R. Ng. Ronggowarsito : Serat Sabdo Jati

SERAT SABDO JATI

Megatruh
1. Hawya pegat ngudiya RONGing budyayu, MarGAne suka basuki, Dimen luWAR kang kinayun, Kalising panggawe SIsip, Ingkang TAberi prihatos

    Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan, agar mendapat kegembiraan serta keselamatan serta tercapai segala cita-cita, terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar prihatin.

2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh, Galedehan kang sayekti, Talitinen awya kleru, Larasen sajroning ati, Tumanggap dimen tumanggon

    Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama, intropeksi, telitilah jangan sampai salah, endapkan didalam hati, agar mudah menanggapi sesuatu.

3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu, Angayomi ing tyas wening, Eninging ati kang suwung, Nanging sejatining isi, Isine cipta sayektos

    Dapatnya demikian kalau senantiasa mendambakan kebaikan, mengendapkan pikiran, dalam mawas diri sehingga seolah-olah hati ini kosong namun sebenarnya akan menemukan cipta yang sejati.

4. Lakonana klawan sabaraning kalbu, Lamun obah niniwasi, Kasusupan setan gundhul, Ambebidung nggawa kendhi, Isine rupiah kethon

    Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran. Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan) akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul, yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.

5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu, Dadi panggonaning iblis, Mlebu mring alam pakewuh, Ewuh mring pananing ati, Temah wuru kabesturon

    Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan, sudah jelas akan menjadi sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, kerepotan-kerepotan, tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik, seolah-olah mabuk kepayang.

6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu, Hayuning tyas sipat kuping, Kinepung panggawe rusuh, Lali pasihaning Gusti, Ginuntingan dening Hyang Manon

    Bila sudah terlanjur demikian tidak tertarik terhadap perbuatan yang menuju kepada kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya, sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek. Sudah melupakan Tuhannya. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping.

7. Parandene kabeh kang samya andulu, Ulap kalilipen wedhi, Akeh ingkang padha sujut, Kinira yen Jabaranil, Kautus dening Hyang Manon

    Namun demikian yang melihat, bagaikan matanya kemasukan pasir, tidak dapat membedakan yang baik dan yang jahat, sehingga yang jahat disukai dianggap utusan Tuhan.

8. Yeng kang uning marang sejatining dawuh, Kewuhan sajroning ati, Yen tiniru ora urus, Uripe kaesi-esi, Yen niruwa dadi asor

    Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya repot didalam pikiran melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan tercela akhirnya menjadi sengsara.

9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, Anggelar sakalir-kalir, Kalamun temen tinemu, Kabegjane anekani, Kamurahane Hyang Manon

    Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan langit, siapa yang berusaha dengan setekun - tekunnya akan mendapatkan kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.

10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun, Yen temen-temen sayekti, Dewa aparing pitulung Nora kurang sandhang bukti, Saciptanira kelakon

    Segala permintaan umatNya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati. Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.

11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur, Saka pengunahing Widi, Ambuka warananipun, Aling-aling kang ngalingi, Angilang satemah katon

    Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung yang termasuk rahasia Tuhan, sehingga dapat diketahui.

12. Para jalma sajroning jaman pakewuh, Sudranira andadi, Rahurune saya ndarung, Keh tyas mirong murang margi, Kasekten wus nora katon

    Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan, cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela, makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan diatas riil kebenaran, keagungan jiwa sudah tidak tampak.

13. Katuwane winawas dahat matrenyuh, Kenyaming sasmita sayekti, Sanityasa tyas malatkunt, Kongas welase kepati, Sulaking jaman prihatos

    Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin, merasakan ramalan tersebut, senantiasa merenung diri melihat jaman penuh keprihatinan tersebut.

14. Waluyane benjang lamun ana wiku, Memuji ngesthi sawiji, Sabuk tebu lir majenum, Galibedan tudang tuding, Anacahken sakehing wong

    Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877 (Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun Masehi 1945). Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila, hilir mudik menunjuk kian kemari, menghitung banyaknya orang.

15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu, Kala Suba kang gumanti, Wong cilik bisa gumuyu, Nora kurang sandhang bukti, Sedyane kabeh kelakon

    Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba. Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan makan seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.

16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput, Mulur lir benang tinarik, Nanging kaseranging ngumur, Andungkap kasidan jati, Mulih mring jatining enggon

    Sayang sekali "pengelihatan" Sang Pujangga belum sampai selesai, bagaikan menarik benang dari ikatannya. Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.

17.Amung kurang wolung ari kang kadulu, Tamating pati patitis, Wus katon neng lokil makpul, Angumpul ing madya ari, Amerengi Sri Budha Pon

    Yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi, sudah sampai waktunya, kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.

18. Tanggal kaping lima antarane luhur, Selaning tahun Jimakir, Taluhu marjayeng janggur, Sengara winduning pati, Netepi ngumpul sak enggon

    Tanggal 5 bulan Sela (Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu, Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873) kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.

19. Cinitra ri budha kaping wolulikur, Sawal ing tahun Jimakir, Candraning warsa pinetung, Sembah mekswa pejangga ji, Ki Pujangga pamit layoti

    Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802. (Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1) bertepatan dengan tahun masehi 1873).

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya