Virus Bernama Musik - Purwanto Setiadi

Blog - Yahoo! Indonesia Omg!

Menarik untuk disimak.
-------------------

Ada bagusnya bila sesekali kita duduk santai, melepas segala galau, jika ada, lalu bertanya pada diri sendiri bagaimana kita memandang musik dalam hidup kita. Seorang kenalan, barangkali sesudah melakukan hal itu, menuliskan status di Facebook-nya: “Music is a virus. Once infected, you are a lifetime victim.”

Musik adalah virus. Dia mengutip seseorang yang jati dirinya tak terlalu penting. Tapi metafora itu begitu pas. Betapa persis. Buat saya, tak masalah jika di antara kita ada yang sulit bisa menerima atau menganggapnya sebagai kebenaran, barangkali karena merasa tak termasuk penggemar musik. Yang jelas saya tahu ada banyak orang yang menjadi “korban selama hayat” itu, diakui atau tidak. Saya termasuk di antara mereka.

Bagaimana “virus” itu pertama kali menyusup ke dalam diri kita?
Pengalaman saya sesungguhnya tak jauh berbeda dengan siapa saja yang kebetulan saya kenal: selalu pada saat memasuki apa yang dalam siklus kehidupan manusia biasa dikenal sebagai formative years, masa di antara keadaan puber dan dewasa. Ini wajar. Pada masa-masa itu benak seseorang boleh dibilang bagaikan spons dan bank memori bagi apa saja yang masuk --permisi maupun menyelonong begitu saja --melalui telinga dan penglihatan. Sesuatu yang begitu di dalam seolah telah membunyikan bel personal, itulah yang akan meninggalkan jejak hingga bertahun-tahun kemudian.

Seperti itulah kesan saya pada musik yang saya dengarkan suatu hari pada 1976. Ini bukan kontak pertama saya dengan musik, sebenarnya; saya sudah ikut menguping rekaman-rekaman oldies dan jazz milik ayah saya. Ketika itu, begitu ada perangkat stereo di rumah, saya segera menjadi akrab dengan Matt Monroe, Petula Clark, The Everly Brothers, Frank Sinatra.... dan masih panjang daftarnya. Menyenangkan, hanya tak ada yang menimbulkan kesan luar biasa. Tapi ketika akhirnya, hari itu, saya berkesempatan mencoba Wish You Were Here (Pink Floyd) dan E.C.
...masih saja ada kalangan yang merasa musik, genre tertentu, bisa berpengaruh buruk.

Were Here (Eric Clapton), demikianlah, seperti kata iklan, “kutahu yang kumau”. Dan sejak itu saya punya banyak momen serupa.

Andaikan saya bisa seperti Nick Hornby. Pengarang laris dari Inggris ini menuliskan pengalamannya dengan musik --impresi dan apa yang dipikirkannya, juga hubungannya dengan orang-orang --ke dalam sejumlah esai, juga sebuah novel berjudul High Fidelity. Khusus dalam esai-esainya, dia berfokus pada lagu-lagu yang membuatnya begitu terkesan. Kumpulannya diterbitkan menjadi buku berjudul Songbook (di Inggris digunakan judul 31 Songs). Seperti buku-bukunya yang lain (Fever Pitch, High Fidelity, About a Boy), dia menulis seolah sedang menumpahkan rasa cinta yang luar biasa besar. Dan dia tahu betul apa yang ditulisnya: dia menyajikan segala hal dengan riang dan mencerahkan.

Momen-momen yang saya, Nick, juga orang-orang lain alami jelas bukan sesuatu yang menyakitkan; tidak ada akibat sebagaimana yang harus ditanggung orang yang keracunan. Atau bahkan berbagai efek buruk. Paling-paling betapa cepat duit di dalam dompet terkuras. Mestinya orang tak perlu khawatir.

Khawatir? Ya, bagaimanapun masih saja ada kalangan yang merasa musik, genre tertentu, bisa berpengaruh buruk. Misalnya rap, yang dianggap bertanggung jawab menjadikan banyak remaja terjerumus ikut-ikutan mengglorifikasikan geng, narkoba, dan seks. Atau heavy metal, yang dituding merasuki pikiran penggemarnya dengan hal-hal yang sama dengan rap, dan bahkan gagasan tentang pemujaan terhadap setan.

Tentang hal itu, di satu forum diskusi di Internet, seseorang berkelakar menulis begini: “Aku menyantap anak kecil dan menendang anak anjing karena heavy metal. Aku sama sekali tak bisa mengontrol diriku. Musik memaksaku untuk itu....”

Yang hendak dia kemukakan sesungguhnya adalah betapa menggelikannya tudingan bahwa musik menyebabkan seseorang melakukan sesuatu...kejahatan. “Jika satu lagu berbicara tentang pembantaian terhadap orang tak bersalah, saya tak akan beranjak dan membunuh orang pertama yang saya jumpai,” dia menulis. Yang paling mungkin terjadi, menurut dia, adalah emosi terpengaruh sesaat, tak lebih. Misalnya, ketika mendengarkan Kitaro, kita merasa tenang dan damai. Atau, ketika mendengarkan Arch Enemy, kita merasa adrenalin seperti dipompa.

Dengan kata lain, sebenarnya, kita jugalah yang menjadi penentu; kita, dengan pikiran yang waras, tentu bisa membedakan mana yang patut dan mana yang sebaliknya, yang benar dan yang salah. Saya kenal banyak orang yang sama sekali jauh dari kesan keliru yang sudah telanjur diyakini sebagai kebenaran mengenai penggemar metal kategori ekstrem.
Mereka justru adalah orang-orang yang ramah, penuh kegembiraan, dan kreatif. Dan mereka tetap menyandang virus bernama musik. Mereka adalah korban sepanjang hidup.

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya