Situ Gintung yang Saya Kenal
Oleh : Sukemi
MINIMAL, sudah dua kali Situ Gintung menjadi pusat perhatian dan pemberitaan secara nasional. Pada 1987, danau alamiah tersebut menjadi pusat perhatian, bukan hanya masyarakat awam, tapi juga para ilmuwan. Itu berkait dengan peristiwa terlepasnya satu gugus tanah di pinggir sebelah barat, yang di bagian atasnya sudah berdiri satu rumah penduduk setempat, pepohonan, dan juga satu sumur.
Kontan saja waktu itu semua orang bertanya-tanya. Ilmuwan pun berdatangan, baik dari LIPI maupun BPPT, untuk melihat dan meneliti kenapa sebidang tanah bisa begitu saja berpindah atau tercerabut dari dasar bumi. Orang pun berdatangan dalam peristiwa ''tanah pindah" tersebut. Saat itu tidak ada korban jiwa. Kali ini, Jumat dini hari, 27 Maret 2009 lalu, peristiwa memilukan dan menelan puluhan korban jiwa terjadi di Situ Gintung akibat tanggul di bagian tengah -masyarakat di sana menyebutnya pelimpasan- ambrol tidak kuat menahan tekanan air danau.
Sebagian masyarakat di sana memang masih ada yang memitoskan keberadaan Situ Gintung. Berbagai kejadian misterius sering menjadi bahan cerita jatuhnya korban jiwa di sana. Situ yang diyakini berbentuk seperti orang sedang tidur telentang itu bukanlah danau buatan, tapi danau alamiah, yang kemudian untuk kepentingan irigasi dan pengairan, dibangunlah tanggul dengan dua anak sungai di bagian timur dan barat, sedangkan di bagian tengahnya dibuat pelimpasan dengan konstruksi amat sederhana.
Bentuk seperti orang sedang tidur telentang digambarkan di bagian selatan dengan pulaunya disebut sebagai bagian kepala dan tangan. Sedangkan di bagian utara dengan dua anak sungainya yang dahulu digunakan sebagai saluran irigasi, adalah bagian kaki ditambah dengan tanggul (yang kini jebol) yang dimanfaatkan orang dan kendaraan roda dua sebagai akses jalan dari Kampung Gunung ke poros Jl Ir H Juanda. Minggu pagi, 22 Maret 2009 (lima hari sebelum peristiwa jebolnya tanggul pelimpasan), saya menyempatkan diri berjalan di atas tanggul itu untuk menikmati udara yang masih bersih sambil bernostalgia masa-masa kecil saya bermain, memancing, dan memandikan ternak kerbau di sana tiap sore hari.
Pemandangannya cukup menarik. Di atas situ, dua-tiga orang hilir-mudik dengan menggunakan rakit menjala ikan. Sedangkan di tepian situ, beberapa orang melempar dan menunggu pancingnya dimakan ikan. Pemandangan itu bak lukisan di mana di bagian selatan menyembulkan pemandangan siluet biru Gunung Salak di Bogor.
Keindahan dan keelokan itulah yang menyebabkan beberapa insan film dan pemusik era 1970-an kerap menggunakan tepian situ itu untuk lokasi pengambilan gambar. Sekadar menyebutkan contoh, film-film seperti Si Pincang, Si Manis Jembatan Ancol, Panji Tengkorak, Si Jampang, serta Romie dan Juliet, pengambilan gambarnya sebagian besar dilakukan di Situ Gintung. Aktor-aktor besar di masa itu, seperti Sophan Sophiaan, Widyawati, Muchsin Alatas, Titik Sandhora, Soekarno M. Noer, Rano Karno, Yessi Gusman, Nanin Sudiar, Koes Plus, dan lainnya adalah orang-orang yang kerap melakukan pengambilan gambar di sekitar Situ Gintung.
Berubah Total
Sebagai warga yang lahir dan dibesarkan di kawasan itu, saya ingin menyampaikan pandangan berkait dengan tragedi tersebut. Pandangan ini tentu terkait dengan kondisi riil tanggul dan kawasan sekitar yang memag telah mengalami perubahan fungsi sejak lebih dari sepuluh tahun terakhir. Kalau diamati, sudah lebih dari sepuluh tahun, kondisi tanggul dan lingkungan di sana berubah total dengan berubahnya peruntukan di kawasan sekitar. Saya mengetahui benar beberapa perubahan yang terjadi dalam kurun lebih dari sepuluh tahun belakangan ini, mulai kondisi air situ yang sudah tercemar bahan detergen dan sampah domestik dari permukiman di sekitar situ, terjadinya pendangkalan, sampai tumbuhnya gulma air dan eceng gondok.
Menurut saya, faktor terbesar penyebab jebolnya tanggul, selain karena usianya yang sudah tua -dibangun pada zaman Belanda sekitar 1930-an- dan selama ini belum pernah dilakukan perbaikan, juga karena dua anak sungai di bagian timur dan barat tidak lagi difungsikan. Bahkan, pintu air di bagian barat yang dulu digunakan untuk mengatur debit air menuju sungai yang berfungsi untuk irigasi persawahan dan juga cuci serta mandi, yang berada di Rempoa (kini berubah menjadi pabrik tekstil PT Sandatex), sudah lama ditutup. Selokannya sudah diuruk dan sebagian lagi dimanfaatkan untuk permukiman.
Sedangkan selokan atau sungai di sisi timur tanggul, yang juga melalui pintu air pengaturan yang digunakan untuk persawahan di kawasan Poncol, yang kemudian menyatu dengan Kali Pesanggarahan, kini juga berubah. Sebagian untuk perumahan dan permukiman dan sebagian lagi menjadi Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta. Memang, selokan yang berada di sebelah timur tidak sepenuhnya ditutup, tidak seperti pintu air di bagian barat yang telah ditutup total, tapi anak sungai itu sudah jauh lebih kecil dari sebelumnya, sehingga air yang mengalir ke sungai itu pun sangat sedikit. Seandainya dua sungai di sisi timur dan barat itu masih berfungsi, saya yakin benar tekanan air dari situ itu akan terdistribusi di beberapa titik, tidak terfokus di bagian pelimpasan yang kini telah jebol.
Memang faktor tuanya tanggul juga menjadi penyebab. Apalagi -sepengetahuan saya- tidak ada upaya merehabilitasi atau memperbaiki tanggul, terutama di bagian limpasan yang konon dibangun sejak zaman Belanda itu. Kalau pun dilakukan perbaikan, hanya di bagian atas tanggul untuk keperluan pemavingan, agar pengguna jalan dan kendaraan roda dua tidak terlalu direpotkan menghadapi jalan yang becek dan licin saat hujan.
Perbaikan itu justru memperlemah struktur tanggul karena dengan pemavingan, jumlah kendaraan yang berlalu lalang makin banyak dan bebannya makin berat. Sementara itu, akibat pencemaran detergen, kondisi tanggul atau tanah serta batu kali di daerah limpasan tersebut justru strukturnya makin rapuh sehingga dengan tekanan air yang demikian besar, jebollah tanggul itu.
*. Sukemi, warga asli Situ Gintung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar