Raden Saleh dan Revolusi 1848

Raden Saleh dan Revolusi 1848

Raden Saleh dan Revolusi 1848


Jim Supangkat


LUKISAN berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh (1807-1880) menyimpan sejumlah tanda tanya. Lukisan ini diselesaikan tahun 1857, hampir 30 tahun setelah perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830.

Lukisan berukuran kecil ini (100 cm x 150 cm) tidak orisinal karena merupakan salinan (dengan perubahan) lukisan JW Pieneman dengan judul dan ukuran yang kurang lebih sama. Lukisan Pieneman yang "disontek"-dibuat beberapa tahun setelah Perang Diponegoro berakhir-sebagai catatan peristiwa penting dalam sejarah administrasi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Penangkapan Pangeran Diponegoro terkategori peristiwa besar karena Perang Diponegoro adalah perang yang sulit, mahal dan lama (1825-1830). 

Pertanyaannya mengapa Raden Saleh menyalin lukisan Pieneman dan kemudian menghadiahkannya pada Raja Willem III setelah peristiwanya jauh berlalu. Jawaban atas pertanyaan ini bisa direka dengan mula-mula membandingkan lukisan Raden Saleh dan lukisan Pieneman. Kedua lukisan yang memperlihatkan perbedaan interpretasi itu mengambil momen yang persis sama pada penangkapan Pangeran Diponegoro, 28 Maret 1830. Dalam momen ini Pangeran Diponegoro berdiri di serambi kediaman Residen Magelang di mana ia ditangkap. Sebuah kereta Belanda yang akan membawanya ke tahanan disiapkan di hadapan serambi rumah ini. 

Drama dalam lukisan Pieneman maupun Raden Saleh agaknya menggambarkan kejadian yang sebenarnya yaitu perpisahan dramatis Pangeran Diponegoro dengan keluarga dan para pengikutnya yang paling setia.
Dalam lukisan Pieneman (atas kiri) drama itu terlihat menekankan peristiwa menyerahnya Pangeran Diponegoro. Bangsawan pemberontak ini dilukiskan berdiri di hadapan pengikutnya dengan wajah letih dan dengan kedua tangan terbentang. Pasukannya yang berikut di hadapannya dengan senjata (kumpulan tumbak) terhampar merupakan gambaran pasukan kalah perang. Di latar belakang Jenderal De Kock (dalam pose lukisan potret seorang jenderal) berdiri bertolak pinggang menunjuk kereta tahanan seolah memerintahkan penahanan Pangeran Diponegoro. Raden Saleh tampaknya ingin mengoreksi penggambaran itu. Pada lukisan Raden Saleh tidak seorang pun pengikut Pangeran Diponegoro membawa senjata. Seperti Pieneman, Raden Saleh juga tidak melukiskan keris terselip di pinggang Pangeran Diponegoro yang merupakan ciri khas penampilan bangsawan panatagama ini. Koreksi ini menunjuk kenyataan peristiwa 28 Maret 1830 itu terjadi pada bulan Ramadhan. 

Makna koreksi itu, Pangeran Diponegoro bersama keluarga dan pengikutnya datang ke Magelang dengan niat baik. Dalam bulan puasa muslimin dan muslimah diharuskan mempercayai niat baik orang lain dan tidak bercuriga. 

Sejarah menunjukkan pertemuan Pangeran Diponegoro dan Jenderal De Kock di kediaman Residen Magelang di kaki bukit Menoreh itu sebenarnya bertujuan merundingkan penyelesaian perang. Namun perundingan ini gagal dan Pangeran Diponegoro ditangkap dengan mudah karena Jenderal De Kock tahu pasukan Pangeran Diponegoro tidak siap berperang pada bulan Ramadhan.
Lukisan Raden Saleh yang selesai tahun 1857 itu bukan satu-satunya sumber untuk menilai niat Raden Saleh mengoreksi lukisan Pieneman. Raden Saleh membuat pula sebuah sketsa yang merupakan bagan lukisan ini. Sketsa ini ditemukan dalam bentuk cetakan dengan teknik etsa (atas kanan). 

Dalam sketsa ini Raden Saleh menggambarkan Pangeran Diponegoro bertolak pinggang sambil menenangkan istrinya yang bersujud di lututnya. Di sisinya Jenderal De Kock yang sedang mempersilakan Pangeran Diponegoro memasuki kereta tahanan, tampak ragu. Jenderal ini digambarkan Raden Saleh menatap Pangeran Diponegoro dengan wajah cemas. 

Bagian-bagian penting dalam sketsa itu diubah dalam lukisan. Dalam lukisan Pangeran Diponegoro tidak bertolak pinggang kendati berdiri dalam pose siaga yang tegang. Wajahnya yang memperlihatkan watak keras dilukiskan menahan rasa marah, sementara tangan kirinya yang mengepal menggenggam tasbih.
Gambaran ini bisa ditafsirkan sebagai upaya seorang muslimin menahan marah agar puasanya tak batal. Jenderal De Kock di sisinya, seperti dalam sketsa mempersilakan Pangeran Diponegoro memasuki kereta tahanan, namun wajahnya (kembali seperti lukisan Potret) tidak cemas. 

Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro itu menunjukkan Raden Saleh yang berstatus pelukis Kerajaan Belanda, berpihak pada pemberontakan menentang Pemerintah Hindia Belanda. Sikap ini fenomenal karena semua pemberontakan pada masa itu berkaitan dengan berbagai kepentingan lokal.
Sebagai pelukis kerajaan yang kaya dan dihormati pemerintah Hindia Belanda, Raden Saleh tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Sikap kritisnya pada politik represif Hindia Belanda lebih didasarkan pada kesadaran. Terkesan kuat Raden Saleh percaya pada idealisme kebebasan dan kemerdekaan dan karena itu ia menentang penindasan. Ia secara berjarak menilai pemberontakan Pangeran Diponegoro dan kemudian menentukan sikap. 

KESADARAN yang mendasari sikap Raden Saleh itu menunjukkan ia seorang di antara sangat sedikit pribumi yang pada masa itu memasuki alam pemikiran modern. Raden Saleh (generasi penyair Ronggowarsito) tidak hanya menyerap pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk mengamati realitas yang dihadapinya. 

Pada Abad ke-19 embrio pemikiran modern-dalam lingkup dunia-mulai menjadi jelas. Sebelumnya, pada Abad ke-18 pemikiran modern ini belum bisa dipisahkan dari perkembangan pemikiran Barat pasca-pencerahan. 

Dalam narasi bangsa, benang merah kemunculan Bangsa Indonesia lebih umum dilihat sebagai menyatunya pemberontakan pada pemerintah kolonial yang tercermin pada perang sporadik di berbagai daerah. Benang merah yang hampir tak pernah diamati ialah berkembangnya kesadaran berbangsa yang berawal pada identifikasi diri dalam alam pemikiran modern (berakar pada pertanyaan, siapa aku?). 

Dalam narasi bangsa, kesadaran ini muncul pada awal Abad ke-20 dengan lahirnya gerakan nasionalis (perkumpulan Boedi Oetomo). Pandangan Raden Saleh yang tercermin pada lukisan-lukisannya adalah fakta tersembunyi yang menunjukkan kesadaran ini ternyata sudah muncul pada Abad ke-19. 

Dibandingkan lukisan Pieneman yang terkesan sekadar dokumentasi, lukisan Raden Saleh memperlihatkan keyakinan Romantisme (berkembang di Eropa pada awal Abad ke-19). Lukisan berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro melukiskan titik kritis pada akhir sebuah perlawanan menghadapi politik tirani.
Lukisan ini dapat dibandingkan dengan lukisan terkenal Romantisis Francisco Goya, The Third of May (1815) yang melukiskan saat-saat terakhir seorang petani yang melawan kekuasaan monarkhi Spanyol. Petani ini menghadapi regu tembak dalam sebuah pelaksanaan hukuman mati. Ia tidak cemas. Ia dilukiskan Goya mengacungkan tinju dan dengan bersemangat meneriakkan keyakinan tentang kebebasan. 

Romantisisme yang berkembang ketika Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis (1844-1851) sering disebut sebagai "anak" Revolusi Perancis yang sebenarnya dalam membawa kebebasan dan kedaulatan rakyat. Kecenderungan ini menentang paham Neo Klasik yang kendati mendapat "cap resmi" Revolusi Perancis, sebenarnya terjebak pada pemujaan Dinasti Napoleon. Sejarah menunjukkan Romantisisme memang salah satu tanda Revolusi Perancis kedua (1848) yang sesungguhnya meletakkan dasar-dasar demokrasi. 

Ciri Romantisisme yang tampak juga pada lukisan-lukisan Raden Saleh mengandung paradoks: penggambaran keagungan sekaligus kekejaman, representasi harapan (religiositas) sekaligus representasi ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis-pelukis Gericault dan Delacroix ini diungkapkan melalui suasana dramatis yang menakutkan, lukisan kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis di antara hidup dan mati. 

Lukisan-lukisan terkenal Raden Saleh-antara lain Di Antara Hidup dan Mati (1848)-dengan jelas memperlihatkan ekspresi ini. Kenyataan ini menandakan Raden Saleh seorang Romantisis dan bukan pelukis yang sekadar menerapkan teknik dan corak visual Romantisisme. 

Tidak pernah terungkap apakah "komunikasi intelektual" antara Raden Saleh dan Raja Willem III melalui lukisan Pangeran Diponegoro, sesungguhnya terjadi. Tidak pernah diteliti apakah Raja Willem III menangkap kritik tersembunyi pada lukisan ini. Berbagai analisis sejarah menunjukkan Kerajaan Belanda pada Abad ke-19 tidak sesungguhnya menyadari politik represif pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kerajaan Belanda hanya memperhitungkan keuntungan yang didapat dari daerah-daerah koloni dan tidak terlalu peduli bagaimana keuntungan ini didapat. 

Kecil kemungkinan Raja Belanda tahu, Raden Saleh sebenarnya dicurigai "departemen keamanan" Hindia Belanda. Pelukis ini pernah diminta pemerintah kolonial membuat klarifikasi tidak terlihat pemberontakan di Jawa Tengah. Dalam sejumlah dokumen tercatat kecurigaan ini pula yang membuat ia dikirim ke Belanda pada tahun 1829-di tengah berkecamuknya Perang Diponegoro-untuk memperdalam seni lukis. 

Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1839 Raden Saleh dikirim dari Belanda ke Perancis. Namun ia melarikan diri. Ia tidak berangkat ke Perancis melainkan pergi ke Jerman dan bersembunyi di Dresden. Pada tahun 1844 persembunyiannya diketahui dan ia dipaksa berangkat ke Perancis. Raden Saleh kemudian tinggal di Perancis sampai tahun 1851. 

Kehidupan Raden Saleh di Jerman yang tidak tercatat dalam dokumen Hindia Belanda menampilkan pandangan-pandangan Raden Saleh. Dalam dokumen Hindia Belanda catatan tentang Raden Saleh tidak terlalu berarti. Bagian yang terbanyak pada catatan ini, permintaan kenaikan tunjangan. 

Di Jerman Raden Saleh dihormati sebagai pelukis Kerajaan Belanda dan karena itu pandangan-pandangannya dicatat. Namun dokumen-dokumen tentang Raden Saleh ini-di antaranya catatan setebal 300 halaman-tercerai-berai ketika pasukan Rusia menyerang Jerman pada Perang Dunia II dan mengangkut isi berbagai museum. 

Sebagian dokumen Raden Saleh masih tersimpan di Rusia sampai kini (tercatat seorang sarjana Rusia menulis disertasi tentang Raden Saleh). Karya-karya yang dibuatnya ketika tinggal di Jerman (dalam bentuk sketsa, etsa, dan lukisan) sudah diketahui berada di sebuah museum di Kota Riga, Lithuania. 

Dari catatan lepas yang ditemukan di Jerman terungkap pada tahun 1847, Raden Saleh mengemukakan, "Masyarakat Jerman membuat saya memahami apa sebenarnya peradaban dan kebudayaan Eropa yang tinggi. Saya sadar betapa sederhananya tingkat kehidupan masyarakat saya." 

Pernyataan ini menunjukkan kepeduliannya pada nasib masyarakat Jawa yang dijajah Belanda dan para bangsawan. "Masyarakat saya" dalam pernyataan Raden Saleh sudah tentu bukan masyarakat kolonial Belanda dan bukan masyarakat bangsawan. 

Sikap menentang penindasan seperti terlihat pada lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro tercermin pada pandangannya ketika Duchess of Kent (ibunda Ratu Victoria) mencoba mengkristenkannya. Raden Saleh menjawab, "Bagaimana saya bisa menjadi Kristen ketika banyak kekejian dilakukan penganut agama ini." 

Catatan lain, sebuah manifes pelayaran yang dicatat syahbandar Makassar pada tahun 1851 menunjukkan di antara barang-barang pribadi Raden Saleh dalam perjalanan pulang ke Hindia Belanda terdapat sepucuk pistol dan sebuah buku berjudul Revolution de 1848

Jim Supangkat kurator senirupa independen.

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya