Pasar Seni Ancol, 25 tahun yang silam. Ia berjalan gagah di atas panggung sambil memboyong gitar bolong dan harmonika. Ratusan penonton di sekeliling panggung berteriak-teriak memanggil namanya. Ia tidak peduli – atau karena memang tidak pintar berbasa-basi – langsung menyanyikan “Siang Seberang Istana”, jauh sebelum lagu itu dinaikkan ke pita kaset. Penonton terdiam dan khusyu menyimak. Maklum, lagu baru di telinganya.
Usai lagu pertama, penonton berteriak-teriak, “Umar Bakri, Umar Bakri, Umar Bakri!” Lagu fenomenal tentang nasib Pak Guru tua yang nasibnya “senin- kamis” itu memang memiliki daya hipnotis nan dasyat. Hingga, nama sang penyanyi selalu didekatkan dengan judul lagu itu. Ia sadar akan maunya penonton.
“Tapi, yang di kaset sudah disensor.Men din g lagu lain yang lebih panas, belum disunat produser,” katanya tergagap-gagap. Penonton bersorak. Inilah keperkasaan sang penyanyi. Semua sama-sama sadar, daya tariknya adalah melalui lagu-lagu kritik sosial semacam itu. Maka, melodi “Guru Oemar Bakrie” pun mengalun dengan tokoh dalan lirik itu yang berganti menjadi Umar Macmud – maksudnya, Amir Machmud yang saat itu menjabat Ketua MPR/DPR. Kritik keras tanpa kendali meluncur dari mulutnya. Penonton makin kegirangan, berjingkrak-jingkrak, dan berteriak histeris. Ia makin asyik dan terus tak terkendali…
Seperti juga remaja lain yang rindu energi segar tentang perubahan di negara ini, saya termasuk penggila berat sang penyanyi. Selain mengoleksi kaset-kasetnya, mengkliping berita-berita dan gambar tentangnya lantas menempelnya di pintu kamar, saya juga rajin memburu tempat-tempatnya manggung. Saat itu saya begitu yakin, kekuatan lagu memang mampu menghadirkan spirit bagi pendengarnya. Bahkan, “kegilaan” seperti sang penyanyi!
Selang beberapa tahun, saya berjumpa kembali dengan sang idola saat sama-sama mendengarkan uraian Dosen Filsafat Komunikasi di Kampus Tercinta Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (IISIP). Sebenarnya, ia terdaftar sebagai mahasiswa sejak kampus itu bernama Sekolah Tinggi Publisistik. Lalu ia cuti dan kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Meski ia telah menjadi teman kuliah, toh kekuatan kharismanya tak pernah luntur di mata saya. Saya tetap kagum dan mengindolakannya.
Ketika ia menyanyikan lagi “Biarkan Indonesia tanpa Koran” di ultah kampus pada 1986, saya duduk tertib dan menyimaknya hingga habis sambil menahan nafas. Ratusan teman-teman yang lain juga bersikap sama. Ia memang perkasa.
# Penguasa sekarang mudah marah
# Berkata selaksa manusia yang resah
# Kedengar dari balik rumpun bambu
# Sedikitpun mereka tak mau diganggu
# Pada malam September delapan enam
# Berita Radius Prawiro bikin geram
# Empat puluh lima persen yang hilang
# Rupiah yang kita cinta berjalan pincang
Kini, semua hal tentangnya bisa didapat di mana-mana. DVD, VCD, CD, berlembar-lembar halaman cerita dan fotonya tercetak di berbagai media dan dunia maya. Setiap penggemarnya juga bisa menjabaterat tangannya di rumahnya di kawasan Leuwinanggung. Bahkan, sambil bermusik bersama-sama.
Popularitas sudah lama digenggamnya. Ia pernah dinobatkan sebagai Pahlawan Asia oleh MajalahTim e pada 2002. Predikat legenda juga disematkan berbagai komunitas atas dedikasinya terhadap dunia musik. Sejumlah parpol tanpa malu-malu mencoba menggandengnya. Singkatnya, Indonesia memang
tengah ada di genggamannya.
Tapi, ia tetap saja hadir dengan kesederhanaan berpikir, kalimat yang tergagap-gagap, sorot mata nan tajam, namun lantang saat memboyong gitar dan harmonika. Nuansa “bleching” di rambut dan kumis menguatkan bukti, ia memang tak muda lagi. Usianya mendekati 50. Hal itu juga yang menyadarkan saya, ternyata saya pun memiliki simbol-simbol “peringatan kematian” itu. Usia saya dengannya terpaut enam tahun. Artinya, saya pun bukan lagi remaja yang dulu tidak pernah punya malu untuk menyanyikan lagu-lagunya di pinggir jalan atau di dalam kamar. Atau, terkagum-kagum membaca setiap potongan artikel tentangnya yang ditempel di pintu kamar.
Yang pasti, kekaguman itu tak pernah luntur, meski ia sering bereksperimen dengan warna musik. Saya tetap menyukai setiap lagunya yang dimusiki Willy Soemantri, Bagoes A Ariyanto, Ian Antono, Billy J Budiarjo, Iwang Noersaid, atau kelompok bandnya yang sekarang. Saya juga tidak pernah mengubris, ia menjadi begitu “cengeng” dan “murahan” untuk menyanyikan lagu-lagu musisi baru. Bahkan, saya hanya tersenyum-senyum menyaksikannya memakai kemeja dan jas saat mendampingi Pasha Ungu di sebuah stasiun televisi swasta. Sedotan harmonika dan tarikan suaranya sudah memberikan label, ia tetaplah sang Perkasa itu.
Ia memang tidak muda lagi. Ia bukan lagi bocah kecil yang suka menangis ketika mendengar suara adzan. Entah, apa ia masih suka menangis bila melihat kejadian-kejadian tragis di depan matanya? Saya sangat yakin, uraian air mata itulah yang membuatnya peka untuk merekam setiap peristiwa di belahan Bumi Pertiwi ini. Ia juga tidak lagi mengamen dari tenda-tenda di Blok M dan berkumpul bersama pengamen KPJ lainnya.
Tapi, ia juga tidak bergabung dengan bapak-bapak terhormat di Gedung MPR/DPR Senayan atau kabinet. Namanya tidak masuk dalam daftar calon legislatif, calon lurah atau presiden, atau Ketua PSSI (padahal ia penggila sepak bola). Ia tetap membuat lagu dan bernyanyi. Pekerjaan tambahannya, bisa saja tetap rajin mengaji (seperti lagu “Doa” dalam album “Kupu-Kupu Hitam Putih”)
dan menemani para penggila-penggila yang menyebutnya PAHLAWAN. Konsistensinya berpikir dan pilihan hidup yang membuat saya akan terus memujanya sebagai PAHLAWAN. Bahkan, saya yakin, teman-teman yang tergabung dalam organisasi Orang Indonesia dan penggila terbarunya akan sepakat untuk menempatkannya sebagai PAHLAWAN – tanpa alasan bertele- tele, ketika ia konsisten dengan hidup untuk pilihan hatinya. Artinya, tanpa terpikir, untuk tiba-tiba banting stir dan memasuki ruang lain yang belum jelas bentuknya.
Dulu, saya menyukainya, karena merasa memiliki figur sehati dan mampu menyuarakan isi hati yang tersumbat. Sekarang, sepertinya suasana itu tidak pernah menjadi nostalgia. Tapi, tetap membekas tanpa lekang oleh rambut dan kumis yang memutih. Karena itu, kelak ketika Yang Mahahidup memanggilnya, saya tidak akan pernah mempersalahkan kematiannya; syahid atau tidak? Khusnul khotimah atau su’ul khotimah? Karena, saya tidak pernah menakar-nakar dengan filter apa pun masalah kepahlawanannya. Karena, penilaian itu murni dari dalam hati. Tanpa, paksaan atau dorongan pihak mana pun.
Ketika kegilaan itu terus meraja, saya tidak pernah lagi mengingat keindahan lagu-lagu John Denver, kedasyatan musik Phil Collins, atau kejelitaan Andrea Jane Corr. Saya juga tidak akan menggubris bila ada sebagian dari kita memiliki pahlawan-pahlawan lain, entah Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Jalaluddin Rakhmat, Emha Ainun Nadjib, Bambang Pamungkas, Cris John, Mbah Marijan, Ki Gendeng Pamungkas, Habib Rizieq Shihab, atau Amrozi. Itu kan pilihan anda. Buat saya, my hero is IWAN FALS! []
Komentar pembaca bisa diunduh di:
http://blog.liputan6.com/2008/11/10/iwan-fals-sang-perkasa
Sumber : http://www.scribd.com/doc/24054610/Iwan-Fals-is-My-Hero
Tidak ada komentar:
Posting Komentar