VIVAnews
- Pedagang kain dan baju sibuk menawarkan barang dagangan. Menempati Blok A Pasar Tanah Abang, mereka berlomba dengan para pedagang sepatu dan tas. Pengunjung dan kuli panggul pun memadati lorong-lorong bangunan berlantai 19 ini.Menapaki area luar bangunan bernuansa Islami, pandangan mata didominasi pedagang kaki lima yang saling berhimpit. Hanya beberapa meter dari sini, gedung-gedung pertokoan bagaikan jamur.
Ke arah jalan raya, kendaraan pribadi tampak bersusah payah mencari celah untuk beranjak.
Sedang, klakson dan teriakan preman jalanan beradu dengan suara mesin bajaj dan mikrolet yang ngetem.
Demikianlah suasana sehari-hari pasar yang dibangun anggota dewan Hindia Belanda Justinus Vinck 30 September 1735. Perubahan jaman tentu berkontribusi dalam setiap detail yang terbentuk di Pasar Tanah Abang saat ini.
"Jaman Engkong kecil, ya sekitar tahun 1936, pasar Tanah Abang tidak semegah dan seramai sekarang. Bahkan sekeliling pasar masih banyak yang rawa-rawa. Yang ada kampungnya tuh cuma Kebon Pala dan Kebon Kacang," kata Ketua Umum Majelis Sepuh Tanah Abang Haji Sukur Harun saat ditemui VIVAnews.
Sebelum dimiliki Justinus Vinck, kawasan Tanah Abang merupakan daerah pertanian dan peternakan milik orang Cina. Sebutlah tuan tanah asal China, Phoa Bhingam, yang menguasai perkebunan tebu di Tanah Abang.
Tapi, ada juga yang membuka perkebunan kacang, kebun jahe, kebun melati, dan kebun sirih. "Makanya (beberapa wilayah di Jakarta Pusat) disebut pakai nama-nama kebon, biar gampang diinget," canda pria yang akrab disapa Engkong Sukur.
Berdasar buku "Kampung Tua di Jakarta" yang diterbitkan Dinas Museum dan Sejarah DKI, nama Tanah Abang diilhami dari kondisi tanah setempat yang berwarna merah. Diberikan oleh pasukan Mataram yang tengah membangun pertahanan di kawasan tersebut pada 1628. Abang dalam bahasa Jawa berarti merah.
Sejarah nama Tanah Abang rupanya ada beberapa versi. Selain cerita mengenai tanah merah, adapula yang mengatakan nama Tanah Abang berasal dari cerita "abang dan adik".
Konon, ada seorang adik yang meminta abangnya untuk mendirikan rumah di kawasan itu. Lantaran rumah itu dibangun di atas tanah milik abangnya, maka disebutlah dengan Tanah Abang. "Tapi Engkong mah lebih percaya versi yang pertama, soalnya Engkong tahu betul kalau tanah di Tanah Abang itu warnanya merah," ujar pria kelahiran 1927 itu.
Menjelang akhir abad 19, Tanah Abang mulai dibanjiri pendatang asal Arab. Bahkan, pada 1920, jumlah orang Arab di Tanah Abang tercatat 13 ribu jiwa.
Kedatangan orang Arab inilah yang kemudian dimanfaatkan para pedagang di Tanah Abang. Berbagai hal yang terkait dengan konsumsi orang Arab menjadi komoditas penting. Kambing salah satunya.
Kegemaran orang Arab menyantap makanan berbahan dasar kambing, memicu maraknya perdagangan kambing di kawasan itu. Bahkan kini, selain dikenal sebagai pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara, Tanah Abang juga cukup dikenal sebagai pusat perdagangan kambing.
Keberadaan Pasar Tanah Abang memang berpengaruh penting terhadap tumbuhnya perkampungan di sekitarnya. Bak magnet, masyarakat Jakarta membangun pemukiman di sekitar pasar sejak jaman Hindia Belanda. Kini, pemukiman itu disatukan dalam satu kecamatan bernama Tanah Abang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar