Ditulis Oleh Dewi Puspasari
28-01-2009,
Hubungan antara Suku Maya dan Asia menarik minat sejumlah
sejarahwan dan antropolog. Pasalnya, candi-candi yang terletak di
kompleks Chichen Itza mirip dengan candi di Asia. Bahkan, ada pula
yang persis dengan yang dimiliki Indonesia. Lantas, bagaimana para
ahli menjelaskan adanya persamaan antara bahasa Jepang dan Bahasa
Maya. Apakah Suku Maya dan Asia berasal dari satu nenek moyang?
Ataukah mereka pernah menetap di Asia, termasuk Indonesia?
Kompleks candi suku Maya di Chichen Itza dibangun sekitar tahun
502-522 Masehi. Ia merupakan bangunan peninggalan Suku Maya yang
paling lengkap dan terawat dengan baik. Kompleks candi ini cukup luas
dan tiap candi terpisah satu sama lain. Di tengah-tengah berdiri Candi
El Castilo yang bentuknya menyerupai piramida dengan atap terpancung.
Yang mengherankan, Candi El Castilo mirip dengan Candi Sukuh di
Kabupaten Karanganyar, Jawa tengah.
Candi Sukuh sendiri terletak di sisi barat Gunung Lawu, tepatnya
di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa
Tengah. Bangunan yang ditemukan pada tahun 1815 ini dibangun pada abad
XV. Awalnya, candi ini dianggap bercorak Hindu dengan adanya relief
lingga yoni yang melambangkan kesuburan. Namun, melihat bangunannya
lebih mirip dengan punden berundak yang umum pada masa megalitikum.
Candi yang terletak di tempat yang sunyi ini hingga sekarang masih
menyimpan misteri dan menjadi bahan perdebatan para sejarahwan nasional.
Tentang keterkaitan candi Suku Maya dan Indonesia pernah menjadi
bahan penelitian Prof. Gualberto Zapata Alonzo. Dalam bukunya bertajuk
An Overview of The Mayan World yang terbit di Yucatan, Meksiko tahun
2002, Prof Alonzo menyebutkan, seni dan kesadaran beragama Suku Maya
memiliki persamaan dengan India, Indocina dan Indonesia.
Candi Tikal di Guatemala ada kesamaan dengan piramida Naksei
Chan Crong di Angkor, Kamboja. Begitu pula dengan Candi di Paleque,
Meksiko. Candi itu mirip dengan Candi Ajanata di India. Selain itu,
simbol-simbol agama dan mitos binatang Suku Maya mirip dengan di Jawa
dan Indocina. Dalam Mahabharata dan Ramayana terdapat pula suku dengan
panggilan Maya. Bahkan, pada agama Hindu terdapat dewa bernama Maya.
Alonzo dalam bukunya juga mencatat keheranan seorang mahasiswa
Jepang ketika bertandang ke Guatemala. Saat itu ia bertugas mengantar
para antropolog ke Chiapas dan melalui perbatasan Guatemala. Mahasiswa
bernama Yutaca Yanome itu kaget ketika mendengar percakapan beberapa
Suku Maya Tojolabalas yang satu bus dengan mereka. Ia mengaku sedikit
memahami kata-kata yang diucapkan Suku Maya itu.
Keterkaitan Maya dan Asia ini pernah dirangkum Ignacio Magaloni
Duarte dalam Educadores del Mundo (Pendidik Dunia). Di buku yang
terbit tahun 1968 ini Duarte membuktikan bila Suku Maya pernah tinggal
di Jepang, Cina, Mesir dan Negara Asia lainnya. Saat berkunjung ke
India, mereka disebut Suku Naga. Duarte berani memproklamirkan bila
Suku Naga itu Suku Maya dari kemiripan penyebutan angka dari 1 sampai 10.
Suku Naga menyebut angka 1-10 dengan: 1:Hun, 2:Cas,3:Ox,
4:San,5:Ho, 6:Usac, 7:Uac, 8:Uaxax, 9.Bolam, 10:Lahun. Sementara Suku
Maya menyebut angka 1-10 dengan: 1:Hun, 2:Ca, 3:Ox, 4:Can, 5:Ho, 6:Uc,
7:Uac, 8:Uaxax, 9.Bolom, 10:Lahun.
Bila Suku Maya pernah menetap di Jepang dan India, bisa jadi
mereka juga pernah singgah di Kepulauan Indonesia. Namun, si penulis
buku ini tidak ingin berlarut-larut membahas hal yang masih mengandung
tanda tanya ini. Misteri hubungan Suku Maya dan Indonesia ini hanya
secuil kisah perjalanan Sigit Susanto ketika berkunjung ke Meksiko. Ia
masih memiliki beraneka pengalaman unik dari perjalanannya
mengelilingi hampir seluruh Benua Eropa, Tunisia dan Kuba. Seperti
pengalamannya memancing ikan di Swiss.
Ia melongo melihat prosedur memancing yang ribet seperti
mendaftar ke perguruan tinggi. Untuk mendapatkan izin memancing, ia
harus memberitahu si petugas terlebih dahulu, apakah memancing di
pinggir danau atau di tengah danau. Tarif izinnya berbeda. Memancing
di tengah danau jauh lebih mahal. Setelah itu, ia harus mengisi
berbagai formulir dan dikirim kembali ke kantor perikanan di akhir
tahun. Kemudian, ikan hasil pancingan natinya harus ditimbang dan
dicocokkan dengan gambar dalam brosur. Jenis, nama dan jumlah ikan
harus dicantumkan.
Meski sempat menggerutu, si penulis kagum dengan upaya
pelestarian alam negara itu. Ia bandingkan dengan kampung halamannya
di Indonesia dimana warganya bebas memancing. Malangnya, banyak
ikan-ikan di samuderanya kerap dicuri nelayan asing.
Membaca tulisan Sigit ini si pembaca disuguhi hal-hal yang
jarang ditemukan di catatan perjalanan pada umumnya. Ia pergi
melancong bukan hanya menikmati keindahan alam melainkan juga
menyesapi budaya dan sejarah setempat dan menuruti kegemarannya akan
sastra. Ketika berkunjung ke Belanda, ia sempatkan menengok rumah
Multatuli yang melejit dengan Max Havelar. Di Praha ia berziarah ke
makam Kafka dan menelusuri jejak Goethe di Strassbourg, Perancis.
Sebuah buku yang unik dan layak dikoleksi mereka yang haus petualangan
dan pengetahuan.
Detail Buku:
Judul: Menyusuri lorong-lorong Dunia
Penulis: Sigit Susanto
Penerbit: Insist Press, Yogyakarta
--- End forwarded message ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar