Hati-Hati Bikin Surat Pembaca (baik ke cetak maupun millis) ini faktanya!!! :((

Dapat info dari Milis Mediacare - Yahoogroups tentang kasus surat pembaca yang (bisa) menyeret penulisnya ke Bui.

:(

----------------------------------------------------------------------------------------------

RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif
Prita Mulyasari - suaraPembaca

Jakarta - Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.

dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.

Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi.  Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.

dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.

Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak.
Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas.  Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.

Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.

Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.

Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.

Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.

Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.

Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.

Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.

Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera
prita.mulyasari@yahoo.com
081513100600

(msh/msh)

 

http://suarapembaca.detik.com/read/2008/08/30/111736/997265/283/rs-omni-dapatkan-pasien-dari-hasil-lab-fiktif

 

TEMPO

Pencemaran Nama Baik
Menggugat Surat Elektronik

Rumah Sakit Omni Internasional menggugat Prita Mulyasari atas tuduhan pencemaran nama baik lewat milis. Nasib yang sama menimpa Iwan Piliang, yang menulis tentang Alvin Lie.

IKLAN setengah halaman itu benar-benar mencolok mata. Berjudul "Pengumuman dan Bantahan", advertensi itu, September lalu, muncul di harian Kompas. Pengordernya, Rumah Sakit Omni Internasional, salah satu rumah sakit swasta di Tangerang, Banten. Intinya, bantahan Omni terhadap surat elektronik alias email Prita Mulyasari berjudul "Penipuan Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang", yang dikirim sebuah mailing list (milis).

Surat elektronik itu membuat Omni berang. Menurut pengacara Omni Internasional, Heribertus, isi surat Prita telah mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut beserta sejumlah dokter mereka: Hengky Gosal dan Grace Hilza Yarlen Nela. "Padahal, tidak ada penyimpangan etika kedokteran dan prosedur penanganan pasien," ujar Heribertus.

Omni memang tidak main-main menanggapi surat elektronik Prita. Selain melaporkan Prita ke polisi, Omni juga menggugat perempuan tersebut secara perdata. "Sudah kami daftarkan ke Pengadilan Negeri Tangerang," kata Heribertus.

Kasus ini bermula dari surat elektronik Prita yang berisi pengalamannya saat dirawat di unit gawat darurat Omni Internasional pada 7 Agustus 2008. Saat itu ia menderita sakit kepala dan mual-mual. Di bagian gawat darurat ia ditangani dokter jaga, Indah.

Dari pemeriksaan laboratorium, dinyatakan trombosit darah warga Villa Melati Mas Tangerang ini 27.000, jauh di bawah normal yang seharusnya sekitar 200.000. Prita diminta menjalani rawat inap dan memilih dokter spesialis. Sesuai dengan saran Indah, ia memilih dokter Hengky. Diagnosis dokter menyatakan ia terkena demam berdarah.

Menurut Prita, ia lalu mendapat suntikan dan infus yang diberikan tanpa penjelasan dan izin keluarganya. Belakangan, ia kaget pada saat Hengky memberitahukan revisi hasil laboratorium tentang jumlah trombosit darahnya. Yang awalnya 27.000 kini menjadi 181.000. Dokter juga menyatakan ia terkena virus udara.

Lantaran tak puas dengan perawatan di rumah sakit itu, Prita memutuskan pindah rumah sakit. Nah, di sini muncul persoalan baru. Tatkala ia meminta catatan medis lengkap, termasuk semua hasil tes darahnya, pihak rumah sakit menyatakan tidak bisa mencetak data tersebut.

Prita lantas menghadap Manajer Pelayanan RS Omni, Grace. Hasilnya sama saja. Inilah yang lantas membuat ia, pada 15 Agustus 2008, menulis surat elektronik ke sejumlah rekannya. "Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr Grace, dr Hengky, dr Mimi, dan Ogi bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda," tulis Prita dalam suratnya.

Surat Prita ini rupanya sampai juga ke manajemen Omni Internasional. Omni mengambil langkah cepat. Selain memasang iklan, ya itu tadi, "memberi pelajaran" untuk Prita, melaporkan pe-rempuan tersebut ke polisi.

Prita sendiri sampai kini belum diperiksa polisi. Dihubungi Tempo, ia menolak diwawancarai. "Maaf, saya sedang berlebaran," ujarnya. Menurut Heribertus, polisi sudah mengirim surat panggilan pemeriksaan Prita pada akhir September lalu. "Tapi ia batal hadir."

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sudaryatmo, menyesalkan sikap Omni yang membawa kasus ini ke ranah hukum. Menurut Sudaryatmo, surat elektronik yang disebarluaskan Prita adalah dalam konteks meminta klarifikasi. "Ekspresi dari ketidakpuasan pelayanan untuk diselesaikan," katanya. Yang penting, ujarnya, isinya tidak menghakimi.

Surat elektronik berbuntut perkara juga menimpa Narliswandi Piliang, wartawan yang kerap menulis di situs Presstalk.com. Gara-gara suratnya yang ia kirim ke milis Forum Pembaca Kompas, Iwan, demikian pria ini biasa disapa, pertengahan Juli lalu dilaporkan anggota DPR Alvin Lie ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Alvin mengaku dirugikan dengan email bertajuk "Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto", yang dimasukkan Iwan ke Forum Pembaca pada 20 Juni lalu. Dalam surat itu, antara lain tertulis: PAN meminta uang Rp 2 triliun kepada Adaro agar di DPR tidak dilakukan hak angket menghambat IPO Adaro. Bahkan Alvin Lie, anggota DPR dari PAN, datang ke kantor Adaro menemui Teddy P. Rahmat. "Menurut sumber saya itu, Alvin pun meminta uang mulai dari Rp 6 triliun, terakhir Rp 1 miliar untuk dirinya," tulis Iwan.

Alvin menganggap tulisan Iwan itu merusak kredibilitasnya. "Seratus persen fitnah," ujarnya. Karena itu, katanya, kendati Iwan sempat mengontaknya, ia tetap melaporkan wartawan itu ke polisi. Teguh Samudera, pengacara Alvin, menjerat Iwan dengan pasal pencemaran dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, undang-undang yang baru disahkan pada Maret silam.

Pada Akhir Agustus lalu, Iwan sudah diperiksa tim penyidik Unit Cyber Crime Polda Metro Jaya. Hanya, sampai saat ini, status Iwan masih saksi, belum tersangka. Selain Iwan, moderator milis Forum Pembaca Kompas, Agus Hamonangan, juga sudah diperiksa. "Saya dimintai keterangan seputar cara kerja dan tanggung jawab moderator mengatur milis," kata Agus.

Iwan menyesalkan Alvin yang membawa kasus ini ke polisi. "Harusnya dia memahami prosedur kerja jurnalistik itu," ujarnya. Menurut Iwan, ia mendapat informasi tentang Alvin seperti yang ditulisnya di milis tersebut dari Apa Kabar.Com. Ia kemudian mewawancarai sejumlah sumber lain, termasuk meminta konfirmasi Ketua Partai Amanat Nasional, Soetrisno Bachir.

Artikelnya itu, 18 Juni silam, ia masukkan ke Presstalk. Dua hari kemudian baru ia kirim ke milis Forum Pembaca Kompas. Lantaran menganggap Undang-Undang Informasi membahayakan orang-orang seperti dirinya, pekan ini Iwan akan mengajukan judicial review undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, juga tak setuju dengan cara yang dipakai Alvin untuk menyelesaikan kasus yang dianggap mencemarkan nama baiknya. Menurut Abdullah, Forum Pembaca Kompas dan Presstalk, menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, masuk kategori pers. Seharusnya, Alvin bisa mengadukan kasusnya ini ke Dewan Pers.

Dalam kasus Iwan, kata Alamudi, penggunaan pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Elektronik untuk menjerat wartawan itu juga tidak tepat. Pada akhir April lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Muhammad Nuh, telah menjamin pasal 27, yang bisa menyeret siapa pun ke penjara karena melakukan penghinaan lewat sarana elektronik, tidak mencakup pers. "Menurut Menteri, nanti dalam peraturan pemerintah itu tidak menyangkut pers," katanya. Apalagi, kata Alamudi, Undang-Undang Pers menyatakan, pers wajib melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Martha W. Silaban

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/10/13/HK/mbm.20081013.HK128451.id.html


Source :
tarsihekaputra
Director TM Network and i-PR
Public Relations Consultant
Jl. Sultan Iskandar Muda No. 16 A, Arteri Pondok Indah Jakarta 12240

t: +6221 72801922+6221 92401708
f: +6221 72801923
m: +62 8567 515 749

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya