clipped from koranjogja.com
Kamis, 08 Januari 2009 10:19
Pada dini hari 1 Suro saya berada di tengah-tengah ribuan orang yang menunggu kirab pusaka Keraton Kasunanan Surakarta. Di salah satu sudut kota itu, sembari menahan kantuk berat saya menunggu iring-iringan punggawa keraton yang membawa pusaka berkeliling di beberapa ruas jalan Kota Solo. Iring-iringan pusaka yang didahului empat kerbau putih keturunan Kyai Slamet milik keraton tersebut berlangsung sepanjang hampir satu jam.
Ada satu hal yang menarik bagi saya, suasana gaduh selama menanti lewatnya kirab berubah menjadi senyap dan hening begitu iring-iringan pusaka lewat. Situasi tersebut tidak perlu ditafsirkan terlalu jauh. Kirab pusaka telah menjadi sarana bagi ribuan orang mengheningkan diri sejenak ketika memasuki tahun baru.
Hal seperti itu terjadi di berbagai tempat, banyak orang berusaha mencari sarana untuk mengheningkan diri, entah berjalan diam mengitari beteng kraton, atau mengitari kampung. Betapa mengheningkan diri sejenak telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat saat akan memulai babakan baru, seperti di awal tahun.
Kesan pada malam 1 Suro tersebut memunculkan ingatan saya akan pengalaman di Adelaide, Australian Selatan, beberapa waktu lampau. Di sekolah tempat saya mengikuti program pertukaran guru, ada irama persekolahan yang memberikan kesempatan kepada siswa pada tengah hari mengendapkan pelajaran di kelas – tanpa pelajaran apapun. Artinya, jika dari pagi hingga tengah hari suntuk dengan pelajaran silih-berganti, siswa diberikan kesempatan untuk 'hening' mengolah, menimbang, dan memahami pelajaran secara pribadi.
Lazim terjadi dalam keseharian, anak-anak kita larut dengan pelajaran bergantian, bahkan bertumpuk-tumpuk. Akibatnya, mereka bisa kehilangan kesempatan untuk menjadikan pelajaran sebagai miliknya, kehilangan kesempatan mengambil nilai-nilai manusiawi setiap pelajaran. Pedagogi reflektif telah memberikan inspirasi mengenai pentingnya proses refleksi dalam setiap pembelajaran di sekolah. Setiap pengalaman pembelajaran, entah lewat guru, buku, atau pengalaman langsung di lapangan, mesti diendapkan menjadi pengalaman manusiawi.
Dalam pengalaman malam 1 Suro dan proses tengah hari di Adelaide, ada kesan betapa pentingnya mengambil kesempatan hening untuk memulai sebuah babakan baru dalam pelajaran atau kehidupan yang umum. Demikian halnya saya alami bersama para guru sebuah sekolah menengah di Yogyakarta, pada awal tahun 2009 ini mereka secara bersama-sama mengambil waktu tiga hari secara khusus untuk mengolah pengalaman kerja dan hidupnya dalam suasana hening di lereng Pegunungan Sumbing nan sepi. Hal itu menjadi sebuah episode penting bagi para guru untuk kembali mengolah pengalaman pelayanannya kepada para siswa, jauh dari suasana rutinitas rapat kerja.
Dalam konteks pendidikan anak-anak kita, keheningan belum menjadi kebiasaan yang sengaja dihadirkan menyatu dengan irama persekolahan. Suasana hening bukanlah hal yang populer untuk anak-anak kita dibandingkan dengan peralatan audio yang terpasang di telinga setiap ada kesempatan untuk mendengarkan lagu-lagu. Namun, sekolah dan para guru bisa memulai, entah beberapa saat menjelang pergantian jam pelajaran, entah pada tengah hari untuk beberapa pelajaran sekaligus. Tentu saja, pembiasaan nilai-nilai apapun kepada siswa mesti dimulai oleh guru. Hanya guru yang hening yang mampu menghadirkan sentuhan manusiawi kepada siswanya.
St. Kartono
Guru SMA De Britto, Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar