu tak termaafkan. Raden Mas Said pun dihukum sekap di gudang makanan itu. Sejak kejadian itu, Raden Mas Said tak lagi betah di rumah.
Ia terus berkelana dari satu daerah ke daerah lain. Sepanjang perjalanan, Raden Mas Said melihat sendiri betapa banyaknya penyelewengan kekuasaan para lurah, dan betapa tertindasnya rakyat. Tapi, ketika ia melaporkan semua yang dilihatnya kepada sang ayah, sekali lagi dunia tak berpihak padanya. Raden Mas Said justru dituding sebagai sumber fitnah.
Kisah hidup Raden Mas Said ini menjadi pembuka cerita Sunan Kalijaga (1984), film pertama yang mengangkat kisah Wali Songo ke pita seluloid. Dalam film itu dikisahkan, Raden Said akhirnya menjalani hidup sebagai pembegal. Beruntung, ia kemudian berjumpa dengan Sunan Bonang, yang berhasil menginsyafkannya, sekaligus menjadi gurunya.
Dalam versi Sunan Kalijaga, Raden Mas Said diperintahkan melakukan tapa di pinggir kali, hingga Sunan Bonang datang menemuinya. Penantian panjang di tepian kali itu --hingga lumut dan akar tumbuh menyelimuti tubuh-- menyebabkan Raden Mas Said memperoleh nur, cahaya Ilahi. Tapanya bertahun-tahun itu memberinya gelar Sunan Kalijaga.
Sofyan Sharna, sutradara dan penulis skenario Sunan Kalijaga, punya alasan mengapa ia mengambil versi penantian di tepi sungai ini sebagai muasal nama Sunan Kalijaga --dari kata jaga (menjaga) dan kali (sungai). Legenda ini memungkinkan eksploitasi visual lebih ''seru'' ketimbang versi lain asal-usul nama Sunan Kalijaga.
Adegan menunggu bertahun-tahun di tepi kali, dengan lumut, akar, dan tubuh nyaris membatu, memang membuka peluang penggunaan tipuan optik untuk memainkan imaji penonton. Kemungkinan serupa sulit diperoleh dari versi lain asal-usul nama Sunan Kalijaga, yaitu dari nama sebuah desa di Cirebon, tempat ia pernah berdakwah.
Versi ketiga malah cuma menyebut bahwa nama Kalijaga berasal dari bahasa Arab qadi zaka, yang berarti pelaksana dan membersihkan. Oleh lidah Jawa, qadi zaka dipelesetkan menjadi Kalijaga, dimaknai pemimpin yang menegakkan kesucian. Toh, pilihan Sofyan Sharna untuk lebih memanjakan mitos menjaga sungai itu justru bersambut.
Masyarakat menyukai rangkaian legenda demi legenda yang dijahitnya. Menurut data Perfini, pada 1984 itu Sunan Kalijaga menjadi film terlaris nomor dua di Jakarta. Penonton pembeli tiket mencapai jumlah 575.000 lebih. Kabarnya, Sunan Kalijaga menghasilkan pemasukan lebih dari Rp 1 milyar, jumlah uang cukup besar ketika itu.
Dari segi artistik, film ini juga diakui. Sunan Kalijaga tahun itu memperoleh beberapa nominasi untuk meraih Piala Citra, penghargaan tertinggi dalam Festival Film Indonesia. Sofyan Sharna dijagokan mendapat gelar sutradara dan penulis skenario terbaik. Pemeran Sunan Kalijaga, Deddy Mizwar, diunggulkan sebagai pemeran utama pria terbaik.
Zainal Abidin masuk unggulan pemeran pembantu pria terbaik, diikuti Ardi Ahmad untuk penata artistik. Lebih dari itu, Sunan Kalijaga juga termasuk satu dari lima unggulan film terbaik dalam festival film tahunan yang kini tak terdengar lagi gaungnya itu. Walau memperoleh banyak unggulan, Sunan Kalijaga gagal merebut satu pun Piala Citra.
Film ini cuma memperoleh Piala S. Toetoer untuk poster film terbaik, dan Piala Djamaluddin Malik untuk produsernya, PT Tobali Indah, sebagai penghargaan bagi produser idealis. Tapi, walau tanpa Piala Citra, Sunan Kalijaga boleh sedikit berbangga. Ia membuat kisah wali menjadi laku sebagai salah satu genre film Indonesia.
Sebenarnya, jauh sebelum Sunan Kalijaga diproduksi, banyak kalangan telah berniat memfilmkan kisah Wali Songo. Masagung, pengusaha terkemuka yang juga kolektor benda-benda bersejarah Islam, misalnya, malah sudah menetapkan Sjumanjaya --sutradara pemenang beberapa Citra-- sebagai calon penggarap film Wali Songo yang didanainya.
Masagung dan Sjumanjaya sempat mengklaim bertemu para wali dalam mimpi. Sayang, sampai akhir hayatnya, mereka tak kesampaian menggarap film itu. Barulah ketika Sunan Kalijaga sukses, orang film ramai-ramai menggarap tema-tema wali. Pada 1985, setahun setelah produksi Sunan Kalijaga, beberapa film wali menyusul diproduksi.
''Ketika itu, kami lihat trend film yang digemari adalah film agama,'' kata Raam Soraya ketika dihubungi GATRA. Raam pun memutuskan menggarap film Sembilan Wali. ''Film yang sudah ada cuma menceritakan satu wali. Lewat Sembilan Wali, kami ingin film yang lebih lengkap lagi,'' katanya.
Selain Sembilan Wali yang diproduksi Raam Soraya lewat PT Soraya Intercine Films, tahun itu juga ada Sunan Gunung Jati, produksi PT Inem Film. Sementara PT Tobali Indah mengajak PT Empat Gajah Film menyiapkan sekuel Sunan Kalijaga. Film bertajuk Sunan Kalijaga dan Syech Siti Jenar ini kembali digarap oleh Sofyan Sharna.
Cuma, mengulangi sukses Sunan Kalijaga ternyata tak gampang. Lihat saja upaya Raam Soraya. Untuk mewujudkan gagasannya ke pita seluloid, Raam terpaksa menghamburkan dana lebih dari Rp 600 juta. Biaya yang terhitung besar menurut ukuran waktu itu diperlukan karena Raam menginginkan banyak adegan kolosal dalam filmnya.
Raam juga menginginkan banyak nama terkenal bermain sebagai Wali Songo. Ia, misalnya, mengundang Guruh Soekarnoputra sebagai Sunan Muria. Juga ada tokoh Nahdlatul Ulama, Kiai Yusuf Hasjim, yang jadi Sunan Gresik. Penyanyi Alfian sebagai Sunan Gunung Jati, dan penari terkemuka Sardono W. Kusumo sebagai Sunan Kalijaga.
Pada film Sunan Gunung Jati, yang disutradarai Bay Isbahi, tokoh di luar dunia film juga ikut ditarik berperan serta. Abdul Rahman Saleh, bekas Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pusat, diminta memerankan tokoh Sunan Gunung Jati. Pengacara ternama ini dinilai cocok memerankan Sunan Gunung Jati, yang raut wajahnya konon bersegi-segi Arab.
Sayang, walau tampak serius dikerjakan, hampir seluruh film wali itu terjebak pada penekanan sisi action. Sehingga, walau secara verbal mengagungkan dakwah, penggunaan tipuan optik untuk menggambarkan kesaktian tokoh utamanya justru memperoleh porsi berlebih. Kebenaran sejarah tampaknya memang menjadi nomor dua bagi para penggarap kisah wali ini.
''Kita bikin film ini untuk menarik penonton ke gedung bioskop, bukan mengarahkan mereka ke mimbar atau ke masjid,'' kata Djun Saptohadi, sutradara Sembilan Wali, dalam wawancara di buletin Karyawan Film dan Televisi pada 1985. Alim Bachtiar, penulis skenario Sembilan Wali dan Sunan Gunung Jati, mengemukakan alasan senada.
Menurut Alim, pada masa itu, film yang gampang laku adalah film silat dan seks. ''Kalau tak ada bumbunya, tak akan dilihat. Kisah Wali Songo harus dikemas sedemikian rupa biar enak ditonton,'' katanya. Boleh jadi, semangat semacam itulah yang membuat, dalam film-film Indonesia, para wali yang berjumlah sembilan itu bisa-bisanya dipertemukan.
Kesembilan wali Allah itu digambarkan hidup pada zaman yang sama, bercakap serta hadir dalam majelis yang sama. Padahal, ketika Sunan Bonang lahir, misalnya, Sunan Ampel sudah berusia 64 tahun. Catatan sejarah juga menunjukkan bahwa ketika Sunan Gunung Jati lahir, Sunan Gresik --alias Maulana Malik Ibrahim-- sudah wafat 29 tahun sebelumnya.
Ada pula kesulitan lain dalam penggarapan film wali ini: pesan titipan. Djun Saptohadi menceritakan, Departemen Agama meminta ditampilkannya adegan orang naik haji. ''Maksudnya memberitahu bahwa Islam maju,'' kata Djun. Karena tak bisa menolak, pikiran jail pun muncul. Adegan itu diletakkan Djun di buntut film. ''Jadi, orang sudah berdiri pulang, baru ada gambar naik haji,'' katanya.
[Krisnadi Yuliawan dan Mariana Ariestyawati]
[Edisi Khusus Lebaran, Gatra Nomor 05-06 Beredar Kamis, 13 Desember 2001]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar