Situs Makam Ki Ageng Giring Makam Ki Ageng Giring III merupakan makam pepunden Mataram yang diyakini oleh sementara masyarakat sebagai penerima wahyu Karaton Mataram. Makam kuna itu terletak di Desa Sada, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul, atau sekitar 6 kilometer ke arah barat daya dari kota Wanasari. Menurut Mas Ngabehi Surakso Fajarudin yang menjabat jurukunci makam Giring, disebutkan bahwa Ki Ageng Giring adalah salah seorang keturunan Brawijaya IV dari Retna Mundri, yang hidup pada abad XVI. Dari perkawinannya dengan Nyi Talang Warih melahirkan dua orang anak, yaitu Rara Lembayung dan Ki Ageng Wanakusuma yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV. Pencarian wahyu Keraton Mataram itu konon atas petunjuk Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Giring disuruh menanam sepet (sabut kelapa kering), yang kemudian tumbuh menjadi pohon kelapa yang menghasilkan degan (buah kelapa muda). Sedangkan Ki Ageng Pemanahan melakukan tirakat di Kembang Semampir (Kembang Lampir), Panggang, Gunung Kidul. Menurut wisik 'bisikan gaib' yang didapat, air degan milik Ki Ageng Giring itu harus diminum saendhegan (sekaligus habis) agar kelak dapat menurunkan raja. Oleh karenanya Ki Ageng Giring berjalan-jalan ke ladang terlebih dulu agar kehausan sehingga dengan demikian ia bisa menghabiskan air degan tersebut dengan sekali minum (saendhegan). Namun sayang, ketika Ki Ageng Giring sedang di ladang, Ki Ageng Pemanahan yang baru pulang dari bertapa di Kembang Lampir singgah di rumahnya, dalam keadaan haus ia meminum air kelapa muda itu sampai habis dengan sekali minum. Betapa kecewa dan masygulnya perasaan Ki Ageng Giring melihat kenyataan itu sehingga dia hanya bisa pasrah, namun ia menyampaikan maksud kepada Ki Ageng Pemanahan agar salah seorang anak turunnya kelak bisa turut menjadi raja di Mataram. Dari musyawarah diperoleh kesepakatan bahwa keturunan Ki Ageng Giring akan diberi kesempatan menjadi raja tanah Jawa pada keturunan yang ke tujuh. Versi lain menyebutkan bahwa Ki Ageng Giring ketika tirakat memperoleh Wahyu Mataram di Kali Gowang. Istilah gowang konon berasal dari suasana batin yang kecewa (gowang) karena gagal meminum air degan oleh karena telah kedahuluan Ki Ageng Pemanahan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kesempatan menjadi raja Mataram pupus sudah, tinggal harapan panjang yang barangkali bisa dinikmati pada generasi ke tujuh. Hal itu berarti setelah keturunan Ki Ageng Pemanahan yang ke-6, atau menginjak yang ke-7, ada kemungkinan bagi keturunan Ki Ageng Giring untuk menjadi raja. Apakah Pangeran Puger menjadi raja setelah 6 keturunan dari Pemanahan ? Kita lihat silsilah di bawah ini. Puger menjadi raja Mataram setelah mengalahkan Amangkurat III. Jika angka 6 dianggap perhitungan kurang wajar, yang wajar adalah 7, maka dapat dihitung Raden Mas Martapura yang bertahta sekejap sebelum tahtanya diserahkan ke Raden Mas Rangsang (Sultan Agung). Jadi pergantian keluarga berlangsung setelah 7 raja keturunan Ki Ageng Pemanahan. Bukti bahwa Puger memang keturunan Giring dapat dilihat dalam Babad Nitik Sultan Agung. Babad ini menceritakan bahwa pada suatu ketika parameswari Amangkurat I, Ratu Labuhan, melahirkan seorang bayi yang cacat. Bersamaan dengan itu isteri Pangeran Arya Wiramanggala, keturunan Kajoran, yang merupakan keturunan Giring, melahirkan seorang bayi yang sehat dan tampan. Amangkurat mengenal Panembahan Kajoran sebagai seorang pendeta yang sakti dan dapat menyembuhkan orang sakit. Oleh karena itu puteranya yang cacat dibawa ke Kajoran untuk dimintakan penyembuhannya. Kajoran merasa bahwa inilah kesempatan yang baik untuk merajakan keturunannya. Dengan cerdiknya bayi anak Wiramanggala-lah yang dikembalikan ke Amangkurat I (ditukar) dengan menyatakan bahwa upaya penyembuhannya berhasil. Sudah ditakdirkan bahwa Amangkurat III, putera pengganti Amangkuat II berwatak dan bernasib jelek Terbukalah jalan bagi Pangran Puger untuk merebut tahta. Sumber lain menceritakan silsilah Puger sebagai berikut: Dengan demikian, benarlah bahwa pada urutan keturunan yang ke-7 keturunan Ki Ageng Giring-lah yang menjadi raja, meskipun silsilah itu diambil dari garis perempuan. Namun ini cukup menjadi dalih bahwa Puger alias Paku Buwana I adalah raja yang berdarah Giring. PINTU GERBANG: Inilah pintu gerbang kompleks makam Ki Ageng Giring III di Desa Sada, Paliyan, Gunung Kidul. Makam ini selalu ramai dikunjungi peziarah pada malam Jumat, khususnya malam Jumat Kliwon. PINTU MASUK KEDUA: Setelah para peziarah memasuki pintu gerbang, mereka akan melewati makam para pengikut Ki Ageng Giring yang berada di luar tembok. Makam Ki Ageng Giring sendiri berada di dalam tembok yang dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Para peziarah dilarang memakai alas kaki jika memasuki kompleks ini. BATU NISAN: Di sinilah Ki Ageng Giring III dimakamkan. Para peziarah dilarang mendekati batu nisan, mereka hanya diperbolehkan berdoa di luar ruangan cungkup. Pada umumnya para peziarah memohon agar diberi pangkat dan derajat. KOMPLEKS MAKAM KI AGENG SUKADANA: Sekitar 2 kilometer arah tenggara Makam Ki Ageng Giring III terdapat kompleks makam Ki Ageng Sukadana. Oleh sebagian penduduk, Ki Ageng Sukadana diyakini sebagai nama lain dari Ki Ageng Giring II atau ayah dari Ki Ageng Giring III. Berbeda dengan makam Ki Ageng Giring III, makam ini terlihat tidak terawat. Cungkup Ki Sukadana terletak paling ujung. BATU NISAN KI SUKADANA: Sama dengan Ki Ageng Giring III, makam ini selalu ramai dikunjungi para peziarah. Di tempat ini peziarah diperbolehkan masuk cungkup dan berdoa di sisi batu nisan. SENDANG PITUTUR: Sendang ini terdapat di utara (sekitar 3 kilometer) dari makam Ki Ageng Sukadana. Menurut legenda penduduk setempat, sendang ini sering dipakai mandi Ki Ageng Sukadana ketika ia masih hidup. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar