Praja Mangkunagaran (atau Mangkunegaran) dibentuk berdasarkan Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada tahun 1757 sebagai solusi atas perlawanan yang dilakukan Raden Mas Said (atau Pangeran Sambernyawa, kelak menjadi Mangkunagara I) terhadap Sunan Pakubuwana III. Raden Mas Said mendapat wilayah yang mencakup sebagian dari bekas Mataram sisi sebelah timur, berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755). Jumlah wilayah ini secara relatif adalah 49% wilayah Kasunanan Surakarta setelah tahun 1830 pada berakhirnya Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Wilayah itu kini mencakup bagian utara Kota Surakarta (Kecamatan Banjarsari, Surakarta), seluruh wilayah Kabupaten Karanganyar, seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri, dan sebagian dari wilayah Kecamatan Ngawen, Gunung Kidul.
Penguasa Mangkunegaran, berdasarkan perjanjian pembentukannya, berhak menyandang gelar Pangeran (secara formal disebut Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya, mirip dengan Fürst di Jerman) tetapi tidak berhak menyandang gelar Sunan atau pun Sultan. Status yang berbeda ini tercermin dalam beberapa tradisi yang masih berlaku hingga sekarang, seperti jumlah penari bedaya yang tujuh, bukan sembilan seperti pada Kasunanan Surakarta. Setelah kemerdekaan Indonesia, Mangkunegara VIII (penguasa pada waktu itu) menyatakan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara tradisional penguasanya disebut Mangkunagara (baca: 'Mangkunagoro'). Raden Mas Said merupakan Mangkunagara I. Saat ini yang memegang kekuasaan adalah Mangkunagara IX. Penguasa Mangkunegaran berkedudukan di Pura Mangkunegaran, yang terletak di Kota Surakarta.
Para penguasa Mangkunegaran tidak dimakamkan di Astana Imogiri melainkan di Astana Mangadeg dan Astana Girilayu, yang terletak di lereng Gunung Lawu. Perkecualian adalah lokasi makam dari Mangkunegara VI, yang dimakamkan di tempat tersendiri.
Warna resmi Mangkunagaran adalah hijau dan kuning emas serta dijuluki "pareanom" ('padi muda'), yang dapat dilihat pada lambang, bendera, pataka, serta sindur yang dikenakan abdi dalem atau kerabat istana.
Peta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830. Peta ini digambar oleh Meursault2004 alias Revo Arka Giri S. berdasarkan Robert Cribb, 2000, Historical Atlas of Indonesia halaman 114.
Lokasi kecamatan Banjarsari yang merupakan wilayah Mangkunagaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar