TEMPO Interaktif, Lelaki itu tak menyangka terserang penyakit jantung koroner (PJK). Sjahrulsjah, nama lelaki itu, merasa hidupnya sehat sehat saja. Bapak usia 53 tahun itu rajin berolah raga, pola makan sehat, tidak diabetes dan kadar kolesterolnya bagus. Awal Mei lalu, ulu hati Sjahrul nyeri. Dia menyangka terkena maag. Namun dia merasa lemas nyaris pingsan. Istrinya segera melarikan ke RS Pondok Indah, Jakarta. Dari diagnosa dokter, dia bukan terkena maag, tapi PJK.
PJK berkembang secara perlahan. waktunya bertahun-tahun tanpa disadari. Kadang, penderita merasa bukan terserang PJK, tapi sakit maag, karena disertai rasa nyeri di ulu hati.
Menurut dokter spesialis jantung dari RS.Pondok Indah, Dr. Taufik Pohan, SpJP, FIHA, FESC, sekitar 30 persen serangan jantung memiliki keluhan mirip dengan gejala sakit maag. "Gejala jantung juga dapat menimbulkan nyeri di ulu hati," kata Taufik dalam acara workshop media di rumah sakit itu Rabu pekan lalu. Hal itu disebabkan karena pembuluh darah ke hati tersumbat. Biasanya, jika tak diperiksa, dokter mengira pasien terkena sakit maag.
Gejala lain yang umum adalah nyeri di dada. "Nyerinya melebar dan menjalar menembus ke lengan kiri," ujar Taufik. Selain itu ada juga yang tertidur sebentar, bangun dan tertidur lagi. "Ini karena aliran darah ke jantung terganggu dan pompa darah ke otak berkurang." Untuk itu, jika merasa gejala di atas, perlu pemeriksaan awal PKJ.
Untuk deteksi dini, biasanya dilakukan latihan uji jantung berbeban berupa tes treadmill. Tes ini pun hanya direkomendasikan untuk mereka yang diyakini aman melakukannya. Tes lain adalah prosedur elektrokardiogram, evaluasi struktur dan fungsi jantung dengan echocardiografi doppler dan tes lainnya. Jika ditemukan gejala PJK, maka dokter segera mencari letak penyempitan pembuluh darah.
Kini, pencarian pembuluh yang menyempit biasa dilakukan dengan prosedur sinar X (angiografi koroner). Prosedur ini dianggap sebagai standar emas karena memiliki tingkat akurasi tinggi. Selain itu, dengan angiografi tak perlu bedah jantung (by pass), penanganan berlangsung cepat dengan bius lokal. "Pasien juga dalam kondisi sadar," kata dia. Persiapan penanganannya juga ringkas. Pasien akan dites darah, diperiksa fungsi ginjalnya dan diberi obat pengencer darah, lalu ditangani.
Pada pembuluh darah yang menyempit kemudian dipasang cincin (stent) -- untuk membuka pembuluh yang menyempit itu. "Ini aman dan masa berlakunya seumur hidup," Taufik menjelaskan. Teknologi stent kini sudah ada yang berlapis obat (drug eluting stent). Jadi stent yang ditanam itu tertutup obat. "Obatnya untuk menanggulangi penolakan tubuh atas stent," Taufik melanjutkan.
Menurut dia, dengan stent berlapis obat ini, kemungkinan penyempitan kembali sangat kecil. "Sekitar 1-4 persen." Jika sudah dipasang, penanganan kelar. Prosesnya sekitar 30 menit. Selain itu, pasien juga tak perlu berpekan-pekan menginap di rumah sakit. "Cukup 2-3 hari," ujar Taufik.
Namun karena peralatan dan bahannya masih impor, tarif penanganan dengan angiografi dan stent masih cukup tinggi. Untuk penanganan perlu sekitar Rp 7 juta. Sedangkan untuk tiap stent, harganya mencapai belasan juta rupiah. "Tapi ini masih lebih murah dibanding bedah jantung," tutur Dr. Yanwar Hadiyanto, chief of business, marketing and customer management rumah sakit tersebut. Untuk bedah jantung, kata dia, minimal butuh Rp 120 juta. NUR ROCHMI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar